
Oleh: Nining Ummu Hanif
Linimasanews.id—Miris, di tengah impitan ekonomi yang makin mencekik karena berbagai harga kebutuhan pokok naik, lagi-lagi pemerintah justru menjadikan rakyat sebagai ‘sapi perah’ untuk membiayai roda pemerintahan, salah satunya dengan adanya kewajiban membayar pajak rumah. Terbaru dikabarkan, pajak membangun rumah sendiri naik dari 2,2 persen menjadi 2,4 persen mulai Januari 2025.
Adapun pengertian kegiatan membangun rumah sendiri adalah kegiatan mendirikan bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi dan bangunan tersebut sendiri, artinya bangunan yang didirikan tidak digunakan untuk kegiatan usaha atau pekerjaan apa pun. Tarif membangun rumah sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61/PMK.03/2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS).
Pasal 3 ayat (2) PMK Nomor 61 Tahun 2022 menyebutkan bahwa tarif KMS merupakan hasil perkalian 20% (dua puluh persen) dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak. Artinya, bila tarif PPN akan naik per 1 Januari 2025 menjadi 12 persen, maka saat wajib pajak (WP) membangun rumah sendiri akan dikenakan PPN sebesar 2,4’persen (20 persen x tarif PPN 12 persen)
Namun, tidak semua rumah yang dibangun atau direnovasi sendiri akan dikenakan tarif PPN 2,4 persen. Tarif itu berlaku untuk rumah yang konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja, yang dipergunakan untuk tempat tinggal atau usaha, dan luas bangunannya minimal 200 meter persegi (tirto.id, 13/9/2024).
Pajak, Keniscayaan dalam Kapitalisme
Rumah adalah kebutuhan dasar setiap orang yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Memiliki rumah sendiri merupakan impian setiap orang. Sayangnya, sangat sulit mewujudkan impian tersebut sekarang ini. Penerapan sistem ekonomi kapitalisme sekuler telah menjadikan rakyat susah memiliki rumah sendiri. Jangankan untuk membeli atau membangun rumah , memenuhi kebutuhan sehari- hari saja sudah kesulitan.
Selain itu, melonjaknya harga bahan bangunan dan lahan menjadi peluang tersendiri bagi penganut sistem kapitalis untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menyediakan permukiman hanya bagi masyarakat berpendapatan tinggi.
Lapangan pekerjaan yang terbatas juga tidak memungkinkan rakyat memiliki rumah yang memadai bagi keluarganya. Di sisi lain, rakyat yang mempunyai kemampuan untuk membangun rumah, masih harus dibebani dengan pajak yang makin naik.
Inilah realitas negara berlepas tangan dalam hal pemenuhan kebutuhan rakyat akan perumahan. Hal ini membuktikan tidak adanya upaya negara untuk meringankan beban rakyat, sebaliknya justru mempersulit kehidupan rakyat dengan adanya pajak rumah ini.
Pendapatan negara dari sektor pajak adalah keniscayaan dalam sistem kapitalis. Pajak merupakan napas kehidupan yang harus tetap ada agar roda pemerintahan tetap berjalan. Mirisnya, kenaikan pajak tidak dibarengi dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat serta fasilitas untuk kebutuhan umum yang bisa dinikmati oleh rakyat.
Dalam sistem kapitalis, negara tak ubahnya sebagai pemalak yang terus-menerus menjerat leher rakyat dengan berbagai pungutan yang memberatkan. Negara dalam sistem kapitalis ini tak berperan menjadi pengurus rakyat, melainkan melayani para pemodal dan oligarki dengan cara memberikan aset-aset publik untuk kesejahteraan dan kepentingan mereka.
Pajak dalam Pandangan Islam
Dengan sistem ekonomi Islam, kesejahteraan rakyat akan terjamin, tanpa terkecuali. Dalam Islam, negara akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat dengan sistem gaji yang layak. Selain itu, negara juga menjamin kebutuhan rakyat akan rumah dengan memudahkan akses-akses untuk mendapatkannya, yaitu dengan adanya hukum-hukum tentang tanah, seperti larangan menelantarkan tanah , ihya al mawat (menghidupkan tanah mati) tahjir (pengkaplingan tanah yang belum ada pemiliknya), iqtha’ (pemberian tanah oleh khalifah kepada masyarakat), serta larangan mengambil pajak.
Islam melarang siapa pun, baik individu maupun negara mengambil harta orang lain tanpa adanya sebab yang dibenarkan syariat. Karena, hal ini termasuk dalam tindakan kezaliman yang diharamkan dalam Islam. Rasulullah saw. bersabda,
“Siapa saja yang mengambil hak orang lain walaupun hanya sejengkal tanah, maka kelak akan dikalungkan kepada dirinya tujuh lapis bumi.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
Terdapat banyak pos sumber pendapatan dalam negara Islam. Di antaranya pos kepemilikan umum, yaitu dengan memaksimalkan potensi sumber daya alam yang melimpah. Hasil pengelolaan kekayaan ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat, termasuk rumah. Dengan demikian, tidak membebani rakyat dengan pajak. Pajak hanya diberlakukan dalam keadaan darurat, itu pun terbatas pada orang kaya saja.