
Oleh: Via Gantina, S.Pd.
(Aktivis Muslimah)
Linimasanews.id—Kasus bunuh diri makin merebak, kini banyak dari pelakunya adalah kalangan mahasiswa, seperti yang belum lama terjadi. Sebagaimana dilansir Republika.co.id, IPB University berduka setelah seorang mahasiswa barunya bernama Sulthan Nabinghah Royyan (18 tahun) ditemukan meninggal dunia.
Dalam olah TKP, Kepolisian Polsek Dramaga dan Team INAFIS Polres Bogor mendapatan keterangan korban meninggal dunia dengan cara mengantungkan dirinya pada seutas tali di dalam kamar mandi. Jenazah Sulthan pun langsung dievakuasi ke RSUD Ciawi.
Kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa makin menyeruak. Terbaru, seorang mahasiswa PPDS Anestesi Undip bunuh diri karena diduga tidak kuat atas perilaku bullying yang ia alami. Kasus ini menambah panjang deretan kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa sekaligus menunjukkan buramnya sistem pendidikan di bawah asuhan sekularisme.
Menurut data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri, terdapat 971 insiden bunuh diri di Indonesia sepanjang Januari hingga 18 Oktober 2023. Jumlah tersebut melebihi angka bunuh diri sepanjang 2022 yang mencapai 900 kasus. Bukan tidak mungkin angka ini akan terus meningkat seiring bertambahnya pemberitaan kasus bunuh diri mahasiswa.
Mengutip laman Kompas (21/11/2023), pakar Psikologi Unair Dr. Nur Ainy Fardana menyebut ada lima faktor yang membuat mahasiswa bunuh diri, seperti masalah kesehatan mental, tekanan dan tuntutan tinggi dalam lingkup akademik dan keluarga, perasaan kesepian karena tidak adanya dukungan sosial, masalah finansial yang serius, dan perasaan traumatis atau mengalami pelecehan. Lima faktor tersebut sejatinya merupakan masalah kompleks yang terjadi dalam sistem sekuler kapitalisme. Seperti apa korelasinya?
Pertama, masalah kesehatan mental. Di antara masalah kesehatan mental yang sering terjadi pada mahasiswa antara lain depresi, gangguan kecemasan, gangguan makan, menyakiti diri sendiri, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, insomnia, dan kurangnya bersosialisasi. Banyaknya gangguan kesehatan mental sejatinya tidak bisa dilepaskan dari paradigma kehidupan yang dimiliki generasi muda (mahasiswa).
Sistem kehidupan sekuler telah mereduksi pandangan hakiki manusia sebagai hamba Allah Taala. Dalam pandangan kapitalisme sekuler, tujuan hidup manusia sekadar meraih sebanyak-banyaknya materi dan kesenangan dunia sehingga ketika hal itu tidak tercapai, ia merasa gagal dan mudah menyerah dalam hidup. Di sinilah munculnya gangguan cemas, stres, depresi, dan sejenisnya yang memicu seseorang berniat bunuh diri.
Kedua, tekanan dan tuntutan yang tinggi dalam lingkup akademik dan keluarga. Beban akademik yang banyak kerap menjadi pemicunya. Selain itu, tuntutan dan harapan orang tua kepada anak yang terlalu ambisius juga mendorong keluarga memaksakan kehendak dan mengharuskan anak memperoleh prestasi akademik yang bagus. Alhasil, rasa takut mengecewakan keluarga mendominasi dalam dirinya yang membuatnya tertekan dan merasa terbebani.
Ketiga, seiring laju digitalisasi, generasi muda, terutama mahasiswa, cenderung banyak berinteraksi dengan dunia digital atau dunia maya. Kesibukan dan keasyikan mereka di dunia maya memicu interaksi sosial mereka dengan masyarakat sekitar berkurang. Apalagi kehadiran media sosial seakan menjadi obat bagi mereka yang kesepian dan tidak memiliki dukungan sosial. Jadilah generasi muda kita menjadi generasi yang jiwa sosialnya terisolasi dengan mencukupkan diri dalam pertemanan dunia maya.
Keempat, masalah finansial yang serius. Masalah ekonomi kerap menjadi pemicu seseorang bunuh diri. Sistem sekuler kapitalisme telah menjadikan segala aspek menjadi tujuan bisnis, seperti biaya UKT mahal mendorong mahasiswa nekat melakukan pinjol, judol, atau tindak kriminal.
Sudah banyak kasus bunuh diri karena pinjol dan judol, tetapi negara hanya menindak sekenanya dan belum serius memberantas perjudian dan pinjol yang meresahkan. Lebih parah lagi, Menko PMK Muhadjir Effendy malah mendukung mahasiswa memanfaatkan pinjol untuk membayar uang kuliah tunggal (UKT) jika kesulitan ekonomi, selama pinjol yang digunakan resmi dan tidak merugikan.
Kelima, peristiwa traumatis akibat kehilangan orang terdekat atau mengalami pelecehan. Sistem sekuler menciptakan kehidupan serba bebas pada generasi muda. Pacaran hingga zina membudaya, lalu muncul masalah gangguan mental, dan ujungnya bunuh diri menjadi solusi keluar dari masalah.
