
Oleh: Melia Apriani, S.E.
(Aktivis Muslimah)
Linimasanews.id—Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen pada tahun 2025. Ketentuan tersebut diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Lewat aturan tersebut, pemerintah telah melakukan penyesuaian tarif PPN menjadi 11 persen pada 2022. Dalam UU itu diamanatkan, tarif PPN dinaikan menjadi 12 persen selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025. Pasal 7 (1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu: a. sebesar 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022; b. sebesar l2% (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025,” Bunyi Pasal 7 Ayat (1) UU tersebut.
Ini termasuk untuk pembelian rumah hingga membangun rumah sendiri tanpa kontraktor. Sementara ketentuan terkait PPN membangun rumah sendiri termasuk besarannya telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.30/2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (Kompas.com, 15/09/2024). Kegiatan membangun rumah sendiri adalah kegiatan mendirikan bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi dan bangunan tersebut digunakan sendiri atau oleh pihak lain. Artinya, bangunan yang didirikan tidak digunakan untuk kegiatan usaha atau pekerjaan apa pun (Tirto.id, 13/09/2024).
Penerapan sistem ekonomi kapitalisme membuat rakyat susah memiliki rumah. Pekerjaan yang tersedia tidak memungkinkan rakyat bisa membangun rumah yang memadai. Sementara rakyat yang bisa membangun rumah yang memadai dan layak, dikenai pajak yang makin tinggi, sungguh miris sekali.
Makin berganti tahun makin rakyat dipusingkan karena ada banyaknya peraturan-peraturan baru yang tidak masuk akal. Bahkan tampaknya tidak ada upaya negara untuk meringankan beban rakyat, apalagi dengan adanya penetapan pajak rumah. Besaran pajak rumah berupa nilai tertentu sebesar jumlah biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan untuk membangun bangunan dalam setiap masa pajak sampai dengan bangunan selesai, tidak termasuk biaya perolehan tanah sesuai dengan ketetapan negara. Nyatanya, negara lepas tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan papan/perumahan masyarakat.
Penetapan pajak adalah satu keniscayaan karena sumber pendapatan negara kapitalisme berasal dari pajak. Karena itu rakyat di buat kalut perihal aturan pemungutan pajak yang tidak ada habisnya. Dari pajak kendaraan, bangunan, barang sampai membeli makan pun di tagih pajaknya. Seharusnya, negara bisa meringankan dan mensejahterakan rakyat, terlepas dari ditiadakannya pengambilan pajak yang kadang sangat tidak masuk akal, setiap tahun bertambah persennya. Namun, utang negara bukannya lunas, malah bertambah banyak. Inilah akibat dari penerapan sistem yang yang dibuat oleh nafsu manusia.
Berbeda jika negara menerapkan aturan yang berasal dari Sang Pencipta, yaitu penerapan sistem ekonomi Islam, yang menjamin kesejahteraan rakyat. Dalam Islam, negara akan menyediakan pekerjaan yang layak bagi rakyat Dengan gaji yang layak. Negara juga menjamin kebutuhan papan ataupun perubahan masyarakat antara lain melalui kemudahan atas akses pekerjaan dan adanya hukum-hukum tentang tanah (larangan penelantaran lahan pertanian, ihya al mawat, tahjir dan iqtha’), dan juga larangan mengambil pajak.
Sementara itu, negara dalam Islam memiliki sumber pendapatan negara yang berasal dari kepemilikan umum, sehingga tidak butuh pajak. Apalagi Islam anti membebani rakyatnya dengan pajak kecuali pada kondisi tertentu dan terbatas.