
Oleh: Neti Ernawati
(Ibu Rumah Tangga)
Linimasanews.id—Ada apa dengan anggota dewan? Pertanyaan itu muncul ketika banyak kabar muncul tentang anggota dewan yang mengajukan pinjaman ke bank menggunakan jaminan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan. Dilansir dari rejabar.republika.co.id tertanggal 06/09/24, gadai SK dilakukan oleh puluhan anggota DPRD Subang periode 2024-2029 yang baru saja dilantik pada Rabu(4/9/2024) lalu.
SK pengangkatan tersebut digunakan sebagai jaminan pengajuan pinjaman ke bank. Besaran pinjaman yang mampu diperoleh bervariasi jumlahnya, mulai dari Rp 500 juta hingga Rp 1 Miliar. Sekretaris Dewan Subang, Tatang Supriatna menyatakan, ada 10 orang dari 50 anggota DPRD Subang yang mengajukan pinjaman. Tatang memastikan, pinjaman tersebut digunakan untuk keperluan pribadi dan tidak terkait dengan kepentingan fraksi, partai atau pun Sekretaris Dewan. Pinjaman tersebut akan dilunasi dengan angsuran selama masa bakti sebagai anggota dewan melalui mekanisme potongan gaji sebesar 50% setiap bulan.
Hal tersebut ternyata tidak hanya terjadi di Subang, tetapi juga di Jawa Timur. Fenomena ini pun dianggap sebagai fenomena memprihatinkan. Praktik demokrasi yang membutuhkan biaya proses cukup mahal memunculkan beban berat bagi anggota dewan. Entah akibat kehabisan dana untuk kampanye, atau sekedar untuk memenuhi gaya hidup, yang jelas anggota dewan sebagai wakil rakyat telah memberikan potret buram demokrasi. Wakil rakyat seharusnya memberi teladan yang baik, bukan malah ramai-ramai memberi contoh praktik riba di negeri yang mayoritas muslim ini.
Di Balik Tergadainya SK
Tidak dimungkiri, untuk saat ini, profesi sebagai anggota dewan adalah salah satu profesi yang menjanjikan. Fasilitas dan gaji yang fantastis membuat banyak orang memperebutkan jabatan tersebut. Sebagai contoh saja, pendapatan anggota DPRD di Gresik bisa mencapai Rp44 juta per bulan. Sedang untuk anggota DPRD DKI pendapatannya bisa mencapai hingga Rp139,32 juta per bulan.
Dimungkinkan anggota dewan yang baru dilantik tersebut telah mengetahui perihal besaran gaji. Dengan dilantiknya anggota dewan seolah mereka telah mencapai tahapan finansial yang mapan hingga mereka memiliki keberanian mengambil pinjaman besar tanpa tanggung-tanggung hingga 1 miliar. Nominal pinjaman yang cukup tinggi untuk kelas rata-rata rakyat Indonesia saat ini.
Kemungkinan lain yang menjadi alasan pengajuan pinjaman adalah upaya mengganti dana yang terpakai selama kampanye. Tidak dimungkiri, tidak semua calon anggota memiliki modal. Meski ada bantuan dana kampanye dari perorangan maupun dari perusahaan ada kalanya dana yang dibutuhkan masih kurang. Proses demokrasi ini telah memaksa para calon berlomba-lomba dalam meraih suara pemilih. Apapun dilakukan bahkan sampai menghabiskan dana miliaran. Kebutuhan untuk memulihkan dana inilah yang kemungkinan membuat anggota dewan mengajukan pinjaman.
Demokrasi ala Kapitalis Sarat Unsur Kepentingan
Gayung pun bersambut, antara pejabat yang membutuhkan suara rakyat dengan rakyat yang memiliki kebutuhan hidup. Rakyat yang sudah terpengaruh kapitalisme tidak lagi menggunakan hak pilih sesuai hati nurani. Keuntungan materi menjadi iming-iming. Pendidikan sekuler turut serta membutakan moral sehingga rakyat tidak lagi memikirkan hajat hidup bersama, tapi keuntungan pribadi. Pengguna hak pilih terdorong untuk memikirkan nasib pribadi daripada nasib bangsa akibat uang sogokan pemilu. Bertahun-tahun pemilu telah menjadi ajang jual beli suara. Siapa yang mampu memberi uang atau manfaat bisa dipastikan akan mampu memperoleh kemenangan.
Inilah praktik licik dalam demokrasi. Sayangnya, iming-iming calon pejabat semasa pemilu tak dibarengi dengan keseriusan atas kewajiban yang akan ditanggung. Alih-alih mengambil langkah awal membuat kebijakan demi rakyat yang diwakili, mereka justru mengejar materi pribadi dengan buru-buru menggadaikan SK. Yakinkah mereka bisa melunasinya, bisa menyelesaikan tugas dengan baik hingga akhir masa jabatan. Mungkinkah keyakinan mengambil agunan mampu selaras dengan keseriusan mengemban amanah rakyat?
Islam Solusi Pejabat Bermartabat
Islam memiliki aturan untuk seluruh aspek kehidupan, begitu juga dalam pemerintahan. Pemerintahan di dalam Islam dikenal dengan istilah Khilafah, yang mana kekuasaan ada di tangan rakyat dan kedaulatan ada pada Allah (Al-Qur’an dan hadis). Dalam pemerintahan Islam, pengangkatan kepala daerah dan anggota majelis wilayah dilakukan dengan amanah dan tidak berbiaya tinggi. Kandidat dipilih menurut kredibilitas, serta ketakwaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Kandidat tidak perlu mencari dukungan atau berkampanye agar terpilih. Dengan proses tersebut, pemerintahan Islam bisa mendapatkan kandidat yang berkualitas, amanah dan siap melaksanakan tata aturan sesuai Al-Qur’an dan sunnah.
Pejabat yang memiliki ketakwaan pada Allah dan Rasul akan memiliki self control yang kuat. Mereka akan menganggap bahwa jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan benar, yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Mereka akan menjadikan jabatannya itu sebagai bekal masuk surga. Jabatan diemban bukan semata-mata untuk mendapatkan gaji atau fasilitas.
Dalam tata aturan Islam, pejabat dilarang melakukan kemaksiatan secara terang-terangan dan dilarang melakukan perbuatan haram. Karena itu, pejabat dalam pemerintahan Islam akan menjauhi korupsi serta riba seperti halnya pengajuan pinjaman melalui instansi atau bank. Dengan begitu, pejabat menjadi bermartabat dan mampu memberikan contoh positif bagi rakyat.