
Oleh: Fawatifu Syu’ara
“Siapa diriku?” Pertanyaan itu tiba-tiba datang dalam pikirannya.
Faris remaja yang sederhana. dia adalah anak yang cerdas, pandai, dan dikenal sopan oleh teman-temannya. Namun, di balik kesuksesan akademis dan kepopulerannya di sekolah, Faris merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Dia sering merasa gelisah tanpa tahu alasan pastinya. Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama, sekolah, belajar, bermain dengan teman-teman, dan menghabiskan waktu dengan keluarganya. Namun, jauh di dalam hatinya, ada rasa kosong yang tidak bisa dia abaikan.
Di sore yang cerah, Faris jalan sore. Di sepanjang perjalanan, dia melihat masjid kampung yang megah berdiri di tepi jalan. Dia sudah sering melihatnya, tetapi entah mengapa, hari itu dia merasa tertarik untuk singgah. Dia berjalan menuju masjid dan mendapati suasana yang tenang di dalamnya. Lantunan ayat suci Al-Qur’an terdengar dari speaker masjid, membuat hati Faris bergetar.
“Mengapa Aku merasa ada yang berbeda hari ini?” Gumamnya dalam hati.
Di dalam masjid, dia bertemu dengan seorang pria tua yang sedang duduk di sudut, tampak khusyuk berzikir. Faris, yang awalnya hanya ingin duduk sebentar, malah tergerak untuk berbicara dengan pria itu.
“Assalamu’alaikum, Pak,” sapa Faris dengan sopan.
“Wa’alaikumussalam, Nak. Ada yang bisa saya bantu?” jawab pria itu dengan senyum lembut.
“Entahlah, Pak. Saya hanya merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidup saya. Rasanya seperti ada yang tidak lengkap, tetapi saya tidak tahu apa itu,” kata Faris jujur.
Pria tua itu tersenyum lebih lebar, seolah mengerti perasaan Faris. “Apakah kamu pernah merasa dekat dengan Allah, Nak?”
Pertanyaan itu membuat Faris terdiam. Dia lahir dari keluarga yang taat, tetapi dia merasa tidak pernah benar-benar memahami makna ibadah yang dia lakukan. Selama ini, dia salat hanya sebagai kewajiban. Membaca Al-Qur’an pun hanya sesekali, sekadar memenuhi tuntutan agama. Dia tidak pernah benar-benar merenungkan apa tujuan dari semua itu.
“Saya salat dan mengaji, Pak. tetapi jujur saja, saya tidak benar-benar merasakan kedekatan dengan Allah. Saya tidak tahu bagaimana caranya,” jawab Faris dengan nada pelan.
Pria itu mengangguk pelan. “Kedekatan dengan Allah bukan hanya soal ibadah yang dilakukan secara lahiriah, Nak. Dia adalah soal hati yang tunduk dan merendah di hadapan-Nya. Ketika kita benar-benar menyadari bahwa kita adalah hamba yang lemah dan bergantung sepenuhnya kepada-Nya, itulah awal dari kedekatan dengan Allah.”
Kata-kata itu menggetarkan hati Faris. dia mulai merenung dalam diam. Pria tua itu melanjutkan, “Untuk menemukan jati dirimu sebagai hamba Allah, kamu harus terlebih dahulu memahami bahwa hidup ini bukan hanya tentang apa yang kita inginkan atau capai. Kita semua diciptakan untuk satu tujuan utama, yaitu beribadah kepada Allah. Segala sesuatu yang kita lakukan dalam hidup ini seharusnya mendekatkan kita kepada-Nya.”
Faris tertegun. Dia merasa seperti baru saja mendapat jawaban dari kegelisahan yang selama ini menghantui pikirannya.
“Bagaimana caranya agar saya bisa merasakan kedekatan itu, Pak? Bagaimana saya bisa menemukan jati diri saya sebagai hamba Allah?” tanyanya dengan penuh harap.
“Mulailah dengan niat yang tulus untuk mencari rida-Nya. Setiap langkah yang kamu ambil, niatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Salatlah dengan khusyuk, bukan hanya sebagai rutinitas, tetapi sebagai momen untuk berbicara langsung dengan-Nya, berkumpul lah dengan para pengemban dakwah agar selalu terjaga dalam ketaatan. Bacalah Al-Qur’an dengan hati yang terbuka, karena di dalamnya terdapat petunjuk yang akan membimbingmu dalam menemukan jati dirimu. Jangan lupa untuk selalu berdoa memohon petunjuk dan hidayah-Nya.”
