
Oleh: Yulweri Vovi Safitria
(Freelance Writer)
Linimasanews.id—Indonesia dengan muslim terbesar di dunia, kedatangan pemimpin tertinggi Gereja Khatolik Paus Fransiskus. Ini merupakan kunjungan pertama Paus ke Indonesia setelah kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada 1989 (tempo, 31/8/2024).
Di Balik Kunjungan Paus
Namun, di balik kunjungan Paus tersebut, ada beberapa poin penting yang perlu dikritisi oleh masyarakat, khususnya umat Islam, salah satunya adalah azan Magrib yang diganti dengan running teks selama misa berlangsung. Ya, misa tersebut ditayangkan secara live mulai pukul 17.00-19.00 WIB di seluruh televisi nasional (Kemenag, 4/9/2024).
Ini artinya, program tersebut berlangsung saat magrib dan menjelang isya yang sesungguhnya merupakan waktu penting bagi umat Islam. Sejumlah pertanyaan muncul di benak umat Islam. Apakah sebegitu penting agenda ini sehingga harus ditayangkan di seluruh televisi nasional? Sementara secara jumlah, umat Kristen adalah minoritas. Maka sepatutnya, program yang ditayangkan adalah yang bisa ditonton oleh mayoritas masyarakat.
Bukan hanya itu, tidakkah ini sama saja dengan pemaksaan agar seluruh masyarakat menonton acara yang disinyalir bisa merusak akidah umat Islam? Tentunya umat Islam patut waspada dan tidak bermain-main dengan persoalan akidah. Mengganti azan menjadi running teks dengan alasan bahwa azan di televisi hanya mengingatkan penonton untuk melaksanakan salat magrib, sebagaimana yang disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Agama, Sunanto, tidak sepatutnya pula dilakukan. Ini seolah mengganggap bahwa misa lebih penting daripada azan yang merupakan panggilan salat bagi umat Islam.
Toleransi vs Pluralisme
Ironinya lagi, kedatangan Paus disambut dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an di Masjid Istiqlal, Jakarta. Bacaan surah Al-Baqarah ayat 62 dan surah Al-Hujurat ayat 13 yang diperdengarkan, dianggap sebagai simbol toleransi dan dasar bahwa selama seseorang beriman kepada Tuhan dan hari akhir, maka mereka akan selamat di akhirat, tanpa merasa takut atau bersedih. Tentunya ini dalih yang dicari-cari, sebab dalam Islam sudah jelas bahwa satu-satunya agama yang diridai Allah hanyalah Islam.
Penyambutan yang dilakukan terhadap pemimpin tertinggi Vatikan oleh negara dengan mayoritas muslim ini merupakan toleransi yang kebablasan. Pasalnya, sikap seperti ini tidak pernah diajarkan oleh Islam. Bahkan, Allah Swt. telah memperingatkan hamba-Nya agar bersikap tegas terhadap orang kafir.
Terlebih lagi, mereka juga melakukan dialog dan memosisikan Islam sama seperti agama lain. Ini sama saja dengan mencampuradukkan akidah, persoalan yang paling prinsipil bagi umat Islam. Mirisnya lagi, Paus Fransiskus dipuja-puja, seolah ia adalah sosok yang patut diteladani gaya hidupnya, padahal pembelaannya terhadap kaum L687 jelas mencederai nurani manusia, khususnya umat Islam.
Di sisi lain, ketika umat Islam menjadi minoritas, umat berada dalam tekanan. Umat Islam dituntut mengalah dan tahu diri. Umat Islam harus menerima segala aturan yang diberlakukan atas dirinya. Tidak perlu jauh-jauh, di Bali, misalnya, umat Islam harus menerima segala aturan yang diberlakukan saat Nyepi berlangsung. Umat Islam tidak boleh bekerja, suasana gelap, bandara ditutup, dan lain sebagainya.
