
Oleh: Nurfahmi Hidayah Lukman
Linimasanews.id—Kriminalitas di kalangan pemuda, khususnya tawuran, terus menjadi persoalan yang menghantui Indonesia. Aksi kekerasan ini tidak hanya mengancam keselamatan para pelaku, tetapi juga masyarakat umum. Tawuran yang terjadi makin hari bukan hanya berulang, tapi juga berkembang dalam bentuk yang lebih mengerikan. Berbagai kejadian akhir-akhir ini menjadi bukti nyata akan hal tersebut.
Dikutip dari RRI.co.id (22/09/24), lima belas pemuda di Cidaun diamankan oleh kepolisian setempat sebelum sempat terlibat dalam tawuran. Meskipun tindakan pencegahan ini berhasil, faktanya mereka tetap berencana melakukan aksi kekerasan.
Masih serupa, terjadi juga di Medan Marelan. Penangkapan seorang anggota geng motor yang hendak tawuran juga mengungkapkan kelompok pemuda masih menjadikan kekerasan sebagai jalan keluar konflik. Semarang pun menghadapi lonjakan tawuran yang dipicu oleh kelompok gangster. Fenomena ini bahkan memaksa pihak kepolisian dan pemerintah kota untuk duduk bersama menyusun kesepakatan dalam upaya meredam aksi-aksi brutal tersebut.
Tawuran ini tidak lagi sekadar adu fisik biasa, tetapi kini melibatkan senjata tajam. Seperti halnya diberitakan oleh media Metro TV (20/09/24), bahwa ada sebuah video viral di Boyolali, yang memperlihatkan sejumlah pemuda tawuran menggunakan senjata tajam klewang dan semacam celurit yang panjang.
Tawuran yang melibatkan pemuda ini mencerminkan adanya masalah mendalam di tengah masyarakat. Lemahnya kontrol diri, krisis identitas, disfungsi keluarga, dan tekanan ekonomi adalah beberapa faktor utama yang memicu fenomena tawuran dan kriminalitas di kalangan pemuda.
Ditambah dengan pengaruh buruk dari lingkungan, seperti media yang tak terkendali, kegagalan sistem pendidikan turut memperparah situasi. Di samping itu, penegakan hukum yang lemah membuat para pelaku merasa tidak ada konsekuensi serius yang akan mereka hadapi. Hal ini membuat masalah makin sulit diatasi. Ini semua adalah gejala dari krisis sosial yang lebih dalam.
Fenomena ini sesungguhnya merupakan buah dari penerapan sistem sekuler kapitalis yang tidak memanusiakan manusia. Sistem ini merusak pemikiran dan budaya, membentuk pola pikir materialistis yang hanya fokus pada kepentingan individu dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam sistem ini, negara yang seharusnya bertanggung jawab membentuk generasi berkepribadian mulia justru abai terhadap potensi besar pemudanya, bahkan cenderung menyia-nyiakan mereka. Dalam sistem ini juga tujuan hidup sering kali diukur dari keberhasilan ekonomi semata, tanpa memperhatikan pembangunan moral dan spiritual.
Sebaliknya, Islam menawarkan sistem pendidikan yang mampu menghasilkan generasi berkepribadian mulia, yang akan terhindar dari perilaku kriminalitas. Pendidikan Islam tidak hanya fokus pada pengembangan intelektual, tetapi juga menekankan pentingnya akhlak, kontrol diri, dan kesadaran akan tanggung jawab sosial.
Islam memberikan lingkungan kondusif, baik di dalam keluarga, masyarakat, maupun kebijakan negara yang menumbuhsuburkan ketakwaan. Pemuda yang tumbuh dalam sistem Islam didorong mengarahkan potensi mereka untuk berkarya dalam kebaikan, seperti mengkaji islam dan mendakwahkannya, serta berperan aktif dalam perjuangan menegakkan Islam.
Negara Islam juga membangun sistem yang menguatkan fungsi keluarga, yang merupakan pilar penting dalam pembentukan karakter anak. Dengan menerapkan aturan-aturan yang menjamin kesejahteraan rakyat, serta sistem yang menjaga kontrol sosial di masyarakat, negara memastikan bahwa anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang baik. Kurikulum pendidikan Islam yang diterapkan dalam keluarga juga menciptakan harmoni yang membantu anak-anak berkembang dengan kepribadian yang kuat dan berlandaskan iman.
Di bawah naungan sistem Islam, keluarga dan masyarakat bersama-sama menciptakan ekosistem yang mendukung perkembangan generasi muda yang hebat. Generasi pun tidak hanya berkontribusi dalam pembangunan umat, tetapi juga menjadi pelopor dalam membangun peradaban yang mulia.