
Oleh: Irawati Tri Kurnia (Ibu Peduli Umat)
Ipteng—Pernahkah kita ambisius sekali untuk mengejar sesuatu? Karena terlalu ambisius, segala hal ditabrak, menghalalkan segala cara asalkan tujuan tercapai. Akhirnya, rela melakukan apa pun demi ambisi. Sampai pada suatu titik, tiba-tiba ambisi itu lenyap tanpa sisa. Benar-benar luntur. Pikiran pun berubah menjadi, “Lelah! Semua hal sudah dilakukan, tapi bahagia tidak kunjung didapat.” Akhirnya, memutuskan tidak melakukan apa pun, menganggap bahagia bisa didapat dengan hidup biasa, tidak perlu mengejar ini dan itu, mengalir saja mengikuti ke mana angin membawa. Semua karena merasa, “Kok susah sekali untuk bahagia.”
Hidup Biasa Bisa Bahagia?
Setiap orang pasti ingin bahagia. Namun, ukuran bahagia itu tergantung dari sudut pandang yang dipakai. Orang pada umumnya menganggap bahagia itu ketika mendapat materi yang banyak. Misalnya, mendapat uang banyak, mendapat perhatian banyak orang, instant gratification (kepuasan instan sampai akhirnya mendapat pengakuan dan pujian orang).
Jika kita punya pandangan yang sama dengan itu, maka tandanya kita masih dipengaruhi oleh sudut pedang sekularisme kapitalisme yang memandang kebahagiaan didapat dari kepuasan materi. Orang yang memakai sudut pandang ini akan mengejar materi sampai dapat, dengan cara apa pun, tanpa peduli benar atau salah maupun halal atau haram. Mencapai materi menjadi tujuan hidupnya.
Padahal, orang yang begitu tidak akan bahagia. Walau sudah punya uang banyak, jabatan mentereng, barang-barang bermerek, dan kekuasaan, masih saja hidupnya terasa sempit dan tidak pernah puas. Akhirnya, dia akan berpindah mengejar yang lainnya. Lalu, begitu yang lainnya didapat, masih saja belum merasa bahagia. Masih saja merasa rumput tetangga lebih hijau. Akhirnya, lelah dan berujung pada “low motivation” alias bermotivasi rendah. Dia mendadak bahagia dengan tidak melakukan apa pun.
Sedangkan menurut pandangan Islam, manusia harus mengetahui bahwa Allah sudah memberitahu tentang tujuan hidup dan makna kebahagiaan. Jika manusia mengambil sudut pandang yang berasal dari Allah, maka akan mendapatkan kunci kebahagiaan.
Kunci kebahagiaan yang hakiki diawali dengan mengetahui tujuan hidup manusia. Allah berfirman, “Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)
Makna ibadah ialah taat kepada Allah dan Rasul-Nya (bertakwa). Artinya, setiap apa pun yang akan dilakukan, selalu dikaitkan dengan syariat Allah. Jadi, untuk mengejar kebahagiaan pun, tidak boleh jauh dari ketaatan. Bahagia yang sebenarnya bagi seorang muslim ialah ketika seseorang mendapat kebahagiaan di akhirat, yaitu surga.
Lalu, bagaimana cara agar bahagia di surga? Dengan cara melakukan aktivitas yang diridai Allah, yaitu melakukan ketaatan. Jadi, kunci bahagia seorang muslim itu terletak pada rida Allah, bukan yang lain.
Namun faktanya, di masyarakat yang sekuler kapitalistik saat ini, bahagia itu identik dengan capaian materi. Hal ini membuat mereka menilai kebahagiaan orang lain berdasarkan pencapaian materi itu. Akibatnya, tidak jarang masyarakat memberi tekanan pada orang-orang sekitarnya, hingga akhirnya tekanan ini membuat mereka terkena “mental attack dan breakdown”.
Belum lagi, sekarang hidup serba digital. Banyak yang terbiasa flexing (pamer) dan hedon (hobi berfoya-foya dan materialistis). Ini membuat orang lain tergiur dan membanding-bandingkan diri dengan materi orang lain. Bahkan, sampai ada kasta sosial di media sosial.
Kenyataan ini berbeda dengan masyarakat Islam yang paham betul sudut pandang Islam. Masyarakat Islam akan mendukung kebaikan, mendukung satu sama lain dalam ketaatan, saling bantu, saling mengerti, dan saling menyayangi. Karena, umat Islam itu adalah satu tubuh. Masyarakat Islam aktif melakukan amar makruf nahi mungkar, yaitu saling menasihati tentang Islam, bukan malah menekan.
Standar bahagia yang benar itu harus didukung oleh pendidikan berdasar akidah Islam. Sayangnya, saat ini pendidikannya tidak berhasil membentuk generasi yang mempunyai kepribadian islami, melainkan menjadi pribadi yang sekuler, liberal, hedon, dan materialistis. Negara saat ini juga tidak mengontrol media. Media dibiarkan memproduksi karya apa pun, selama ada keuntungan atau profit materi, meskipun generasi menjadi rusak dan bingung akan makna bahagia.
Sementara dalam Islam, media tidak boleh dipakai untuk merusak pemikiran umat, sebaliknya untuk menjaga keimanan masyarakat dengan memberi tayangan edukatif dan bermuatan dakwah Islam. Hal ini tidak akan terlaksana jika tidak ada peran negara. Negara yang menerapkan sekularisme kapitalisme seperti saat ini, tidak akan pernah menjaga pemikiran masyarakat dari pemikiran yang salah.
Ada satu negara yang benar-benar bisa menjaga masyarakat dari segala pemikiran merusak dan menjaga kualitas mental generasi. Pendidikan yang diterapkannya berbasis akidah Islam sehingga membentuk generasi berkepribadian Islam. Standar bahagianya sesuai dengan tuntunan Allah.
Negara juga akan menjaga generasi dengan mengontrol media dengan melarang konten yang merusak generasi, seperti menyebarkan hedonisme, permisivisme, liberalisme, dan sejenisnya. Jika ada yang melanggar, ada sistem sanksi yang memberikan efek jera dan penebus dosa.
Negara ini adalah Khilafah Islamiyah. Hanya di negara ini saja, umat Islam akan terjaga dari pemikiran yang merusak dan akan bisa meraih kebahagiaan hakiki. Karena itu, rahasia bahagia yang sebenarnya (mendapatkan rida Allah) ialah dengan menerapkan Islam kafah.