
Oleh: Muryani, S.Pd.I.
Linimasanews.id—Memiliki rumah sendiri adalah impian setiap orang. Namun, tidak setiap orang dapat mewujudkannya, mengingat biaya pembangunan rumah tidaklah murah. Mulai dari birokasi pembebasan lahan yang ruwet, harga material yang mahal, hingga pembangunannya yang juga mahal.
Mirisnya, baru-baru ini beredar berita adanya kenaikan pajak membangun rumah sendiri sebesar 2,4 persen. Tentu, hal ini makin menambah biaya pembangunan rumah. Kebijakan kenaikan pajak membangun rumah sendiri itu akan mulai berlaku selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 2025.
Kenaikan ini bertolak dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam Pasal 7 Ayat (1) menyebutkan bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mengalami kenaikan dari 11 persen menjadi 12 persen berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Oleh karena itu, kegiatan membangun rumah sendiri termasuk yang mengalami kenaikan (Kompas.com, 14/09/2025).
Berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) menyebutkan bahwa besaran pajak membangun rumah sendiri adalah 20 persen dari tarif PPN. Sehingga kenaikan pajak membangun rumah sendiri dari 2,2 persen menjadi 2,4 persen pada tahun 2025.
Di tengah kondisi ekonomi yang sulit seperti saat ini, kenaikan 0,2 persen akan sangat memberatkan bagi rakyat, terlebih kelas ekonomi menengah ke bawah. Akibatnya, impian memiliki rumah pun tinggal angan-angan. Jangankan mau membangun rumah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja susah.
Padahal, dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun, realitasnya, untuk mendapatkan penghidupan yang layak dengan memiliki rumah sendiri, justru dipersulit dengan pajak membangun rumah sendiri.
Sungguh, inilah derita di negeri seribu pajak. Setiap jengkal harus kena pajak. Lantas, apakah itu yang dimaksud dengan penghidupan yang layak? Inilah potret buruk demokrasi kapitalis, kesejahteraan rakyat tidak akan pernah tercapai sebab negara tidak pernah hadir mengurus rakyatnya.
Dalam sistem kapitalisme, sumber utama pendapatan negara adalah pajak dan utang. Setiap pembiayaan negara dan pembangunan berasal dari pajak dan utang. Maka tidak heran, hampir semua hal terkena pajak. Oleh karena itu, mengharapkan penurunan pajak bahkan meniadakan pajak itu mustahil.
Ini berbeda dengan sistem Islam yang terbukti menyejahterakan selama hampir 14 abad lamanya. Dalam Islam, negara mempunyai dua fungsi, yakni raa’in (pemelihara urusan umat) dan junnah (pelindung bagi rakyatnya) sehingga negara benar-benar berperan melayani semua urusan rakyat, termasuk memberikan tempat tinggal yang layak.
Dalam sistem Islam, pendapatan negara bukan berasal dari pajak dan utang melainkan, dari kepemilikan umum (tambang, dsb), zakat, infak, ghanimah, jizyah, ushr, dll.
Pajak dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, pajak dikenal dengan istilah dharibah yang berarti menetapkan, mewajibkan, atau membebankan. Menurut Abdul Qadim Zallum, pajak ialah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan atas mereka pada saat kondisi Baitul Mal kosong atau tidak ada harta atau uang.
Berdasarkan pengertian di atas, dalam Islam pajak memiliki karakteristik yang khas. Di antaranya: Pertama, pajak bersifat temporer. Pajak ini hanya dipungut bila memang negara kekurangan keuangan. Pungutan pajaknya bisa dihentikan bila kondisi keuangan telah stabil.
Kedua, pajak hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya. Tidak ada pungutan pajak dari kaum muslim yang miskin. Dan tidak ada pungutan bagi orang non muslim karena pajak dipungut untuk pembiayaan keperluan yang menjadi kewajiban kaum muslim.
Dengan karakteristik pajak (dharibah) di atas, tidak akan ada kezaliman, pemaksaan pajak bagi semua warga negara, baik itu dari kalangan miskin atau kaya. Inilah bukti bahwa Islam datang dengan misi menyejahterakan rakyatnya.
Terkait dengan kesejahteraan rakyat maka negara akan menyediakan lapangan pekerjaan dangan gaji yang layak. Gaji itu bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga membangun rumah sendiri.
Semua pengaturan Islam tersebut tidak akan mungkin bisa tercapai dalam sistem demokrasi kapitalis seperti saat ini. Karena, pada hakikatnya dua ideologi ini saling bertolak belakang. Oleh karena itu, hanya ada satu jalan demi tercapai kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, yakni dengan menerapkan sistem Islam.