
Oleh: Rohayah Ummu Fernand
Linimasanews.id—Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atau Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi Undang-Undang. Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR ke-7 Masa Persidangan 1 Tahun Sidang 2024-2025, di Komplek Parlemen, Jakarta, pada Kamis (19/9). Setidaknya terdapat enam poin penting dalam perubahan tersebut. Satu diantaranya mengenai jumlah kementerian yang kini ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden (CNNIndonesia.com, 20/9/2024).
Pembengkakan Anggaran
Wakil ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Ahmad Baidowi atau Awik, menilai revisi Undang-Undang Kementerian Negara dibentuk untuk memudahkan presiden dalam menyusun Kementerian demi tata kelola yang efektif. Poin pertama, yakni perubahan pasal 15 dan penjelasannya terkait jumlah kementerian yang ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden. Padahal sebelumnya, dalam pasal 15 Undang-Undang Kementerian Negara telah membatasi jumlah kementrian paling banyak 34 institusi.
Apabila jumlah kementerian bertambah banyak, pakar khawatir bisa terjadi tumpang tindih kebijakan, pembengkakan anggaran, dan terbukanya ruang-ruang baru bagi praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Pakar mengatakan masyarakat bisa mengajukan gugatan atas revisi Undang-Undang ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Karena, itu tidak sesuai dengan prosedur dan dalam perumusannya dinilai tidak ada partisipasi publik yang bermakna.
Bagi-Bagi Kue Kekuasaan
Kebijakan ini diduga kuat untuk memberi jalan bagi presiden terpilih untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Sebab, kebijakan tersebut diketahui tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024, ataupun daftar 43 Rancangan Undang-Undang yang pembahasannya diprioritaskan selesai sebelum Oktober mendatang. Oleh karena itu, pembahasan Undang-Undang ini menunjukkan kesan pemaksaan dan sarat dengan kepentingan pihak tertentu, bukan untuk kepentingan rakyat.
Kebijakan bagi-bagi kue kekuasaan ini merupakan hal lumrah dalam demokrasi. Pasalnya, kemenangan presiden terpilih ditopang oleh saham-saham yang telah ditanamkan partai maupun nonpartai. Dan tidak dipungkiri bahwa biaya pemilu dalam sistem demokrasi amat sangat mahal, khususnya biaya kampanye yang digunakan untuk meyakinkan rakyat agar memilih mereka untuk menduduki jabatan pemerintahan. Di sinilah dibutuhkan dana yang cukup besar, sehingga partai yang mengusung calon presiden akan membuka ruang saham modal kampanye bagi siapa saja, termasuk para korporat.
Tak ayal, ketika kekuasaan sudah berada di genggaman, maka hal pertama yang dipikirkan oleh penguasa terpilih adalah bagaimana berupaya untuk bisa mengembalikan modal. Karena waktu berkuasa sangatlah singkat, yakni 5 tahun, maka mau tidak mau penguasa terpilih harus mengembalikan modal tersebut, sekaligus mendapatkan keuntungan dari kekuasaannya sebagai modal pada pemilu di periode berikutnya. Bagi-bagi kekuasaan pun tak terelakkan. Inilah yang disebut dengan politik pragmatisme.
Kebijakan tersebut tidak akan mengubah kondisi apapun bagi negeri ini. Sebab perubahan Undang-Undang ini masih didasarkan pada sistem politik demokrasi. Sedangkan pemilu dalam sistem demokrasi hanya dijadikan sebagai alat bagi elit politik melalui legitimasi masyarakat untuk duduk di kursi kekuasaan. Pada kondisi seperti ini, mustahil penguasa terpilih memikirkan rakyat, apalagi menjalankan peran utamanya sebagai penanggungjawab urusan rakyat. Sebaliknya, penguasa terpilih hanya memikirkan pendukungnya di masa-masa kampanye, salah satunya adalah melalui bagi-bagi kue kekuasaan. Banyaknya praktik korupsi dalam tubuh pemerintahan selama inipun diduga kuat adalah bagian dari upaya untuk mendapatkan keuntungan melalui kekuasaan.
Kekuasaan dalam Islam
Hal ini tentu saja berbeda ketika sistem yang diterapkan adalah sistem yang sahih. Kekuasaan yang bertujuan untuk melayani umat hanya akan terealisasi dalam negara yang menerapkan Islam kaffah, yakni Khilafah Islamiyyah. Islam telah menetapkan bahwa pemimpin berkewajiban untuk melakukan ri’ayah atau pengaturan terhadap urusan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat), dan ia bertanggungjawab terhadap pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari).
Yang dimaksud dengan ar-ri’ayah adalah menjaga dan memelihara sesuatu. Itulah tugas utama pemimpin terhadap rakyatnya, yakni menjaga dan memelihara seluruh urusan rakyatnya. Penjagaan terhadap agama, jiwa, kehormatan, harta, keturunan, eksistensi manusia, dan negara. Oleh karena itu, Islam mengecam keras pemimpin yang tidak menjalankan tugas tersebut. Bahkan Rasulullah saw. mendoakan keburukan bagi pemimpin yang memberatkan urusan rakyatnya. Sabda beliau saw., “Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku lalu dia membuat susah umatku, maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku lalu dia menyayangi umatku, maka sayangilah dia.” (HR. Muslim)
Dalam Khilafah, kekuasaan ada di tangan umat, sedangkan kedaulatan ada di tangan syarak. Metode baku menurut syariat dalam memilih khalifah adalah dengan bai’at. Alhasil, melalui ketentuan dalam Islam, maka setiap wakil umat atau penguasa yang terpilih adalah orang yang layak dan memiliki kapabilitas untuk memimpin, serta memiliki akidah yang kuat. Dari sini, sudah bisa dipastikan akan bersih dari aksi tipu-tipu maupun kongkalikong antara penguasa dan pengusaha.
Apalagi pemimpin yang dipilih dalam negara Khilafah bukan untuk menjalankan keinginan pribadi atau kelompok mereka, bukan pula untuk menerapkan hukum buatan manusia, akan tetapi untuk menjalankan hukum buatan Allah Swt. Sehingga, hal ini akan menjauhkan dari kebijakan zalim dan menguntungkan segelintir orang saja. Demikianlah kekuasaan dalam Khilafah yang berjalan di atas koridor syariat, yang akan mengantarkan seluruh umat manusia dalam kesejahteraan dan kemuliaan, di dunia dan di akhirat. Wallahu a’lam bishshawab.