
Oleh: Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H.
Linimasanews.id—Peringatan Hari Udara Bersih Internasional untuk Langit Biru (International Day of Clean Air for Blue Skies) pada tanggal 7 September 2024 lalu mengangkat tema “Invest in #CleanAirNow”. Peringatan tahun ini ditekankan meningkatkan kesadaran publik di semua tingkatan tentang udara yang bersih serta mempromosikan dan memfasilitasi tindakan guna meningkatkan kualitas udara agar terhindar dari polusi. Selain itu, ada kebutuhan mendesak akan peningkatan investasi dan tangung jawab bersama untuk memerangi polusi udara (detiknews.com, 7/9/2024).
Polusi udara merupakan faktor kematian terbesar kedua yang menyebabkan sekitar 8,1 juta kematian dini setiap tahun akibat kondisi, seperti stroke, penyakit jantung, kanker paru-paru, dan infeksi saluran pernafasan akut. Dikatakan, jika kita bergerak sekarang maka dapat mengurangi kerugian panen global akibat polusi udara pada tahun 2050.
Selain itu, mengurangi emisi matana, gas rumah kaca dan polusi udara yang penting, dapat menghemat $4 miliar hingga $33 miliar. Mengapa? Karena polusi udara memiliki risiko kesehatan terbesar dan dapat memperburuk perubahan iklim serta kerugian ekonomi. Karena itu, disampaikan bahwa polusi udara tidak mengenal batas wilayah sehingga setiap orang memiliki tanggung jawab untuk melindungi atmosfer dan memastikan udara sehat untuk semua (detiknews.com, 7/9/2024).
Dalam peringatan Hari Udara Bersih Internasional untuk Langit Biru yang mengusung tema “Invest in #CleanAirNow ini disampaikan bahwa berinvestasi di sini memerlukan tindakan pemerintah dan dunia usaha untuk menghentikan bahan bakar fosil, menegakkan standar kualitas udara, meningkatkan energi terbarukan, transisi menuju memasak bersih, membangun transportasi berkelanjutan, dan sistem pengelolaan limbah berkelanjutan, membersihkan rantai pasokan dan mengurangi emisi berbahaya termasuk metana. Selain itu, perlu mengarahkan modal keuangan ke teknologi udara bersih untuk mengatasi krisis (PBBIndonesia.com, 7/9/2024).
Jika ditilik, tema-tema yang diusung oleh PBB di setiap agenda menggunakan solusi investasi. Hal ini menunjukkan bahwa setiap permasalahan yang dihadapi negara-negara internasional tidak menyentuh akar permasalahan. Bahkan, solusi yang diberikan kembali lagi hanya menjadi ajang bisnis.
Bisnis dalam Wacana EBT
Polusi udara yang terjadi saat ini memang membutuhkan solusi yang cepat dan tepat. Pada peringatan Hari Udara Bersih untuk Langit Biru kembali diwacanakan kepada negara-negara internasional untuk menggunakan EBT (Energi Baru dan Terbarukan) sebagai salah satu solusi mengatasi polusi udara tersebut. Hal ini sejalan dengan tema yang diusung yakni “Invest in #Clean AirNow”.
EBT yang merujuk pada sumber-sumber energi alternatif dan berkelanjutan yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui ini berlimpah di Indonesia. Hal ini yang akan menarik investor asing untuk berinvestasi. Sudah pasti Indonesia yang membuka lebar pintu masuknya investor akan menyambut wacana ini dengan penuh suka cita. Bahkan, pemerintah pada saat mengambil kebijakan menaikkan pajak kendaraan konvensional karena dianggap menyebabkan polusi pada bulan Januari lalu, alasannya mengurangi polusi. Ini merupakan kebijakan yang semata-mata hanya untuk peluang bisnis membuka investasi kendaraan listrik karena dianggap lebih ramah lingkungan.
