
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi.
Linimasanews.id—Presiden terpilih, Prabowo Subianto mengubah program unggulan makan siang gratis yang dikampanyekan sebelum pilpres Februari lalu menjadi makan bergizi gratis. Program ini berangkat dari fenomena banyaknya anak Indonesia yang mengalami stunting (tengkes).
Salah satu upayanya, dengan pemanfaatan susu ikan. Hal ini dimaksudkan sebagai asupan protein pengganti susu sapi untuk mencegah stunting dan sebagai upaya hilirisasi produk perikanan di dunia industri, serta sekaligus dalam satu waktu dapat menekan anggaran yang bengkak agar realisasi program makan siang gratis dengan anggaran sebesar Rp71 T itu bisa digunakan dengan maksimal dan dapat menjangkau sebanyak mungkin anak-anak di Indonesia.
Hanya saja, upaya adanya program tersebut justru menuai banyak kritikan dari masyarakat, terutama dari kalangan para ahli yang menilai bahwa susu ikan bukanlah solusi untuk mencegah anak stunting meskipun diklaim produk tersebut kaya akan nutrisi.
Menurut laporan The Strait Times berjudul ‘Fish milk instead of cow’s milk? Idea for Prabowo’s free lunch scheme creates a stir in Indonesia’, seorang kritikus menyampaikan bahwa susu ikan bukanlah alternatif pengganti susu sapi, karena tingginya kadar gula dan kurangnya dukungan ilmiah yang memadai terkait susu ikan untuk kesehatan anak jangka panjang (cnnindonesia.com, 13/9/2024).
Sebab, menurut para ahli, susu ikan yang digalakkan pada program makan siang gratis ini bukan merupakan susu asli ikan atau dari ikan mamalia yang menghasilkan susu, seperti lumba-lumba maupun paus, melainkan berasal dari produk ekstraksi protein ikan lalu ditambahkan sejumlah bahan hingga menjadi bubuk mirip susu, yang kemudian jika diseduh mirip dengan susu (Kompas.com, 11/9/2024).
Selain itu, para pakar juga menyebutkan bahwa untuk anak-anak lebih baik memakan ikan langsung daripada produk olahan ikan berupa susu. Sebab, selain karena adanya bahan tambahan lain agar daging ikan berubah menjadi bubuk minuman, juga proses ekstraksi atau hidrolisis akan memecah protein dan membuat banyak zat gizi hilang.
Maka, berdasarkan jabaran fakta di atas, bisa disimpulkan bahwa program makan siang gratis ini untuk meningkatkan kesejahteraan, hanyalah sebuah ilusi. Karena, nyatanya rakyat masih dengan keadaannya, terlilit oleh kemiskinan dan kesulitan hidup, juga anak-anak makin banyak menderita stunting.
Sebenarnya, sebelum adanya program makan siang gratis ini pemerintah sudah sering memberikan penyuluhan kepada masyarakat terkait pentingnya memberi anak makanan yang bergizi dan sehat, seperti telur, ikan, dan susu. Penyuluhan-penyuluhan tersebut disampaikan melalui tenaga kesehatan yang terjun langsung ke masyarakat melalui posyandu maupun puskesmas.
Namun sayangnya, penyuluhan tinggal penyuluhan. Pemerintah hanya bisa mengimbau tanpa memberikan solusi tuntas kepada masyarakat terkait makanan bergizi yang dapat dijangkau. Nyatanya, aneka makanan bergizi itu seringnya sulit dijangkau masyarakat. Harga ikan, telur, dan susu terus melambung, sementara olahan pabrik yang tidak bergizi memiliki harga yang relatif stabil.
Sulitnya masyarakat menjangkau makanan bergizi tidak lepas dari peran pemerintah yang lepas tangan akan kesejahteraan rakyat. Alih-alih menyadari bahwa kesulitan yang dialami rakyat adalah buah dari kebijakan pemerintah, seringnya pemerintah justru menyalahkan masyarakat atas pilihan lauk pauk pabrikan yang dinilai lebih murah, sederhana, dan mudah diolah. Padahal, pilihan mayoritas masyarakat terhadap makanan olahan pabrikan tidak lain dikarenakan ekonomi mereka yang kian menurun.
Jika demikian, wajar apabila kasus stunting di Indonesia kian banyak. Sayangnya, seolah pemerintah tidak tahu apa-apa terkait penyebab kasus stunting kian meroket. Lagi-lagi, pemerintah enggan menelaah lebih dalam bahwa semua itu akibat dari kesalahan kebijakan.
Maka dari itu, solusi tambal sulam, seperti makan siang gratis atau makan bergizi gratis yang dinilai menjadi solusi untuk mengatasi stunting, hanyalah ilusi semata. Bahkan, tidak sedikit yang menilai program tersebut asal-asalan.
Penyebab dari itu semua adalah karena sistem yang diterapkan di Indonesia adalah sistem sekuler-kapitalisme. Dalam sistem ini, negara lebih mementingkan pengusaha-pengusaha atau oligarki daripada rakyat. Berbagai sumber daya alam milik negara yang seharusnya untuk rakyat, dengan mudah dikelola oleh swasta dan asing. Kekayaan pun banyak dimonopoli oleh segelintir orang. Karenanya, wajar rakyat harus mengurus diri mereka sendiri.
