
Oleh: Ummu Fatimah, S.Pd.
Linimasanews.id—Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi undang-undang pada Kamis, 19 September 2024.
Sebelumnya, pasal 15 Undang-Undang Kementerian Negara telah membatasi jumlah Kementerian paling banyak 34 institusi. Namun, berdasarkan undang-undang yang baru, dalam Pasal 15 tersebut terdapat perubahan dan menyatakan kementerian bisa dibentuk berdasarkan kebutuhan presiden. Dengan regulasi baru ini, presiden terpilih Prabowo Subianto nantinya bisa menambah jumlah kementerian tanpa batas.
Bila jumlah kementerian bertambah, banyak pakar khawatir bisa terjadi tumpang tindih kebijakan, pembengkakan anggaran, dan terbukanya ruang-ruang baru bagi praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Di samping itu, diduga kuat akan memberi jalan bagi presiden terpilih untuk bagi-bagi kue kekuasaan.
Dalam sistem demokrasi, bagi-bagi kekuasaan merupakan hal biasa. Pasalnya, kemenangan presiden terpilih dalam sistem ini ditopang oleh saham-saham yang telah ditanamkan partai maupun non-partai. Hal ini karena biaya pemilu dalam sistem demokrasi sangatlah mahal. Khususnya, biaya kampanye yang digunakan untuk meyakinkan rakyat agar memilih mereka. Karenanya, partai yang mengusung calon presiden membuka koalisi sana-sini dan membuka ruang saham modal kampanye bagi siapa saja, termasuk dari para korporat. Dengan begitu, ketika kekuasaan diraih maka hal pertama yang dipikirkan penguasa terpilih adalah membalas jasa, mengembalikan modal, membagi kue kekuasaan dan, mencari peluang mengembalikan modal.
Pemilu dalam demokrasi hanya dijadikan sebagai alat bagi elite politik melalui legitimasi masyarakat untuk duduk di kursi kekuasaan. Pada kondisi seperti ini, mustahil penguasa bisa fokus memikirkan, apalagi menjalankan peran utamanya sebagai penanggung jawab urusan rakyat. Penguasa tentu saja akan memikirkan para pendukungnya di masa-masa kampanye.
Kekuasaan yang bertujuan untuk melayani rakyat hanya terealisasi di dalam negara yang menerapkan Islam. Islam telah menetapkan bahwa pemimpin berkewajiban melakukan ri’ayah atau pengaturan terhadap urusan rakyat. Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengatur urusan mereka dan dia dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia pimpin.” (HR. Al-Bukhari)
Padanya terdapat amanah dalam menjaga dan memelihara rakyatnya, yaitu menjaga dan memelihara agama, jiwa, kehormatan, harta, keturunan, eksistensi manusia dan negara.
Dalam Islam, kekuasaan ada di tangan umat, sedangkan kedaulatan ada di tangan syariat. Wakil umat atau penguasa yang terpilih adalah orang yang layak, memenuhi syarat-syarat seorang pemimpin, dipilih dengan mekanisme yang tidak rumit dan tidak menghabiskan dana besar.
Tugas mereka bukan untuk menjalankan keinginan segelintir atau sekelompok orang, tetapi untuk menjalankan hukum Allah Swt., sehingga hal ini akan menjauhkan dari kebijakan zalim dan menguntungkan segelintir orang saja, tidak diwarnai dengan utang jasa ataupun utang modal sehingga tidak akan ada bagi-bagi kekuasaan atau bagi-bagi jabatan. Demikianlah kekuasaan dalam Islam benar-benar berjalan di atas koridor syariat yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia.