
Oleh: Emmy Harti Haryuni
Linimasanews.id—“Remaja Itu Moderat, Moderat Itu Keren”. Itulah judul acara di sebuah sekolah yang diselenggarakan Kementerian Agama dengan mengusung tema Moderasi Beragama. Juga ada tweetbonz yang diisi foto-foto para pelajar dengan bertuliskan “Ayoo ji, kita jaga kerukunan dan kedamaian” (Akun Instagram Kemenag Denpasar-Bali).
Demikianlah, sudah sejak sekitar 5 tahun silam tema moderasi beragama memang sangat ramai menjadi topik pembicaraan di berbagai acara, terutama di institusi pendidikan. Setahun lalu pun program “Moderasi Beragama Sejak Dini” sudah gencar disosialisasikan.
Tahun lalu, tema “Moderat Junior” diselenggarakan di sekolah dikemas dalam acara “Bermain Bersama Moderasi Beragama”. Acara ini dihadiri istri Menteri Agama, Eny Retno Yaqut. Bentuk acaranya permainan rakyat, seperti lompat tali, bola bekel, dan monopoli yang bermuatan unsur-unsur moderasi beragama.
Belum lama ini Ibu Negara pun melakukan sosialisasi moderasi beragama di madrasah, di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur pada Rabu 11 September 2024. Sasaran bidiknya adalah mencetak pelajar yang memiliki pola pikir moderat dan terbuka. Hal ini diharapkan menciptakan remaja yang saling menghargai perbedaan pendapat dan keragaman (Kompas.com, 11/9/2024).
Jika ditilik, dunia pendidikan memang lahan yang sangat strategis untuk menggoalkan sebuah program. Maka tidak heran, kampanye moderasi beragama masif di kalangan pelajar. Mengingat, pelajar adalah pemegang estafet kepemimpinan masa depan. Ada pepatah yang mengatakan, “Bila ingin mengubah sebuah peradaban masa depan, maka ubahlah para pemudanya.”
Selain sosialisasi, sebelumnya pernah pula diadakan sayembara penelitian nasional sebagai ajang bergengsi yang diharapkan bisa menguatkan sikap moderat di kalangan pemuda muslim di Bandung. Perlombaan yang dimenangkan oleh Muhammad Iqbal Zia Ulhaq, seorang Siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Darussalam, Ciamis, Jawa Barat itu merumuskan konsep 3T (tawazun/seimbang, tawasuth/penengah, dan tasamuh/toleran) dengan tujuan untuk menumbuhkan sikap moderat (voaindonesia.com, 24/10/2019).
Moderasi Beragama Memandulkan Potensi Remaja Muslim
Sekilas “Remaja Itu Moderat, Moderat itu Keren” seakan sebagai ide brilian yang elegan dan bergengsi, sebuah gagasan yang digadang-gadang menjadi solusi untuk menciptakan perdamaian dan toleransi dalam keberagaman, saling menghormati dan menghargai antarumat beragama, rukun dan damai hidup bersama. Akan tetapi, bila kita telisik lebih jauh, gagasan moderasi beragama tidak bisa dilepaskan dari jejak-jejak peninggalan peristiwa meledaknya World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 silam. Sejak saat itu, muslimin difitnah sebagai penyebab tragedi. Dengan alasan mengejar pelaku ledakan WTC itulah, Irak luluh lantak diserang negara adi kuasa.
Inilah yang membuat umat Islam menjadi tertuduh hingga terus menjadi bulan-bulanan penjajah kafir. Kemudian berkembanglah istilah Islam teroris, Islam radikal, Islam fundamentalis, ataupun Islam extremis. Tuduhan itu bertujuan untuk mengarahkan kaum muslim agar menerima narasi “Islam moderat” yang menerima perbedaan agama.
Islam moderat atau Islam jalan tengah yang dimaksud adalah seorang muslim yang tidak fanatik, tidak melaksanakan Islam sebaik mungkin, biasa-biasa saja, sedang-sedang saja, atau mengambil jalan tengah. Dengan kata lain, seorang muslim moderat adalah muslim yang menerima sekularisme, liberalisasi, feminisme, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupannya.
Muslim yang moderat menganggap tidak masalah seorang muslim mengucapkan selamat dan ikut merayakan hari raya agama lain. Akhirnya, menganggap semua agama sama saja. Sah-sah saja hari ini menganut Islam, besok Kristen, lusa Budha atau Hindu. Bila sudah seperti ini, maka jangan harap potensi remaja muslim digunakan untuk memperjuangkan kebenaran agamanya, untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi.
Selamatkan Remaja Muslim dari Arus Moderasi Beragama
Bila kita membuka mata hati, bukankah permasalahan remaja termasuk pelajar sejak dahulu adalah pergaulan bebas, narkoba, tawuran remaja, kekerasan seksual, aborsi, dan kriminalitas lainnya? Faktanya, kenakalan remaja tersebut kini makin parah, tidak kunjung selesai. Lalu, mengapa penguasa malah menjadikan moderasi beragama sebagai solusi dengan menjadikannya sebagai pengarusutamaan di negeri ini?
Gagasan moderasi beragama ini sama sekali tidak berhubungan dengan biang permasalahan remaja. Artinya, itu bukanlah solusi dekadensi moral dan berbagai permasalahan remaja lainnya yang belum kunjung usai hingga saat ini. Karena itu, kampanye moderasi beragama di sekolah-sekolah yang membidik para pelajar pemegang tongkat estafet pembangunan di masa depan ini menghambat kebangkitan Islam. Bukankah mencetak pribadi pelajar muslim moderat akan semakin menjauhkan pelajar dari kepribadian Islam yang bertakwa dan berakhlak karimah?
Seharusnya, common enemy (musuh bersama) persoalan remaja muslim adalah kerusakan akhlak. Karena itu, sangat tampak bahwa hidden agenda (agenda tersembunyi) dari mega proyek moderasi beragama adalah islamofobia atau ketakutan akan bangkitnya peradaban Islam yang penuh keluhuran.
Miris, penguasa negeri muslim malah tunduk dan patuh pada petuah penjajah untuk menjaga eksistensi sistem kufur mereka. Padahal, pelajar (remaja) muslim semestinya dipersiapkan menjadi pejuang-pejuang yang memperjuangkan Islam sebagai manhaj nubuwah yang murni, tidak terkontaminasi dengan ide-ide Barat. Bukan malah menerima, mengambil, dan menjalankan proyek-proyek Barat dengan menerima paham liberalisme, sekulerisme, pluralisme, HAM, feminisme, dan paham kufur lainnya.
Karenanya, dibutuhkan negara yang menjaga dan melahirkan remaja muslim yang militan dan loyal, profil generasi yang hanya dapat dilahirkan oleh sistem pendidikan Islam dalam Khilafah Islam. Dengannya akan tercipta peradaban agung dan luhur.