
Oleh: Sri Lestari, S.T.
Linimasanews.id—Lagi-lagi kabar tak sedap datang dari dunia remaja. Tawuran menjadi salah satu aksi yang masih gencar dilakukan pemuda, di anggap solusi menyelesaikan masalah antargeng atau grup. Biasanya tawuran dilakukan jika ada konflik, saling tantang, ataupun untuk melihat geng yang paling kuat. Tawuran dipandang menaikkan pamor. Beginilah pandangan dangkal para pemuda.
Dari berita yang berseliweran, tawuran pemuda terjadi di beberapa wilayah. Seperti, di Semarang, tawuran yang ditangani oleh Polres Semarang sejak Januari hingga September 2024 ada 21 kejadian dengan 117 pelaku ditangkap.
Selain itu, dikabarkan, Polres Medan menangkap remaja berusia 19 tahun yang terlibat tawuran. Di lokasi penangkapan petugas juga menemukan sejumlah senjata tajam berupa celurit, parang berbentuk gergaji dan parang panjang (Tribun Medan, 22/9/2024).
Tawuran terus berulang dan makin mengerikan. Realitas ini memantik pertanyaan, apa sebenarnya penyebab tawuran terus berulang? Beberapa faktor yang memicu tawuran terus berulang, di antaranya: Pertama, lemahnya kontrol diri. Secara umum remaja cenderung dengan perasaan dalam berbuat, bukan dari pemikiran, sehingga tidak dapat mengontrol perbuatannya baik ataupun buruk. Sikap seperti ini yang membuat remaja rentan melakukan tindak kriminal.
Kedua, krisis identitas. Pemahaman siapa dirinya, tidak dipahami oleh pemuda. Tanpa pemahaman bahwa pemuda adalah mahluk Sang Pencipta dan pemegang kebangkitan bangsa, pemuda menjadi kehilangan jati dirinya. Akibatnya, mudah tersulut emosi dan dilampiaskan pada tindak kriminal.
Ketiga, disfungsi keluarga. Keluarga adalah tempat yang paling utama untuk mencetak pemuda unggul, baik dalam pemikiran maupun dalam bersikap. Namun, sungguh disayangkan, secara umum keluarga kini tidak berperan sebagaimana semestinya. Keluarga saat ini dikepung dengan persoalan ekonomi, sehingga hanya fokus mencukupi kebutuhan keluarga, tanpa menjalankan peran sebagai pendidik generasi. Alhasil, pemuda kurang perhatian dan mengalihkan perhatiannya pada tindak kriminal.
Ketiga, lingkungan rusak. Lingkungan sangat mempengaruhi pembentukan karakter pemuda. Saat ini media sosial sangat dekat dengan kehidupan pemuda. Informasi bahkan tontonan apa pun dapat diakses oleh pemuda tanpa filtrasi. Makin sering pemuda menonton tontonan yang tidak layak, maka akan memicunya melakukan tindak kriminal.
Ditambah lagi, pendidikan saat ini tidak bertujuan untuk membentuk generasi yang memiliki kepribadian Islam. Dari pendidikan seperti ini, lahir generasi yang kering keimanan. Maka, wajar pemuda tidak takut melakukan tindak kriminal.
Keempat, lemahnya hukum dan penegakannya. Hukum tidak memberi efek jera kepada para pelaku. Ini menjadi salah satu penyebab tindak kriminal menjadi-jadi dan mengerikan. Sesuai KUHP Pasal 358, bila aksi tawuran mengakibatkan korban luka berat, pelakunya diancam hukuman penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Bila aksi tawuran mengakibatkan korban meninggal, pelaku tawuran diancam pidana paling lama 4 tahun.
Semua faktor yang menjadi pemicu pemuda melakukan tindak kriminal tidak alami lahir dari diri pemuda. Semua faktor itu ada karena adanya permasalahan mendasar, yakni penerapan sistem kapitalis sekuler di tengah kehidupan. Dalam kapitalis sekuler, terjadi pemisahan antara agama dan kehidupan. Dalam pandangan kapitalis sekuler, Pencipta dianggap hanya menciptakan, tanpa memberi aturan kehidupan. Alhasil, aturan kehidupan ditetapkan oleh manusia. Padahal, manusia adalah mahluk yang lemah, terbatas, dan serba kurang. Jika aturan kehidupan diserahkan kepada manusia, sangat rentan terjadi kekeliruan dan kerusakan.
Selain itu, dalam sistem kapitalis, pandangan terhadap baik ataupun buruk sesuai dengan manfaat yang diraih oleh manusia. Tujuan pendidikan dalam kapitalis sekuler adalah membentuk generasi yang cakap dalam Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) namun kering dalam keimanan. Generasi dikatakan berhasil tatkala dapat meraih nilai akademik baik, tetapi tanpa melihat keimanan yang tertanam di dalam dirinya.
Dengan cara pandang seperti ini, dampaknya pemuda terus melakukan tindak kriminal dan tidak terasah potensinya. Padahal, pemuda ialah agen perubahan bangsa. Karenanya, negara harus hadir menjaga, mengasah, dan memberikan pendidikan yang melahirkan pemuda berkepribadian baik, baik pola pikir maupun pola sikapnya.
Baik buruknya pemuda sebenarnya tergantung cara pandangnya. Islam memandang pemuda adalah aset berharga yang harus dijaga. Islam memandang institusi pendidikan menjadi tempat utama untuk membentuk kepribadian dan pola pikir pemuda. Sistem pendidikan dalam Islam lahir dari akidah. Tujuan pendidikannya adalah melahirkan generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap islami. Pendidikan seperti ini akan mampu menjauhkan pemuda dari tindak kriminal karena tolok ukur perbuatan adalah halal dan haram.
Islam juga memberikan lingkungan yang kondusif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun kebijakan negara dalam membentuk generasi yang unggul dalam ketakwaan dan produktivitas pemuda. Islam akan membangun sistem yang menguatkan fungsi keluarga dengan menerapkan aturan yang menjamin kesejahteraan keluarga. Islam juga akan memberlakukan hukum yang tegas dan menjerakan bagi pelaku tindak kriminal.
Dengan dukungan sistem, kreativitas pemuda akan disalurkan pada hal kebaikan. Pemuda akan disibukkan untuk mengkaji ilmu-ilmu akhirat dan dunia. Selain itu, melibatkan pemuda dalam menyebarluaskan ilmu yang sudah dipahami di tengah-tengah masyarakat. Dengan menyibukkan pemuda dalam hal yang bermanfaat maka tidak ada ruang bagi pemuda untuk melakukan tindak kriminal. Dengan mengembalikan peran negara sebagai pencetak generasi unggul yang memiliki pola pikir dan pola sikap yang Islam, pemuda akan terhindar dari tindak kriminal.