
Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Umat)
Linimasanews.id—Kemelut di negeri ini tak ada tanda-tanda akan surut. Kondisi rakyat dikelilingi kabut. Kebijakan bertebaran sering membuat emosi tersulut. Kebijakan itu terkesan plintat-plintut seenak perut. Kondisi tersebut membuat berbagai elemen masyarakat turun aksi demi mengagalkan RUU Pilkada yang membuat kondisi negeri penuh sengkarut.
Diberitakan bahwa ribuan orang menggelar aksi unjuk rasa di depan kompleks DPR, Jakarta, pada Kamis, 22 Agustus 2024. Mereka datang menuntut DPR agar tidak mengangkangi putusan MK soal ambang batas syarat pencalonan kepala daerah dan batas kandidat peserta Pilkada 2024. Mereka berasal dari berbagai kalangan mulai dari mahasiswa, organisasi masyarakat sipil dan buruh, artis ibu kota hingga komika (Tempo.co, 22/8/2024).
Menelisik Akar Masalah
Kondisi negeri ini memang tak baik-baik saja. Apa pun bisa terjadi dan menimpa siapa saja. Penolakan RUU Pilkada masih menunjukkan adanya sejumput asa. Penolakan RUU Pilkada menandakan tak semua masyarakat mati rasa. Sayang berjuta sayang, aksi penolakan itu berujung kekerasan aparat dengan penangkapan peserta aksi dan pembunaran secara paksa.
Sebagaimana dilansir CNNIndonesia.com, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyesalkan adanya penangkapan terhadap 159 demonstran dalam aksi tolak RUU Pilkada di depan DPR, Jakarta, Kamis (22/8). Karena itu, Komnas HAM meminta Polda Metro Jaya segera melepas para demonstran.
Tentu saja, penangkapan itu kian menambah deretan potret kelam sistem kapitalisme yang diterapkan. Syahwat politik para penguasa kian membuncah tak tertahankan. Tahta dan jabatan terus dipertahankan agar tetap mendapat remah-remah kekuasaan. Potret kelam kapitalisme tengah dipertontonkan. Sengkarut politik terus berkelindan.
“Tak ada asap jika tak ada api.” Sengkarut politik di negeri ini jelas karena sistem kapitalisme yang disanjung puji bahkan diterapkan di negeri ini. Sistem ini yang membawa kesialan bagi seluruh penduduk negeri bahkan bagi bumi. Altar kekuasaan diperebutkan dan dipertahankan untuk kepentingan golongan bahkan pribadi. Semua terjadi karena sistem kapitalisme adalah buah pikir manusia yang kerap tak tahu diri bahkan lupa diri.
Arus kebijakan dibuat demi memuaskan syahwat politik para pemburu kekuasaan. Sistem kapitalisme membiarkan itu terjadi dengan dalih kebebasan. Ditambah asas manfaat membuat penguasa berlomba-lomba memperebutkan dan mempertahankan jabatan, jika perlu sampai tujuh turunan. Kapitalisme membuat halal haram lenyap dari kamus kehidupan. Akidah sekularisme mengeleminasi aturan Tuhan.
Walhasil, politik dagang sapi, politik gorong-gorong, pencitraan, dan lain-lain kian memperkelam potret politik negeri ini. Rasa kemanusiaan pun seolah telah lama pergi. Empati dan peduli sepertinya turut undur diri. Berbagai kezaliman dalam kebijakan membuat sengkarut politik tak pernah sepi. Bilakah sadar penduduk bumi ini? Penolakan kebijakan zalim. terjadi di sana-sini, tetap tak ada perubahan berarti.
Beda pandangan, kriminalisasi kerap menjadi solusi. Sejatinya, sistem kapitalisme yang menyuburkan pemerintahan ala demokrasi ini menumbalkan apa saja, termasuk rakyat untuk urusan memperpanjang umur kekuasaan bagi segelintir orang demi kepentingan golongan ataupun kepentingan pribadi. Masihkah enggan berpolitik dengan petunjuk Ilahi?
Politik Islam
Sistem Islam jelas bertolak belakang dengan sistem kapitalisme. Dalam sistem Islam, politik bukan sekadar perkara kepemimpinan, tetapi juga terkait sistem kehidupan yang akan diterapkan. Politik sendiri memiliki makna “riayah syuunil ummah”, yakni memelihara urusan umat. Bukan seperti sistem saat ini yang hanya berebut kursi kekuasaan.
Dengan makna politik secara syar’i di atas, maka pemimpin memiliki kewajiban mengurus rakyat, yakni menjadi pelayan rakyat. Dalam hal ini, pemimpin wajib menerapkan Islam secara menyeluruh dalam bingkai negara agar bisa menjamin kebutuhan pokok personal dan komunal tiap individu rakyat. Tak ada celah bagi pemimpin untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Di samping itu, tak ada ruang bagi pemimpin atau penguasa untuk melegislasi hukum tanpa bersandar pada nash syar’i, baik dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah. Mereka tak akan menjadi pesaing Allah dalam urusan membuat hukum. Sebab, politik Islam mewajibkan para penguasa untuk tunduk dan menerapkan aturan Allah semata.
Asas politik Islam ada empat hal:
Pertama, kedaulatan di tangan syarak. Rakyat dan penguasa harus tunduk kepada hukum syarak semata. Sehingga akan terbentuk satu perasaan, pemikiran dan peraturan yang sama, yakni Islam.
Kedua, kekuasaan di tangan rakyat. Rakyatlah yang berhak memilih pemimpin (khalifah) sebagai penguasa yang akan mengurusi urusan mereka yang dilakukan melalui baiat sesuai mekanisme syar’i yang telah dicontohkan sejak masa sahabat Nabi saw.
Ketiga, pengangkatan satu khalifah untuk seluruh kaum muslim hukumnya wajib. Hal ini mengindikasikan bahwa hanya boleh ada satu kekuasaan untuk seluruh kaum muslim di seluruh penjuru dunia yang bernaung dalam satu institusi, Khilafah Islamiah.
Keempat, khalifah yang memiliki wewenang untuk mengadopsi hukum syarak berdasarkan mekanisme syar’i untuk dijadikan undang-undang. Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh akal manusia yang lemah membuat hukum atau aturan hidup.
Dengan demikian politik dalam Islam tak akan membawa pada kemudharatan apalagi sengkarut politik yang berkepanjangan. Politik tak bisa lepas dari Islam. Hanya dalam Islam, politik akan membawa keberkahan bagi manusia dan alam semesta. Wallahualam.