
Oleh: Eni Yulika
Linimasanews.id—Baru-baru ini, santer berita di beberapa media yang mengabarkan belasan anggota DPRD setelah dilantik langsung mendatangi pihak bank untuk menggadaikan SK. Dalam laman detik.com (07/09/24) diberitakan bahwa sejumlah anggota DPRD di Jawa Timur ramai-ramai ‘gadaikan’ Surat Keputusan (SK) pengangkatan ke bank. Fenomena gadai SK massal usai pelantikan anggota DPRD ini menunjukkan betapa mahalnya biaya politik di Indonesia.
Pengamat politik Universitas Brawijaya (UB) Prof. Anang Sujoko menilai, langkah anggota legislatif menggadaikan SK adalah fenomena yang cukup memprihatinkan. Beban berat Anggota DPRD yang terpilih muncul akibat mahalnya biaya proses demokrasi. “Fenomena yang sangat menarik. Tetapi menariknya, itu lebih bicara keprihatinan yang amat sangat terhadap fenomena demokrasi atau praktik demokrasi yang ada di Indonesia saat ini,” ujar Anang Sujoko. Bahkan Anang menyakini pengeluaran untuk seorang bakal calon legislatif bukan hanya ratusan juta. Dia memperkirakan saat ini modal untuk menjadi caleg itu bisa melebihi angka Rp 1 miliar.
Sungguh sangat miris melihat kondisi hal ini. Anggota dewan yang seharusnya bekerja untuk melayani masyarakat harus terlilit hutang dan terpaksa menggadaikan SK-nya untuk membayar tumpukan utang atau mengembalikan dana selama kampanye dari simpanan uang mereka. Akhirnya, fokus mereka bagaimana mendapatkan pemasukan dari sumber lain yang memungkinkan untuk terjadinya kasus-kasus korupsi atau suap menyuap karena gaji mereka sudah pasti akan dipotong dari pihak bank yang terkait.
Ini masih kasus di wilayah Jawa Timur yang terkuak media. Kasus gadai SK di antaranya anggota dewan dari daerah Pasuruan, Malang, dan Bangkalan, belum lagi daerah lain. Kondisi ini bisa menjadi fenomena gunung es, yang tampak masih sekitar 20-an orang, tetapi sebenarnya jika ditelusuri bisa lebih banyak. Jika ditelisik, ternyata gaji satu anggota DPRD misalnya di Kota Pasuruan sekitar 30-35 juta/bulan dan kota Malang sekitar 45 juta/bulan yang di dalamnya termasuk gaji, tunjangan transportasi, perumahan hingga komunikasi. Gaji yang tidak sedikit sebenarnya, tetapi biaya pemilu dalam demokrasi amat tinggi.
Sejatinya, demokrasi mendapat kritik dari pendirinya, Socrates. Dia mengkritisi demokrasi yang rawan dengan praktik kekeliruan. Menurut Socrates, mengambil suara dalam pemilihan adalah keterampilan, bukan intuisi acak. Sama halnya dengan keterampilan apa pun, hal itu perlu diajarkan secara sistematis kepada orang-orang. Membiarkan rakyat memilih tanpa pendidikan, sama tidak bertanggung jawabnya dengan menempatkan mereka sebagai penanggung jawab atas “tiga kali pelayaran ke Samos dalam badai.” Akhirnya, walaupun awalnya Socrates adalah pendiri demokrasi, tetapi akhirnya ia keliru dan melihat keburukan demokrasi. Dia pun berakhir di tiang gantungan.
Begitulah demokrasi sudah keliru sejak lahirnya. Demokrasi bisa saja memenangkan orang yang berduit tanpa memandang layak atau terbukti apik sepak terjangnya dalam melayani masyarakat. Suatu hal yang wajar saat hasil dari pemilihan yang ada akan kembali mengecewakan harapan rakyat yang ingin hidup adil dan sejahtera. Ketimpangan si kaya dan si miskin sangat lebar, keadilan yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, kezaliman dan kebodohan merajalela, dsb.
