
Oleh: Watini Alfadiyah, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan)
Linimasanews.id—Pada dasarnya, layanan pendidikan yang optimal akan memengaruhi kualitas SDM sebuah bangsa. Namun, kini Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda respons permintaan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani supaya DPR ubah patokan alokasi 20% anggaran pendidikan dari belanja negara ke pendapatan negara. Syaiful Huda menegaskan pihaknya menolak segala upaya yang berdampak pada penurunan alokasi anggaran pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pasalnya menurut Huda, permintaan tersebut dapat menurunkan besaran belanja wajib atau mandatory spending APBN untuk layanan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Huda menegaskan dengan skema saat ini saja masih banyak anak yang tak bisa sekolah karena biaya. Maka, apalagi jika dana pendidikan diturunkan (Detik.com, 06/09/2024).
Mestinya perlu ditinjau ulang terkait dengan adanya kebijakan pemerintah mengamputasi biaya pendidikan tersebut. Pasalnya, kalaupun biaya pendidikan terpenuhi maka sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia sebuah bangsa. Namun jika tidak demikian, justru menunjukkan adanya sikap abai pemerintah terhadap urusan pendidikan. Bahkan serasa tidak adanya perhatian yang serius atas pemerintah dalam masalah pelayanan terhadap urusan pendidikan.
Dari sini, terlihat bahwa pemerintah berhitung untung rugi dalam berurusan dengan pelayanan atas warga negaranya. Itulah sebenarnya wajah asli sistem kapitalisme yang berasaskan sekularisme dan tujuan hidupnya hanya materi belaka. Mengapa demikian dalam memandang pendidikan:
Pertama, dalam kapitalisme, pendidikan dipandang sebagai komoditas. Dimensi keuntungan materi kerap menjadi penghalang bagi negara ketika pendidikan dinilai tidak lebih menguntungkan dibandingkan investasi negara di bidang ekonomi.
Kedua, dalam sistem kapitalisme, mutu pendidikan dasar menengah mengacu kepada pemeringkatan Programme for International Student Assessment (PISA) yang dimotori oleh negara-negara The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).
Ketiga, politik kekuasaan negara diharuskan bertindak sebagai regulator atau fasilitator saja. Akhirnya, peran swasta menjadi hal penting dalam tanggung jawab melayani kebutuhan pendidikan.
Keempat, integrasi dengan sistem ekonomi kapitalistik yang menjauhkan dari kesejahteraan. Minimnya anggaran negara untuk membiayai pendidikan adalah konsekuensi dari rusaknya tata kelola ekonomi dan keuangan negara yang kapitalistik. Tata kelola SDA yang tidak memberi keuntungan bagi rakyat ataupun pinjaman luar negeri yang terus membebani negara adalah sebagian yang membuat negara lemah secara ekonomi. Dampaknya, dana bagi pendidikan minim.
Kelima, otonomi daerah. Prinsip desentralisasi keuangan (melalui APBD) dalam tata kelola pendidikan juga memberi andil banyaknya problem dunia pendidikan.
Itulah beberapa poin yang menyebabkan negara lemah dan abai menjamin biaya pendidikan. Berharap kepada pelaksanaan peraturan negara pun sulit selama tata kelola pendidikan dan negara ini tidak diubah. Di sinilah urgensinya menanggalkan sekularisme kapitalisme sebagai biang segala persoalan dan kembali kepada sistem kehidupan Islam menjadi keniscayaan.
Lantas, bagaimana pembiayaan pendidikan dalam sistem Islam.
Dalam sistem Islam, pembiayaan pendidikan untuk seluruh jenjang sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam sistem Islam, pendidikan disediakan secara gratis oleh negara dalam semua jenjang.
Hal ini bisa terwujud karena Islam mengharuskan negara mengadopsi politik pendidikan Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan as-sunah. Politik pendidikan Islam tersebut berdiri di atas sejumlah prinsip berikut:
Pertama, pandangan tentang ilmu dan pendidikan. Terkait hal ini, Nabi saw. bersabda dari Abu Musa, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah.” (HR Bukhari)
Islam memandang ilmu bagaikan jiwa dalam manusia. Ilmu ibarat air bagi kehidupan. Pendidikan merupakan perkara sangat vital, memiliki peran strategis yang tidak bisa diukur hanya dari dimensi keuntungan materi. Oleh karenanya, negara akan menyelenggarakan pendidikan dengan segenap kemampuan. Berapa pun biayanya akan diupayakan pemenuhannya oleh negara.
Kedua, fungsi negara. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari)
Negara bertanggung jawab penuh, tidak menjadi regulator, apalagi bergantung kepada kemampuan swasta dalam berbagai pelaksanaan kewajibannya. Negara (Khilafah) berkewajiban menjamin hak semua jenjang pendidikan dan jaminan negara ini bersifat langsung. Maksudnya, hak ini diperoleh secara cuma-cuma atau berbiaya semurah-murahnya sebagai hak rakyat.
Dalilnya adalah As-Sunah dan ijmak sahabat. Rasulullah Saw. membebaskan sebagian tawanan Perang Badar yang tidak sanggup menebus pembebasannya, agar mengajari baca tulis kepada anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya. Ini menunjukkan pembiayaan pendidikan berasal dari negara. Ijmak sahabat menunjukkan wajibnya negara menjamin pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muazin, dan imam salat. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (baitulmal) yang berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur (pungutan atas harta nonmuslim yang melintasi tapal batas).
Ketiga, sumber pembiayaan. Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara, yakni baitul mal. Ada dua sumber pendapatan baitulmal untuk membiayai pendidikan. Pertama, pos fai dan kharaj, yang merupakan kepemilikan negara, seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak). Kedua, pos kepemilikan umum, seperti sumber kekayaan alam, tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).
Biaya pendidikan juga biasanya diperoleh dari wakaf. Meskipun pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya, khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta dalam pendidikan secara suka rela.
Keempat, dalam sistem Islam, kekuasaan negara terkait pembiayaan maupun kurikulum bersifat terpusat agar tujuan pendidikan segera terwujud. Jadi, bukan menggunakan konsep otonomi daerah sebagaimana dalam sistem kapitalis yang kerap menimbulkan problem. Adapun secara administrasi, dilakukan dengan mengacu pada tiga prinsip, yakni sederhana dalam aturan, kecepatan dalam pelayanan, dan dilakukan oleh orang-orang yang kapabel. Prinsip-prinsip ini jelas akan memudahkan pelaksanaan berbagai program yang telah ditetapkan dan meminimalkan terjadinya kecurangan, semisal korupsi dan sejenisnya yang biasa terjadi dalam sistem kapitalisme.
Kelima, penerapan sistem politik Islam dan ekonomi Islam meniscayakan negara memiliki visi misi menyejahterakan rakyat. Pemenuhan hak pendidikan pun bukanlah hal yang sulit.
Dengan demikian, kalaupun ditinjau ulang terkait dengan masalah anggaran pendidikan, solusi hakiki bagi jaminan pembiayaan pendidikan sejatinya adalah kembali kepada penerapan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Wallahualam bisawab.