Kalaupun negara turut andil dalam membantu rakyat, seringnya tidak benar-benar berpihak kepada rakyat. Contohnya, Bulog yang dianggap bisa memberi solusi pemerataan bahan pokok yang murah, faktanya beras Bulog kerap dikeluhkan rakyat karena kualitasnya buruk dan diambil dari petani dengan harga yang rendah. Contoh lainnya, BPJS yang dianggap sebagai solusi untuk pengobatan gratis, nyatanya rakyat tetap bayar dengan segala denda dan bunganya.
Artinya, iming-iming bantuan dari pemerintah yang menerapkan sistem sekuler ini tidak lain tetap lebih mementingkan oligarki daripada rakyat. Lagi-lagi, dalam hal ini yang diuntungkan adalah oligarki dan kantong-kantong pejabat terkait. Dengan adanya fakta pengalaman tersebut, maka bisa dipastikan bahwa program makan siang gratis atau makanan bergizi gratis untuk kesejahteraan rakyat, tidak lain hanyalah ilusi.
Kekayaan alam laut Indonesia berpotensi akan dimonopoli oleh pengusaha untuk membuat susu ikan yang kemudian dijual kembali kepada rakyat dengan segala konsekuensinya. Pada akhirnya, bukan kesejahteraan yang didapat, melainkan kekayaan oligarki dan kantong-kantong pejabat yang makin bertambah. Sedangkan rakyat, lagi-lagi harus menelan pil pahit dengan terancamnya kehidupan nelayan, maupun terancamnya kesehatan anak-anak karena efek dari produk susu ikan ini.
Efek buruk yang paling utama dari program itu adalah kemiskinan tidak benar-benar terentaskan. Masyarakat akan tetap miskin dan sulit menjangkau makanan bergizi. Progam makan bergizi gratis tidak benar-benar bisa mengatasi tingginya angka stunting.
Sedangkan, dalam Islam, negara berfungsi sebagai raa’in dan junnah, yaitu pengurus dan pelindung umat. Karenanya, khalifah atau pemimpin negara akan berusaha maksimal untuk menunaikan amanahnya sebagai pengurus umat agar kesejahteraan dan keadilan benar-benar merata di kalangan masyarakat.
Oleh karenanya, terdapat sejumlah mekanisme dalam Islam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, memenuhi gizi masyarakat, dan mencegah stunting. Yaitu dengan kekuatan Baitul mal. Jika dalam sistem sekuler kapitalisme APBN kerap mengalami defisit akibat menjalankan program-program, hal ini berbeda dengan konsep Baitul mal. Baitul mal akan kuat dan kokoh dengan pemasukan yang melimpah dan belanja negara yang sesuai dengan tuntunan syariat.
Kokohnya Baitul mal karena SDA dipegang dan dikendalikan penuh oleh negara. Negara tidak menjual, menyewakan atau memberikan izin pengelolaan kepada swasta maupun asing, tetapi negara sendirilah yang mengelolanya. Keuntungan yang didapat oleh negara benar-benar surplus.
Di samping itu adanya belanja negara yang diatur sesuai dengan syariat, membuat negara mampu mengelola skala prioritas, mana yang harus didahulukan dalam hal penggunaan dana dari Baitul mal. Misalnya, daripada membuat hiasan menara di pusat kota, negara lebih mementingkan penyediaan bahan pangan murah, sehingga rakyat dapat dengan mudah menjangkau bahan pangan yang bergizi, tanpa harus bergantung oleh makanan olahan pabrikan akibat ketidakmampuan secara ekonomi.
Dengan mudahnya rakyat menjangkau bahan pangan yang murah itu, maka secara perlahan angka stunting akan menurun. Karena faktanya, stunting hanya bisa diatasi dengan makan makanan bergizi dengan pola teratur. Makan makanan yang benar-benar makanan, bukan ultra proses.
Pengelolaan SDA oleh negara tersebut selain dapat menuntaskan kasus stunting, juga meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan terbukanya lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya. Hal ini karena pengelola SDA oleh negara pasti memerlukan banyak sekali tenaga kerja.
Di samping itu, dalam waktu yang bersamaan negara juga tidak menarik iuran atau pajak kepada rakyat karena telah terpenuhinya Baitul mal oleh hasil pengelolaan SDA. Tidak hanya mudahnya rakyat menjangkau makanan bergizi, tetapi juga mudahnya rakyat memperoleh pelayanan kesehatan serta pelayanan pendidikan secara gratis.
Karena itu, masyarakat wajib sadar akan rusaknya sistem sekuler-kapitalisme ini. Kekecewaan rakyat berkali-kali seharusnya menjadi titik balik rakyat untuk mulai berpikir meninggalkan sistem demokrasi yang rusak dan merusak ini. Seharusnya rakyat mampu membuka mata dan pikiran bahwa segala sesuatu yang dijanjikan saat kampanye hanyalah janji-janji politik tanpa realisasi. Sepatutnya mulai kembali kepada Islam dengan menerapkan syariat Islam secara kafah.