
Oleh: Rohayah Ummu Fernand
Linimasanews.id—Target penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 diusulkan sebesar Rp2.189,3 triliun. Ini adalah kali pertama dalam sejarah target pendapatan pajak Indonesia melewati batas Rp2.000 triliun.
Dikutip dari Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2025 ditunjukkan bahwa penerimaan pajak Indonesia mengalami kenaikan di tahun 2025 menjadi Rp2.188,3 triliun. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penerimaan pajak pada 2023 yang tercatat sebesar Rp1.896,2 triliun. Lebih lanjut, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) pun diperkirakan mengalami kenaikan dalam RAPBN 2025, yakni masing-masing menjadi Rp945,1 triliun dan Rp1.209,3 triliun. Jika hal ini dapat tercapai, maka pemerintah dapat memiliki kekuasaan dalam menjalankan berbagai program yang akan dijalankan di tahun depan (CNBCIndonesia.com, 16/8/2024).
Membebani Rakyat dan Generasi Mendatang
Naiknya target penerimaan pajak tahun depan dan utang Indonesia yang terus mengalami kenaikan tentu akan berdampak pada perekonomian masyarakat. Jika penerimaan pajak ditingkatkan akan berimplikasi pada naiknya presentasi pajak. Pemerintah sendiri telah memberi sinyal kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025.
Menteri Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, kenaikan tarif tersebut telah jelas menjadi amanat Undang-undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Padahal belum ada kenaikan pajak saja hidup sebagian rakyat negeri ini sudah kesulitan, sebab saat ini PHK terus terjadi. Kenaikan harga bahan pokok tak terbendung, termasuk tarif listrik, gas, BBM, dan kebutuhan pokok lainnya. Di samping itu, rakyat juga semakin kesulitan dalam mencari pekerjaan akibat minimnya ketersediaan lapangan kerja.
Dalam sistem kapitalisme, pembiayaan pembangunan mutlak bersumber dari pajak dan utang. Inilah yang yang menjadi prinsip baku dalam sistem kapitalisme. Pemerintah selalu beralasan bahwa pajak dan utang akan digunakan untuk membiayai pembangunan negara sehingga bisa dinikmati masyarakat untuk mengakses kebutuhan-kebutuhannya. Namun kenyataannya tidaklah demikian, alih-alih mewujudkan kesejahteraan rakyat, pembangunan yang ada tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang kaya saja bersama jajarannya, para korporasi baik swasta maupun asing. Alhasil, pajak untuk pembangunan negara hanya membebani rakyat.
Sebagaimana diketahui pajak dalam RAPBN dalam kapitalisme menjadi sumber dana terbesar. Sumber dana terbesar berasal dari SDA (sumber daya alam) yang dikelola oleh swasta maupun asing. Sumber lainnya berasal dari rakyat. Pembangunan dalam sistem kapitalisme dengan dibiayai utang sejatinya hanya menjadi beban berat bagi rakyat dan generasi mendatang.
Pengurangan subsidi yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk menghemat pengeluaran negara. Di sisi lain, pajak yang dipungut dari rakyat makin tinggi. Akibatnya, rakyat makin menderita. Negara seolah berlepas tangan akan kondisi rakyatnya. Rakyat tidak hanya dibiarkan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, bahkan menjadi objek eksploitasi.
Pembangunan dalam Islam
Berbeda dengan pembangunan negara di bawah penerapan sistem Islam. Paradigma pembangunan dalam ekonomi Islam adalah mengurus rakyat, karena posisi negara adalah sebagai raa’in (pengurus). Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (khalifah) adalah raain’ (pengurus urusan umat), dan dia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Salah satu potensi pendapatan yang besar dalam Khilafah adalah penerimaan dari sektor harta kepemilikan umum, di antaranya adalah SDA yang memiliki deposit melimpah berupa minyak mentah, gas, batu bara, nikel, emas, tembaga dan aluminium. Hutan juga dikategorikan sebagai harta milik umum, hasilnya dapat dimanfaatkan langsung oleh publik. Meski demikian, negara dapat melakukan proteksi pada kawasan tertentu untuk menjamin keberlangsungan pendapatan negara.
Seluruh kekayaan dikelola oleh negara untuk kepentingan publik secara langsung. Bahkan harta milik umum dapat memberikan penerimaan besar jika negara bisa meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut secara optimal. Oleh karena itu, jika saat ini saja SDA menjadi sumber terbesar maka dengan sistem Islam penerimaan dari SDA akan jauh lebih besar.
Selain sumber pemasukan melalui pos kepemilikan umum/harta milik umum, Khilafah juga memiliki dua pos pemasukan lain, yakni pos fai’ dan kharaj, dan pos sedekaj. Pajak (dharaibah) masuk dalam pos fai’ dan kharaj. Namun, Islam memiliki mekanisme khusus terkait pajak yang sangat berbeda dengan kapitalisme. Perbedaan mendasarnya adalah pajak dalam sistem ekonomi kapitalisme dijadikan tumpuan APBN yang dibebankan kepada seluruh rakyatnya.
Sedangkan pajak dalam sistem Islam hanya diberlakukan kepada kaum muslim yang kaya saja, yakni orang-orang muslim yang telah terpenuhi kebutuhan primer dan tersiernya dan dia masih memiliki kelebihan harta. Pengambilan pajak ini bersifat temporal.
Jika kondisi kas negara di Baitul Maal telah stabil maka pemungutan pajak akan dihentikan oleh Khilafah. Demikianlah pemasukan negara Khilafah dalam membangun negaranya tidak bertumpu pada pajak, sehingga akan meringankan beban rakyat. Walhasil, terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat akan bisa terealisasi, bukan hanya sebuah mimpi. Wallahu a’lam bishshawab.