Masih pantaskah ini disebut kemenangan? Tentu tidak, ini hanyalah ilusi kemenangan di alam demokrasi. Kemenangan yang hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Walaupun ada sebagian yang berpendapat mereka ingin mengubah ke arah kebaikan, tetapi kalah dengan suara mayoritas yang mendukung kebatilan. Akhirnya, rakyat yang turun tangan, suara netizen sering kali membuat hambatan bagi para pelaku ketidakadilan. Aksi mahasiswa pun turut mewarnai jalannya demokrasi.
Berbeda sekali dengan sistem Islam yang berasal dari tuntunan wahyu Allah Swt. yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah saw. Di mana pemimpin yang dipilih bukanlah pemimpin yang mengeluarkan dana yang banyak, tetapi ia dipilih kerena memenuhi persyaratan. Di antaranya ada 7 syarat in’iqad (syarat legal) pemimpin Islam, yaitu : (1) laki-laki; (2) muslim; (3) merdeka; (4) baligh; (5) berakal; (6) adil, artinya bukan orang fasik; dan (7) mampu mengemban jabatan.
Jika salah satu dari ketujuh kriteria ini tidak ada, maka kepemimpinannya dinyatakan tidak sah. Ada pula syarat afdhaliyyah (syarat keutamaan) yang didukung nash-nash sahih atau merupakan turunan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash sahih. Contohnya keturunan Quraisy, Mujtahid, atau Ahli menggunakan senjata (Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhomul Hukmi fil Islam).
Dalam Islam, tidak sembarangan dalam memilih seorang pemimpin. Dalam Islam juga ada perwakilan umat yaitu majelis umat (musyawarah dan kontrol). Para anggota majelis umat ini adalah representatif dari wakil masyarakat di setiap wilayah, baik muslim dan nonmuslim yang memberikan pendapat dan tempat rujukan bagi khalifah dalam menangani berbagai urusan. Sebagai contoh ketika Perang Badar, Rasulullah sering meminta pendapat para sahabat dan para sahabat juga mengusulkan pendapat mereka.
Salah satunya Hubab Al-Mundir yang mengusulkan untuk menuju ke tempat yang lebih dekat dengan sumber air dan membangun beberapa sumur sebagai bentuk strategi berperang. Begitu pula Sa’ad bin Muadz yang mengusulkan untuk membangun tenda bagi Rasulullah di sekitar anak bukit di medan perang. Untuk memantau pasukan ketika terjadi peperangan.
Untuk nonmuslim boleh menjadi bagian dari majelis umat dalam rangka menyampaikan kezaliman penguasa terhadap mereka, tentang buruknya penerapan Islam terhadap mereka, atau tidak tersedianya pelayanan bagi mereka dan semisalnya. Sehingga rakyat, baik muslim dan nonmuslim memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya dan juga memiliki hak untuk mengontrol kinerja penguasa terhadap terlaksananya hukum Islam, bukan dalam hal bersedia tidaknya penerapan Islam atau terkait aturan Islam yang diberlakukan.
Oleh karena itu, majelis umat akan melaksanakan tugasnya untuk kepentingan masyarakat, bukan berlomba-lomba meninggalkan kepentingan masyarakat. Ketika penguasa melaksanakan sistem Islam dengan benar maka yang mendapatkan kesejahteraan adalah mereka dan seluruh rakyat. Dalam Islam, penguasa tidak digaji dalam menjalankan tugasnya. Mereka hanya diberi santunan. Hal itu akan mengurangi tingkat kecurangan.
Pemimpin Islam akan memimpin dengan berlandaskan keimanan dan menjalankan perintah Allah, bukan demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Benarlah ketika Allah Swt. berfirman, “Hukum siapa yang lebih baik selain hukum Allah bagi mereka yang mau berpikir?” Wallahu a’lam bisawab.