Dari lima faktor di atas, tampak bahwa sistem pendidikan sekuler telah gagal membentuk kepribadian generasi muda yang memiliki keimanan kuat, mental yang sehat, serta visi hidup yang jelas. Sistem pendidikan sekuler pada dasarnya memang tidak diformat menghasilkan output pendidikan yang memiliki karakter mulia. Dasar akidahnya saja menjauhkan seorang hamba dari aturan Allah. Bagaimana mungkin akan terbentuk generasi beriman dan berkepribadian Islam, sedangkan kurikulumnya tidak merujuk pada visi penciptaan manusia, yaitu sebagai hamba yang taat pada Tuhannya?
Sistem pendidikan sekuler juga menciptakan lingkungan pendidikan yang tidak manusiawi. Semisal bullying atau rasa superioritas senior terhadap junior. Pasalnya, sistem sekuler kapitalisme membentuk kesenjangan nyata yang memicu aksi bullying. Yang kaya menindas yang miskin. Yang pintar menghina yang lambat menerima pelajaran atau pengetahuan. Di sisi lain, tujuan pendidikan hanya berkutat pada target menjadi lulusan berprestasi yang sifatnya materi dan mengejar kesenangan duniawi. Bukan untuk menuntut ilmu dan menjadi manusia beradab serta berakhlak mulia.
M. Ismail Yusanto dalam bukunya yang berjudul Menggagas Sistem Pendidikan Islam menuliskan bahwa pendidikan Islam terlahir dari sebuah paradigma Islam berupa pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan dikaitkan dengan kehidupan sebelum dunia dan kehidupan setelahnya, serta kaitan antara kehidupan dunia dan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Paradigma pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari paradigma Islam.
Pendidikan dalam Islam merupakan upaya sadar dan terstruktur serta sistematis untuk menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdullah (hamba Allah) dan khalifah Allah di muka bumi. Itulah tujuan pendidikan Islam. Asasnya akidah Islam. Asas ini menjadi dasar dalam penyusunan kurikulum pendidikan, sistem belajar mengajar, kualifikasi guru, budaya yang dikembangkan, dan interaksi di antara semua komponen penyelenggara pendidikan.
Pada masa Khilafah Islam, banyak lahir generasi unggul. Tidak hanya unggul dalam ilmu saintek, mereka pun sukses menjadi ulama yang fakih fiddin. Keseimbangan ilmu ini terjadi karena Islam menjadi asas dan sistem yang mengatur dunia pendidikan. Dalam lintas sejarah peradaban Islam, pendidikan Islam mengalami kejayaan dan kegemilangan yang diakui dunia internasional. Lembaga pendidikan tumbuh subur dan majelis-majelis ilmu di selasar masjid yang membahas berbagai ilmu pengetahuan pun bertaburan.
Semua ini berjalan dengan baik karena peran besar negara dalam mengatur setiap aspek kehidupan agar sesuai dengan asas pendidikan tersebut, yaitu berbasis akidah Islam. Dalam mendukung sistem pendidikan ini, negara melakukan berbagai kebijakan berbasis syariat Islam, di antaranya sebagai berikut.
Pertama, menerapkan politik ekonomi Islam. Untuk mewujudkan sistem pendidikan Islam yang baik tentu membutuhkan anggaran pendidikan yang besar, seperti membangun sarana dan fasilitas pendidikan yang merata di seluruh wilayah dan memberi gaji para guru serta tenaga pendidik secara layak.
Pembiayaan pendidikan diperoleh dari pos fai dan kharaj, seperti ganimah, khumus, jizyah, dan dharibah (pajak) dan pos pengelolaan sumber daya alam, seperti tambang, hutan, laut, dan sebagainya. Pada masa Islam, banyak orang-orang kaya turut berkontribusi dalam pendidikan, seperti menyumbangkan sebagian hartanya untuk wakaf atau membangun lembaga pendidikan secara mandiri dengan tetap berbasis pada kurikulum negara, yaitu akidah Islam.
Kedua, negara membuat kebijakan pendidikan gratis untuk semua peserta didik. Dengan kebijakan ini, beban dan masalah seputar biaya pendidikan tidak akan terjadi sehingga tidak akan ditemukan kasus bunuh diri mahasiswa atau pelajar karena masalah ekonomi. Pendidikan gratis untuk semua peserta didik juga akan mendorong mahasiswa semangat menempuh pendidikan tinggi sesuai minat dan kemampuan masing-masing individu. Mereka bisa menjadi ulama sekaligus ilmuwan ataupun ilmuwan yang cakap dalam agama.
Ketiga, negara melakukan pembinaan Islam secara komunal. Suasana iman akan lebih terasa dalam kehidupan masyarakat karena negara membangun sistem pergaulan yang berlandaskan Islam. Pintu-pintu maksiat akan ditutup rapat. Negara menerapkan sanksi yang membuat jera para pelaku maksiat. Dengan penerapan sistem Islam yang menyeluruh, generasi muda akan terselamatkan dari sekularisme yang merusak sendi-sendi kehidupan. Wallahualam bisawab.