
Oleh. Eni Yulika, S. Pd.
Linimasanews.id—Uang dalam sistem kapitalisme (sistem yang identik dengan uang) hari ini sangat berperan besar, terutama menjelang kampanye pemilihan umum. Dikutip dari Antara.com (25/09/24), terhitung 25 September sampai 23 November 2024, proses pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak memasuki tahapan kampanye pasangan calon walikota dan calon wakil walikota. Ketua Bawaslu Padang Panjang, Sumatera Barat, Hidayatul Fajri menyebutkan, tahapan kampanye adalah masa paling rawan terjadinya pelanggaran, salah satunya adalah politik uang. Apabila terjadi pelanggaran politik uang, tidak hanya pemberi, namun penerima politik uang berpeluang dikenai sanksi.
Uang sebagai iming-iming sangat sering ditemukan di berbagai pelosok daerah. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum di musim pemilu, publik memilih calon yang paling banyak memberi, baik uang, sembako atau lainnya. Belum lagi untuk keperluan spanduk, baliho, baju, dan acara-acara kampanye, wajar setiap paslon harus merogoh kocek yang dalam untuk mengambil hati masyarakat.
Dengan besarnya uang yang dikeluarkan, tidak sedikit kontestan pemilu harus menggadaikan kinerja selama menjabat. Tidak sedikit yang menggunakan uang pribadi atau juga uang dari partai, bahkan ada yang disokong oleh para pengusaha asing. Hal ini mengakibatkan mereka tidak independen selama menjabat. Akhirnya, banyak yang terlibat kasus korupsi, ada yang menggadaikan Surat Keputusan SK Pengangkatan demi menutup utang, ada juga yang harus direhabilitasi karena gagal menang. Lebih parah lagi, ada yang menjabat tidak sesuai dengan keahliannya ataupun rusak moralnya.
Dari realitas ini, wajar jika ditemukan pejabat ingkar janji. Janji sebelum menjabat berbeda dengan yang dilakukan setelah menjabat. Lagi-lagi, rakyat harus menelan pil pahit. Kesejahteraan masih jauh dari harapan. Inilah bukti buruknya proses pemilu dalam sistem demokrasi.
Realitas ini berbeda dengan sistem Islam. Sistem Islam menutup semua celah pelanggaran hukum syarak. Dalam sistem Islam, pemilu bukanlah satu-satunya jalan untuk memilih pemimpin. Dalam Islam, syarat dalam memilih pemimpin adalah syarat yang telah ditetapkan syarak. Ada syarat in’iqad dan syarat afdholiah.
Ketika syarat in’iqad terpenuhi maka semua bisa mencalonkan atau dicalonkan menjadi pemimpin. Setelah itu, ada masa seleksi dan kemudian ada masa kampanye. Seleksi dan kampanye di dalam Islam tidak membutuhkan banyak biaya. Semua bisa memanfaatkan media yang ada.
Sebagai contoh, ketika Umar mengalami masa kritis, ia meminta para ahlul hall wal aqdi (tokoh representasi umat) untuk memilih 6 calon khalifah yang akan mengurusi kaum muslimin. Umar menetapkan amir (pemimpin) untuk melakukan pemilihan yang diberi waktu tiga hari untuk memilih satu di antara para calon . Orang yang menyalahinya atau membangkang akan dibunuh. Tidak ada yang menyalahi perintah Umar saat itu karena perintahnya tidak menyalahi hukum syarak. Sampai akhirnya terpilihlah Ali sebagai khalifah yang menggantikan Umar.
Sejarah tersebut mengajarkan bahwa Islam memiliki cara untuk memutus politik uang. Untuk meniadakan keinginan pejabat mencari keuntungan di dalam jabatannya, Islam memerintahkan memberi santunan bagi khalifah dan para wali. Orang-orang juga tidak berlomba-lomba menjadi pemimpin karena sadar akan bertanggung jawabnya menjalankan hukum syarak secara penuh. Pemimpin mesti berusaha mewujudkan kesejahteraan, bukan sibuk menutupi utang dan terjebak dalam pusaran pengusaha untuk meraih untung.