Namun, lain halnya ketika umat Islam menjalankan ibadahnya. Umat dituntut untuk toleransi terhadap agama lain, bahkan menghargai orang yang tidak berpuasa. Alhasil, meski Ramadan berlangsung, warung-warung makan tetap berdiri dengan bangganya. Bukankah seharusnya orang yang tidak berpuasa menghargai yang berpuasa? Mengingat puasa hanya sekali dalam setahun. Lantas, toleransi ini ditujukan untuk siapa?
Sekularisme Biang Masalah
Gegap gempita penyambutan yang dilakukan oleh negara, mulai dari WFH bagi sejumlah daerah di Jakarta, pembacaan ayat suci Al-Qur’an, kunjungan ke Istiqlal, hingga perayaan misa, menegaskan bahwa negeri ini ini memang mengadopsi sistem sekularisme. Ya, ketika agama dijauhkan dari kehidupan, semuanya menjadi samar-samar. Tidak jelas mana haram dan mana yang halal.
Agama dianggap sebagai persoalan individu sehingga negara tidak perlu bertanggung jawab, meskipun kondisi tersebut berpotensi mengikis akidah umat. Bukan hanya itu, kandungan Al-Qur’an pun ditafsirkan sesuka hati sesuai dengan hawa nafsunya. Sebagian umat juga merasa aneh ketika pemerintah ikut turun tangan mengatur perayaan misa yang sudah jelas-jelas bertentangan dengan akidah mayoritas masyarakat.
Sementara di sisi lain, pemerintah seolah tidak peduli dengan kondisi umat Islam. Bahkan, pemerintah tidak segan menjadi pihak pertama yang menzalimi umat Islam, seperti menghalangi dakwah Islam kafah, melakukan persekusi terhadap ulama yang tidak sejalan dengan pemerintah. Yang terbaru, pemerintah sempat melakukan pelarangan hijab (kerudung) bagi anggota Paskibraka yang baru-baru ini viral.
Toleransi dalam Islam
Berbicara toleransi, Islam sudah lebih dahulu paham akan hal ini. Islam mengajarkan toleransi dalam hal muamalah, bukan akidah. Bahkan, Allah Taala menjelaskannya di dalam Al-Quran, “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (QS Al-Kafirun: 6)
Bukan hanya itu, Allah Taala menjadikan Islam itu tinggi, memuliakan hamba-Nya yang memeluk dan mengkaji Islam. Oleh karenanya, sungguh tidak pantas jika ada para pemuka agama Islam atau ulama merendahkan dirinya di hadapan pemimpin kafir, apalagi menganggap kaum kafir sebagai contoh atau teladan dalam kepemimpinan.
Oleh karena itu, umat Islam harus menyadari bahwa hari ini, umat sedang berada dalam jajahan kaum kafir. Segala upaya mereka lakukan untuk menjegal kebangkitan Islam yang sesungguhnya telah mereka sadari. Untuk itu, umat Islam tidak boleh terjebak dengan mulut manis orang-orang kafir dan kaum munafik yang terus saja menyesatkan umat.
Umat Islam harus bangkit dan mengembalikan Islam kepada posisinya, yakni mengatur seluruh kehidupan manusia sehingga marwah agama dan umatnya bisa terjaga. Hanya dengan penerapan aturan Islam oleh negara yang dapat mengembalikan kehormatan Islam dan umatnya. Umat juga harus sadar bahwa orang-orang kafir akan selamanya menjadi musuh yang paling nyata karena sampai kapan pun mereka tidak akan pernah rida hingga umat Islam mengikuti millah (ideologi) mereka.
Khatimah
Sungguh, Islam tidak kekurangan orang-orang hebat dan pemimpin-pemimpin hebat. Bahkan, Rasulullah saw. adalah pemimpin dunia yang diakui kehebatannya oleh kaum kafir. Lantas, mengapa umatnya mengidolakan pemimpin kaum kafir?