
Oleh: Siti Zulaikha, S.Pd. (Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi)
Linimasanews.id—Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia berencana merevitalisasi sumur minyak yang saat ini menganggur alias tidak aktif atau idle. Hal ini dilakukan sebagai upaya pemerintah dalam menggenjot produksi minyak nasional. Bahlil menilai bahwa pemanfaatan sejumlah sumur minyak selama ini masih kurang optimal. Adapun, dari total 44.900 sumur minyak yang ada, setidaknya hanya 16.300 sumur yang berproduksi.
Ia juga mencatat bahwa terdapat 16.250 sumur yang masuk pada kriteria idle well alias tidak aktif. Padahal, dengan mengoptimalkan kembali sumur yang ada, Indonesia dapat meningkatkan produksi minyak. Oleh sebab itu, ia pun berencana menawarkan pengelolaan sumur idle kepada para investor, baik itu investor dari dalam negeri maupun luar negeri. Mengingat, potensinya masih cukup besar (CNBCIndonesia.com, 26/9/2024).
Rencana revitalisasi sumur minyak yang tidak aktif dengan mengandalkan investor membuktikan bahwa negeri ini tidak memiliki visi membangun ketahanan energi. Energi yang sangat dibutuhkan oleh sebuah negara yang menentukan keberlangsungan hidup masyarakat, pengelolaannya seharusnya dipikirkan secara serius. Namun faktanya, negara malah enggan melakukan eksplorasi dengan alasan biaya yang mahal dan proses yang sulit. Negara malah fokus memanfaatkan sumur minyak dengan tetap bergantung pada investor tanpa memikirkan apakah produksi hasil pengolahan sumur minyak itu memenuhi kebutuhan dalam negeri atau tidak.
Negara yang tidak ingin rugi saat melakukan upaya produksi energi untuk rakyat in menggambarkan buruknya kualitas pejabat yang menerapkan sistem kapitalisme demokrasi. Pejabat seharusnya berpikir strategis untuk mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yang besar yang membawa manfaat dan keberkahan untuk bangsa. Pasalnya, negeri ini memiliki sumber daya minyak dan gas atau migas yang berlimpah, yang bisa dimanfaatkan negara untuk membangun ketahanan energi tanpa harus bergantung pada investor lokal maupun asing. Namun, atas nama liberalisasi sebagai konsekuensi penerapan sistem kapitalisme negara harus membuka peluang bagi pihak swasta untuk melakukan pengelolaan atasnya.
Sungguh, liberalisasi migas hanya mengecilkan peran negara dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDM) dan memperbesar peran swasta demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Berbeda dengan pengelolaan sumber daya alam termasuk migas di bawah negara yang menerapkan Islam secara sempurna, Khilafah Islamiyah. Khilafah memiliki konsep kepemilikan dan mekanisme pengelolaan sumber daya alam sesuai tuntunan Allah dan rasulnya. Pengelolaan ini akan membawa kesejahteraan bagi semua rakyat dan keberkahan dari Allah.
Dalam sistem ekonomi Islam, migas yang depositnya cukup banyak masuk kategori milik umum yang wajib dikelola oleh negara bukan swasta. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan sifat kebutuhan umum tersebut dalam sebuah hadis, “Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Daud)
Hadis tersebut sangat gamblang menjelaskan bahwa sumber daya alam apa pun yang jumlahnya melimpah, termasuk migas, tidak boleh diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta. Negara sendiri hanya berhak mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk rakyat. Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan dengan dua cara:
Pertama, pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum. Air, padang, rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar, dan semisalnya bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, juga menggembalakan hewan ternak dari Padang rumput milik umum. Dalam kontes ini, negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat.
Kedua, pemanfaatan di bawah pengelolaan negara. Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar. Seperti minyak bumi, gas alam dan barang tambang lainnya yang wajib dikelola oleh negara. Negara yang berhak untuk mengelola dan mengeksplorasi bahan tersebut, hasilnya dimasukkan ke kas Baitul Mal.
Khalifah berwenang mendistribusikan hasil tambang dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi kemaslahatan umat. Dalam mengelola kepemilikan tersebut, negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat untuk konsumsi rumah tangga dengan mendasarkan pada asas mencari keuntungan mata. Harga jual kepada rakyat hanya sebatas harga produksi, namun boleh menjualnya dengan mendapatkan keuntungan yang wajar jika dijual untuk keperluan produksi komersial.
Hasil keuntungannya akan dibagikan ke kaum muslim secara langsung atau dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta milik umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran dan distribusi. Demikianlah pengelolaan minyak dan gas dalam Islam yang membawa kebaikan bagi negara dan rakyat. Sungguh hanya sistem islam yakni Khilafah yang mampu memberi rasa kesejahteraan rakyat. Wallahualam bisawab.