Kata-kata pria tua itu tertanam dalam-dalam di hati Faris. Sejak saat itu, dia mulai berusaha menjalankan saran-saran tersebut. Setiap kali salat, dia berusaha lebih khusyuk, berusaha merasakan kehadiran Allah dalam setiap rakaatnya. Dia juga mulai membaca Al-Qur’an dengan penuh kesungguhan, mencoba memahami maknanya, bukan sekadar membacanya tanpa berpikir.
Tidak mudah bagi Faris untuk mengubah kebiasaan lamanya. Terkadang dia merasa malas atau terburu-buru saat salat, tetapi dia selalu ingat nasihat pria tua di masjid itu: kedekatan dengan Allah membutuhkan kesabaran dan usaha yang terus-menerus. Dia tidak boleh menyerah hanya karena merasa sulit.
Selama perjalanan mencari jati dirinya, Faris menghadapi berbagai cobaan. Salah satu cobaan terbesar adalah godaan dari teman-temannya. Mereka sering mengajaknya untuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti bermain game hingga larut malam atau nongkrong tanpa tujuan jelas. Dahulu, Faris akan dengan mudah mengikuti ajakan mereka, tetapi sekarang dia mulai mempertimbangkan kembali setiap langkahnya.
“Maaf, Aku tidak bisa ikut malam ini. Aku ada kegiatan lain,” kata Faris suatu malam ketika temannya mengajaknya keluar.
“Ah, kamu berubah, Ris. Dahulu kamu selalu yang paling semangat kalau diajak jalan-jalan,” keluh temannya.
Faris hanya tersenyum. dia tahu bahwa perubahan ini adalah bagian dari perjuangannya dalam menemukan jati dirinya sebagai seorang hamba Allah. Teman-temannya mungkin tidak mengerti sekarang, tetapi dia yakin bahwa suatu saat mereka juga akan memahami.
Hari demi hari, Faris merasa hatinya makin tenang. dia merasakan ketenangan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Meski dia belum sepenuhnya mencapai apa yang dia inginkan, setidaknya dia merasa sedang berada di jalan yang benar. Dia terus berdoa memohon kekuatan kepada Allah untuk tetap istikamah.
Suatu sore, setelah sebulan menjalani rutinitas baru yang lebih mendekatkan dirinya kepada Allah, Faris kembali singgah di masjid yang sama. Dia berharap bisa bertemu kembali dengan pria tua yang pernah memberinya nasihat. Namun, setelah mencari di sekeliling masjid, pria itu tidak tampak.
Selesai menunaikan salat asar, Faris duduk di pojok masjid dan merenung. Banyak hal yang telah berubah dalam dirinya selama satu bulan terakhir. salat yang dahulu hanya dia lakukan karena kewajiban, kini terasa lebih bermakna. Membaca Al-Qur’an yang dahulu jarang dia lakukan, sekarang menjadi rutinitas harian. Bahkan, dia mulai membiasakan diri untuk berdoa lebih khusyuk dan memohon ampunan serta petunjuk dari Allah.
Namun, ada satu hal yang masih mengganggu pikirannya: bagaimana cara menghadapi lingkungan sekitarnya, terutama teman-temannya, yang belum memahami jalan yang kini dia pilih?
Suatu hari, di sekolah, Faris mendengar pembicaraan teman-temannya. Mereka sedang merencanakan sebuah pesta ulang tahun di akhir pekan.
“Ris, kamu ikut, ‘kan? Tidak seru kalau kamu tidak ada,” ajak seorang temannya.
Faris terdiam sejenak. Dahulu, dia akan langsung menerima ajakan seperti itu tanpa berpikir panjang. Namun, sekarang dia merasa ragu. dia tahu bahwa pesta tersebut kemungkinan besar akan dipenuhi dengan hal-hal yang kurang bermanfaat, bahkan bisa jadi melanggar ajaran agama.
“Aku pikir-pikir dulu, ya,” jawab Faris sambil tersenyum, mencoba untuk tidak mengecewakan temannya.
Ketika pulang, Faris kembali merenung. Dia merasa terjebak antara keinginan untuk tetap dekat dengan teman-temannya dan keinginannya untuk tetap berada di jalan yang diridhai Allah. Dia tidak ingin dianggap sombong atau menjauhi pergaulan, namun dia juga tidak ingin terjerumus dalam hal-hal yang bisa menjauhkan dirinya dari Allah.
Malam itu, setelah salat isya, Faris memutuskan untuk berbicara dengan ayahnya. Ayahnya adalah sosok yang bijak dan Faris sering kali mencari nasihat darinya.
“Ayah, akhir-akhir ini aku merasa agak sulit untuk menjaga keseimbangan antara pergaulan dengan teman-temanku dan usahaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Aku tidak ingin kehilangan teman-temanku, tetapi di sisi lain, aku juga tidak ingin melakukan hal-hal yang tidak diridhai Allah,” Curhat Faris.
