
Oleh: Amalia Dzihni M
Linimasanews.id—Sebagai makhluk hidup, manusia membutuhkan 3 kategori kebutuhan, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Salah satu kebutuhan primer yang perlu dipenuhi bagi setiap manusia, yakni rumah.
Namun, akhir-akhir ini banyak sekali manusia yang tidak memiliki rumah. Banyak tunawisma tinggal di pinggir jalanan,di depan toko-toko, di kolong jembatan, dan di manapun tempat yang memungkinkan mereka tidur walaupun tak tertidur. Sungguh miris.
Lebih mirisnya lagi, pemerintah hari ini lepas tangan terhadap masalah ini. Hal ini karena pemerintah saat ini mengemban sistem kapitalisme. Sistem ini memberikan kebijakan pajak pada semua yang ada, salah satunya rumah. Satu bapak pendiri Amerika Serikat, yakni Benjamin Franklin berkata, ”Di dunia ini tidak ada yang pasti, kecuali kematian dan pajak.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa pajak dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem kapitalisme. Pajak menurut sistem kapitalisme adalah kontribusi wajib kepada pemerintah yang dikenakan demi kepentingan bagi semua orang. Adam Smith, salah satu tokoh ekonomi klasik mengemukakan bahwa salah satu prinsip perpajakan adalah ”setiap warga negara harus ikut berkontribusi dalam mendukung pemerintahan, semampu mereka, yaitu sebanding dengan pendapatan yang mereka nikmati di bawah perlindungan negara.”
Namun dalam kenyataannya, seberapa besar tarif pajak yang adil tersebut menjadi relatif. Bahkan, PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang menyasar pada hampir seluruh jenis barang dan jasa yang diperdagangkan, nilainya diseragamkan antara yang miskin dan yang kaya. Mirisnya, sekarang nilainya dinaikkan dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan dimulai tahun depan (2025).
Dikutip dari Kompas.com (15/09/2024), ketentuan pajak tersebut diatur dalam undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan(HPP). Pada pasal 7 Ayat (1), tarif PPN yaitu: a. sebesar 11% yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022; b. sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025. Bunyi pasal 7 ayat (1) undang-undang tersebut termasuk untuk pembelian rumah hingga membangun rumah sendiri tanpa kontraktor.
Padahal, jika dilihat dari sudut pandang Islam, sistem kapitalisme jelas sekali bertentangan. Dalam sistem kapitalisme segalanya dikenai pajak. Dalam sistem Islam, tidak. Terkait tempat tinggal, seharusnya sebagai makhluk yang tinggal di bumi, manusia tidak berkewajiban membayar pajak pada oligarki. Karena, sejatinya bumi ini hanya milik Allah semata.
Dalam QS Ali-Imron:189 Allah berfirman, ”Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi.”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa seluruh yang ada di bumi adalah milik Allah. Manusia hanya berkewajiban untuk menjaga dan mengelolanya dengan benar sesuai perintah-Nya. Sementara, memberikan kebijakan kewajiban pembayaran pajak rumah pada orang yang ingin menggunakannya bertentangan dengan Islam.
Dalam sistem Islam, ketika membangun rumah tidak perlu membayar pajak. Kewajiban manusia kepada Allah Swt. Sang Khaliq Yang Maha Memiliki atas segala sesuatu adalah bersyukur dan membuktikan rasa itu dengan menjalankan seluruh perintah Allah. Allah sudah jelas memerintahkan manusia agar menerapkan seluruh perintah-Nya secara kafah.
Di sistem Islam (khilafah), rumah termasuk dalam kebutuhan pokok. Rasulullah bersabda, “Anak Adam tidak memiliki hak pada selain jenis ini: rumah yang ia tinggali, pakaian yang menutupi auratnya, dan roti tawar dan air (makanan).” (HR.At-Tirmidzi).
Karena itu, dalam Islam negara memfasilitasi rumah jika salah satu dari rakyatnya tidak memiliki rumah. Di samping itu, ada pekerjaan yang halal untuk mencari nafkah.
Pajak dalam pandangan Islam berbeda dengan sistem kapitalisme. Dalam sistem Islam, seluruh peraturan bersumber dari akidah Islam, termasuk berbagai aturan-aturan cabang dalam aspek ekonomi. Bukan seperti sistem kapitalisme yang peraturannya dibangun berasaskan keuntungan para penguasa oligarki yang akhirnya justru memberatkan rakyat. Padahal, haram hukumnya penguasa memberatkan rakyat.
Rasulullah bersabda di dalamnya terdapat doa untuk penguasa yang memberatkan rakyat, “Ya Allah barang siapa yang mengurusi sesuatu dari urusan ummatku dan dia memberatkan atau menyulitkan mereka, maka sulitkanlah dia.”
Karena itu, umat Islam harus mengingatkan penguasa agar tidak membebani rakyat. Karena seharusnya, penguasa memiliki sikap yang amanah mengurusi rakyat.