
Oleh: Rosita Sembiring
Linimasanews.id—Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi bersamaan dengan naiknya air pasang laut mengakibatkan banjir rob di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara pada Sabtu, 7 September 2024 pukul 11.20 WIB. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mengatakan, banjir ini menggenangi beberapa wilayah di Kecamatan Medan Marelan dan Medan Labuhan dengan ketinggian air mencapai 20 hingga 50 sentimeter (Tempo.co, 9/9/2024).
Banjir rob telah menjadi masalah kronis di pemukiman yang berada di daerah pesisir maupun di daerah pinggiran sungai. Tidak dapat dihindari, banjir menyebabkan kerugian yang besar dari segi ekonomi dan kemanusiaan.
Pada dasarnya, ada beberapa hal yang menjadi penyebab banjir rob. Di antaranya: Pertama, faktor alam. Ini disebabkan karena naiknya air laut ke permukaan dan karena curah hujan yang terlalu tinggi, sehingga melewati volume air sehingga menyebabkan pemicu terjadinya banjir.
Kedua, aktivitas manusia yang merusak. Seperti, lemahnya pemahaman tentang membuang sampah pada tempatnya. Membuang sampah sembarangan dapat meningkatkan risiko banjir. Sampah dapat menyebabkan tersumbatnya aliran air sungai. Limbah dapat memperburuk banjir rob di suatu daerah.
Ketiga, alih fungsi lahan. Penebangan hutan secara masif untuk kepentingan individu atau kelompok bisa menyebabkan hutan yang sejatinya sebagai penampung air di saat musim hujan, tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Alih fungsi lahan hutan ini telah menyebabkan terganggunya ekosistem. Dampaknya bisa dirasakan manusia dan makhluk hidup lainnya. Hal ini seperti dijelaskan dalam firman Allah Swt. dalam surah ar-Rum ayat 41 yang artinya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang benar”.
Negara harusnya berperan penting dalam pencegahan dan penanggulangan banjir ini. Lemahnya pengawasan dan sanksi yang diberikan, menjadi faktor pendukung banjir terus terjadi. Begitu juga dengan tindakan pencegahan dan kebijakan negara terkait penanggulangan banjir yang belum maksimal.
Buktinya, negara masih saja mengeluarkan izin alih fungsi hutan lindung menjadi hutan tanam industri kepada para pemilik modal, tanpa memikirkan dampak bagi lingkungan dan kerusakan ekosistem. Hal itu dilakukan demi kepentingan segelintir orang yang memiliki modal, bukan demi kepentingan rakyat umumnya.
Begitulah sejatinya sistem kapitalis. Para pengusaha bisa mendapatkan manfaat dari kebijakan penguasa. Akhirnya, sulit menyelesaikan masalah ini sampai ke akarnya. Sebab, sistem ekonomi kapitalis hanya berorientasi keuntungan bagi penguasa yang berkolaborasi dengan pengusaha.
Hal ini tentu berbeda jauh dan bertentangan dengan sistem Islam. Di dalam Islam, manusia diwajibkan untuk menjaga dan mengelola alam sebaik-baiknya. Sistem ekonomi Islam mempunyai seperangkat aturan yang mengatur tentang kepemilikan umum. Dalam Islam, api, air, dan padang rumput termasuk kepemilikan umum yang tidak boleh dikelola oleh individu atau kelompok.
Islam juga mempunyai cara efektif dalam penanggulangan banjir, seperti membangun bendungan-bendungan, kanal-kanal, dan sebagainya, yang mampu menahan air dari aliran sungai atau curah hujan. Selain itu, dalam Islam, ketakwaan individu menjadi pilar negara. Negara membina masyarakat agar terikat pada hukum syarak sehingga memiliki kesadaran untuk memelihara lingkungan.
Negara juga akan melakukan tindakan lainnya, berupa memberi sanksi yang tegas bagi pelaku pelanggaran. Hal ini akan mampu mengatasi pihak-pihak yang menyebabkan kerusakan dalam kehidupan. Sungguh, hanya penerapan sistem Islam yang mampu mengatasi problematika manusia dengan seperangkat aturannya, termasuk mengatasi agar bencana tidak kerap terjadi.