
Oleh: Ika Kusuma
Linimasanews.id—Demo kawal putusan MK 22 Agustus 2024 terjadi di beberapa daerah di Indonesia, diikuti oleh berbagai kalangan mulai mahasiswa, organisasi masyarakat, hingga artis. Mereka menuntut DPR tidak menganulir putusan MK terkait batas syarat pencalonan kepala daerah dan batas kandidat peserta Pilkada 2024. Terpantau hanya jelang satu hari sejak putusan MK, DPR justru menganulir dengan pembahasan revisi RUU Pilkada.
Hal tersebut tentu menimbulkan reaksi dari masyarakat yang nyatanya masih “melek” dan mengambil sikap protes terhadap kezaliman. Sayangnya, aksi demo masyarakat tersebut harus berhadapan dengan tindak represif dari aparat, seperti halnya bentrok ribuan demonstran dan aparat gabungan TNI Polri di depan gedung DPR RI Senayan, Jakarta, kemarin. Bentrok dimulai ketika masa mulai merangsek masuk gedung utama komplek parlemen dan melempari aparat dengan batu yang kemudian dibalas penyemprotan gas air mata oleh aparat (bisnis.com, 22 /8/2024).
Bahkan sampai Kamis malam, 22 Agustus 2024, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) telah menerima 11 laporan 11 massa aksi terkonfirmasi tertangkap kepolisian. Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menerima 26 laporan terkait tindak represif aparat pada aksi demo di beberapa wilayah, antara lain Semarang, Bandung, dan Jakarta. Tindak represif yang dilaporkan terkait kekerasan, doxing, hingga penangkapan oleh pihak kepolisian. Bahkan ada ratusan aksi justru ditangkap ketika hendak menuju lokasi aksi.
Isnur mengungkap bahwa tindak represif aparat ini merupakan bentuk tindak pidana pelanggaran hukum dan melanggar peraturan internal Kapolri. Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 menyebut kepolisian tidak boleh terpancing, tidak arogan, dan tidak melakukan kekerasan saat situasi massa tidak terkendali. Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut jika tindakan aparat tersebut tidak sejalan dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 yang menyebutkan Polisi adalah pengayom masyarakat (tempo.co, 25/8/2024).
Miris memang. Dalam sistem demokrasi yang katanya melindungi kebebasan berpendapat dan menerima kritik publik justru terbantahkan dengan adanya tindakan represif aparat yang justru membuktikan jika dalam sistem demokrasi tidak ada ruang bagi kritik dan koreksi dari rakyat. Multiperan yang ditunjukkan oleh DPR yang harusnya menjadi wakil rakyat justru melakukan akrobat politik demi kepentingan rezim makin memperkuat bukti bahwa demokrasi tak lain adalah buah pikir kapitalisme yang berasaskan untung rugi secara materi. Cara berpikir mereka berasaskan kemanfaatan. Asal mendatangkan manfaat, mereka pun bermanuver, tak peduli jika harus menjilat ludah sendiri dan menjadikan lawan menjadi kawan politik mereka.
Sejatinya, politik demokrasi lahir dari buah pikir kapitalisme. Maka tak heran, sistem ini menyebabkan kerusakan. Politik demokrasi meniscayakan manusia berdaulat atas hukum yang menjadikan mereka bisa membuat, merevisi atau bahkan menghapus hukum sesuai kepentingan mereka. Tak ada keadilan sebenarnya dalam sistem ini.
Sistem kapitalisme melahirkan para pemimpin korporatokrasi, yakni pemimpin sekaligus pengusaha. Pola pikir penguasa tak lagi berfungsi sebagai raa’in atau pelayan masyarakat, namun selayaknya pembisnis yang rela menggunakan jabatannya untuk mempermudah kepentingan mereka. Dari sekian banyak kerusakan, harusnya umat tersadarkan jika sumber segala permasalahan umat saat ini terletak pada sistem yang salah.
Sistem Islam memiliki mekanisme yang mampu mempertahankan pemerintah tetap berjalan di jalan Allah dengan adanya muhasabah lil hukam, juga lembaga seperti majelis ummah dan qadhi madzalim. Muhasabah lil hukam menjadi kewajiban bagi tiap individu, kelompok, ataupun masyarakat muslim sebagai bentuk amar makruf nahi mungkar. Dalam Islam, kepala negara atau khalifah meskipun dipilih dari insan terbaik namun bukan berarti sempurna tanpa cela sehingga tetap diperlukan kritik dan koreksi dari umat.
Kaum muslim berhak menyampaikan pendapat, saran, nasihat, bahkan kritik kepada khalifah selaku kepala negara, termasuj pejabat pemerintahannya. Di sinilah, fungsi lembaga Majelis Ummah sebagai wakil rakyat yang berhak menyampaikan pendapat tanpa pencekalan ataupun tekanan. Penguasa juga memahami tujuan muhasabah agar aturan Allah tetap tegak di muka bumi.
Selain itu, kewenangan membuat hukum dalam Islam bukan di tangan sekelompok orang, namun mutlak dari Allah Swt. sehingga tidak ada celah untuk mengubah hukum sesuai dengan kepentingan pribadi seperti dalam sistem saat ini. Begitulah Allah menghadirkan Islam secara sempurna untuk mengatur kehidupan manusia. Sistem yang mampu mewujudkan Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, yaitu sebuah negri yang mana terdapat kebaikan alam dan kebaikan akhlak penduduknya. Alhasil, kesejahteraan umat hanya mungkin terwujud ketika syariat Islam ditegakkan secara kaffah. Wallahualam.