Ayahnya tersenyum dan menepuk pundaknya. “Nak, menjadi seorang hamba Allah yang baik tidak berarti kamu harus memutuskan hubungan dengan teman-temanmu. Islam mengajarkan kita untuk tetap berbuat baik kepada semua orang, termasuk teman-temanmu. Namun, kamu harus bisa memilih mana yang baik untuk dirimu dan mana yang bisa menjerumuskanmu. Jika ada kegiatan yang sekiranya bisa menjauhkanmu dari Allah, jangan ragu untuk menolaknya. Teman yang baik akan mengerti keputusanmu.”
Faris merenungkan kata-kata ayahnya. Dia sadar bahwa sebagai remaja, godaan untuk tetap berada dalam lingkaran pergaulan memang kuat. Namun, dia juga tahu bahwa memilih jalan yang benar sering kali membutuhkan keberanian dan keteguhan hati.
Akhir pekan tiba. Faris memutuskan untuk tidak ikut pesta yang diadakan teman-temannya. Sebagai gantinya, dia mengundang beberapa teman dekatnya ke rumah untuk berkumpul. Di sana, mereka tidak hanya mengobrol, tetapi juga berdiskusi tentang banyak hal, termasuk tentang agama dan kehidupan. Meski tidak semua temannya menunjukkan ketertarikan, ada beberapa yang tampak terinspirasi oleh perubahan Faris.
Setelah acara kecil itu berakhir, salah satu temannya, Raka, berbicara dengan Faris. “Aku salut sama kamu, Ris. Aku lihat kamu banyak berubah, dan itu perubahan yang baik. Kadang aku juga merasa ada yang kurang dalam hidupku, tetapi aku belum tahu harus mulai dari mana.”
Faris tersenyum. “Aku juga masih belajar, Ka. tetapi satu hal yang pasti, kalau kita mendekatkan diri kepada Allah, insyaAllah hidup kita akan lebih tenang dan terarah. Kalau kamu butuh teman untuk berbagi atau belajar, aku selalu ada buat kamu.”
Malam itu, Faris merasa lebih damai. dia menyadari bahwa perjalanan mencari jati diri sebagai seorang hamba Allah bukanlah perjalanan yang mudah. Ada banyak godaan, tantangan, dan kebingungan di sepanjang jalan. Namun, dengan niat yang tulus dan usaha yang terus-menerus, dia yakin bahwa Allah akan selalu membimbing hamba-Nya yang ingin mendekat kepada-Nya.
Faris mungkin belum sepenuhnya menemukan siapa dirinya, tetapi dia tahu bahwa setiap langkah yang dia ambil dalam mendekatkan diri kepada Allah adalah bagian dari pencarian tersebut. Dan selama dia terus berusaha dan berdoa, dia yakin bahwa Allah akan membimbingnya menuju kedamaian dan kebahagiaan yang sejati.
Hari-hari berikutnya, Faris makin aktif dalam kegiatan masjid dan sering mengajak teman-temannya untuk ikut serta. Meski tidak semuanya tertarik, dia merasa senang karena setidaknya beberapa dari mereka mulai menunjukkan ketertarikan untuk mendalami agama.
Bulan demi bulan berlalu, Faris merasakan perubahan yang signifikan dalam hidupnya. Tidak hanya dari segi ibadah, tetapi juga dari cara dia memandang hidup. Dahulu, dia hanya memikirkan kesenangan sesaat dan popularitas di mata teman-temannya. Namun, sekarang, dia mulai berpikir lebih jauh tentang tujuan hidup dan tanggung jawabnya sebagai seorang muslim.
Suatu hari, Faris bertemu kembali dengan pria tua di masjid. Dengan penuh rasa syukur, Faris menceritakan perjalanannya selama beberapa bulan terakhir.
“Saya sudah mulai menemukan apa yang hilang dalam hidup saya, Pak. Meski perjalanan ini masih panjang, tetapi saya merasa lebih tenang dan damai,” kata Faris dengan mata berbinar.
Pria tua itu tersenyum penuh kebanggaan. “Alhamdulillah, Nak. Ingatlah selalu bahwa hidup ini adalah perjalanan. Selama kita tetap berpegang pada tali Allah, insyaAllah kita akan selalu dibimbing menuju kebenaran.”
Faris mengangguk penuh keyakinan. Kini, dia merasa lebih siap untuk menjalani hidup sebagai seorang hamba Allah yang sejati, dengan hati yang lebih tenang dan jiwa yang selalu merendah di hadapan-Nya.