
Oleh: Ika Kusuma
Linimasanews.id—Sebelumya muncul wacana yang menyebutkan bahwa jajaran kementerian yang akan mendampingi pemerintahan Prabowo-Gibran berjumlah 44 kementerian. Hal ini jelas bertambah dari jumlah sebelumnya yang berjumlah 34 kementerian (antaranews.com, 18/9/2024). Akhirnya, pada Kamis 19 September 2024, DPR-RI resmi mengesahkan RUU perubahan atas UU No. 38 Tahun 2008 tentang Kementerian menjadi UU (CNNIndonesia.com, 20/9/2024).
Sekertaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani mengatakan kabinet gemuk yang diproyeksikan pada pemerintahan Prabowo-Gibran akan lebih efektif sebab fokus kementerian akan menjadi lebih tersentral. (Antaranews.com, 17/09/2024). Namun demikian, sejumlah pakar berpendapat jika jumlah kementerian bertambah banyak dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih kebijakan, pembengkakan anggaran, dan terbukanya ruang- ruang baru praktik KKN. Kebijakan ini juga dinilai terlalu dipaksakan mengingat revisi UU ini tidak sesuai dengan prosedur perumusan UU serta tidak adanya partisipasi publik dalam proses perumusannya.
Selain itu, program pemerintah ini juga tidak masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2020-2024 ataupun daftar 43 RUU yang diprioritaskan selesai sebelum Oktober mendatang. Hal ini makin menguatkan dugaan jika kebijakan ini diambil semata untuk memberi ruang pada presiden terpilih untuk bagi-bagi kursi kekuasaan. Bukan rahasia lagi, adanya praktik bagi-bagi kursi kekuasaan dalam sistem demokrasi saat ini, mengingat biaya pemilu dalam sistem demokrasi memang sangat mahal. Terutama biaya kampanye yang ditujukan untuk meraih suara rakyat sebagai upaya memuluskan jalan mereka meraih kursi kekuasaan. Inilah alasan partai pengusung paslon membuka ruang saham bagi siapa saja, termasuk para korporat guna memenuhi modal kampanye mereka.
Akibatnya, sudah bisa kita tebak di masa singkat jabatan mereka yakni 5 tahun. Alih-alih menjalankan fungsi mereka untuk kepentingan rakyat, mereka akan lebih fokus kejar target bagi-bagi kursi kekuasaan guna mengembalikan modal pemilik saham sekaligus meraup keuntungan besar sebagi modal kampanye berikutnya. Inilah politik pragmatis yang akan terus berulang siklusnya. Maka tak heran jika kemudian kebijakan-kebijakan yang diambil tak jauh dari kepentingan mereka dan para pendukungnya.
Sejatinya, pemilu dalam sistem demokrasi tak lebih hanya alat bagi kaum elit politik melalui legitimasi masyarakat untuk meraih kursi kekuasaan. Tujuannya jelas bukan untuk rakyat, tetapi demi kepentingan pribadi ataupun golongan. Ketika kekuasaan berhasil mereka raih, mereka hanya akan fokus pada kepentingan para pendukungnya saja dan melupakan fungsi utama mereka sebagai penanggung jawab urusan rakyat.
Inilah mengapa budaya korupsi dalam sistem demokrasi terus tumbuh subur. Mereka enggan rugi dan terkesan dikejar target mengembalikan modal dengan masa jabatan yang terbatas. Proses pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi sudah dipenuhi problematika dari awal, maka mustahil rakyat akan mendapatkan pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Jika dalam sistem demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat, maka dalam sistem Islam kaffah, kedaulatan ada di tangan syariat, yaitu hukum Allah Ta’ala, sedangkan kekuasaan ada di tangan umat. Dalam sistem Islam, pemilihan kepala negara atau khalifah dengan cara baiat yang dilakukan oleh Ahlul Halli Wal Aqdi, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan, kekuatan, pandangan, dan pengetahuan dalam sebuah negara. Ahlul Halli Wal Aqdi mewakili umat untuk memilih penguasa yang akan memimpin umat.
Selain itu, khalifah hanya akan menjalankan hukum Allah Swt., bukan hukum buatan manusia yang jelas akan berpihak pada segelintir golongan saja. Hal ini mampu mencegah pemimpin mengambil kebijakan yang zalim terhadap umat.
Kewajiban kepala negara dalam sistem Islam adalah Raa’in yang bertugas mengurusi urusan umat. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah, “Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengatur urusan mereka dan Dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya” (HR. Bukhari)
Dengan demikian, kepala negara yang berpihak pada kepentingan umat akan terwujud hanya dalam sistem Islam. Kepala negara dalam sistem Islam dipastikan memiliki kemampuan menjaga agama, jiwa, dan kehormatan, harta, keturunan, eksistensi manusia serta negara yang dipimpinnya. Wallahualam.