Solusi kendaraan listrik ini solusi palsu. Mengapa demikian? Karena, berdasarkan catatan WALHI Nasional, 85% sumber energi di Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil. Sekitar 60% lebih berbentuk PLTU batu bara, sisanya berbentuk PLTU lain. Bahkan kebijakan penggunaan kendaraan listrik berpotensi menambah beban bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik.
Oleh karena itu, perlu kita kaji kembali akar maslah dari semakin tingginya polusi udara saat ini. Apakah hanya sekadar permasalahan bahan yang digunakan?
Akar Masalah
Pencemaran lingkungan dan terjadinya polusi udara pada dasarnya diakibatkan oleh paradigma pembangunan kapitalistik dan lemahnya pengawasan akan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Sementara itu, paradigma kapitalisme menitikberatkan sistem ekonomi berpihak pada para kapital (pemilik modal). Segala lini akan menjadi ajang bisnis, meskipun itu membahas hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan. Membahas ketersediaan air bersih, udara bersih atau yang lainnya tidak semata karena peduli dengan lingkungan, tetapi timbangan beraktivitas mereka tetap bisnis. Karenanya, beberapa kali agenda internasional yang telah dilangsungkan, mengusung tema investasi.
Pembangunan ala kapitalis memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk menguasai aset-aset umum yang seharusnya dikelola negara. Karenanya, korporasi dengan bebas mengeksploitasi lingkungan tanpa peduli dampaknya, selama hal itu menghasilkan materi (cuan). Infrastruktur, pusat-pusat perbelanjaan dan perumahan mewah pun dibangun di mana-mana secara masif tanpa peduli akan berdampak negatif pada lingkungan atau tidak.
Inilah akar masalah yang sesungguhnya dari makin masifnya polusi udara yang menjadi ancaman kehidupan manusia. Permasalahan sistemis ini membutuhkan solusi sistemis pula. Yakni, kembali pada sistem yang sesuai fitrah manusia (sistem Islam).
Islam Mengatasi Masalah Polusi
Islam memiliki paradigma pembangunan yang sangat memperhatikan kelestarian lingkungan. Hal ini tergambar pada masa kekhilafahan Islam, ditetapkan kebijakan penggunaan sumber daya alam secara bijaksana dan menjaga keseimbangan ekosistem. Paradigma pembangunan dalam Islam berstandar pada syariat, bukan standar materi, sehingga kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan dibuat semata dalam rangka melindungi umat agar mendapatkan kehidupan yang terbaik.
Dengan paradigma ini, sistem Islam (khilafah) menjadi mercusuar peradaban dalam pembangunan kota-kota berskala internasional di masanya. Rancangan tata letak kota memperhatikan kelestarian lingkungan sehingga pembangunan tidak ugal-ugalan, apalagi dalam rangka mendapatkan keuntungan. Karena itu, dalam merancang tata letak pun, khalifah melibatkan pakar-pakar yang ahli dalam mempertimbangkan aspek lingkungan atau ekosistem tersebut, apakah layak dibangun atau tidak. Keterlibatan ahli menjadi sesuatu yang penting.
Di sisi lain, Islam memerintahkan individu untuk selalu memperhatikan kelestarian lingkungan, sehingga penjagaan lingkungan berjalan sinergis antara individu, masyarakat, dan negara. Misalnya, di masa Kekhilafahan Utsmani, pemerintah membangun kota-kota yang megah, tetapi tetap memperhatikan aspek lingkungan.
Apakah ini berarti pemerintahan Islam tidak mendirikan industri? Tentu saja tidak. Pada masanya, kekhilafahan menjadi negara industri yang tentu saja memiliki banyak hasil komoditas yang diperdagangkan, bahkan diekspor ke luar negeri. Misalnya, industri pertanian, kaca, berbagai perangkat keras, kain sutra, tekstil, parfum dari berbagai jenis bunga, rempah-rempah, dan masih banyak lagi.
Industri-industri ini tidak menjadi penyebab polusi udara seperti saat ini karena paradigma pembangunannya sesuai syariat Islam. Yakni, negara tidak berlepas tangan dan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Sebagaimana firman Allah Swt.
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya.” (QS Al-A’raf:56)