
Oleh: Rosita sembiring
Linimasanews.id—Ekonom Senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan, Ibukota Nusantara (IKN) pada dasarnya adalah proyek presiden yang disertai justifikasi dari (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) DPR RI dan instansi yang relevan. Pendapat ini ia ungkapkan saat merespons pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengatakan IKN berdasarkan keputusan seluruh rakyat Indonesia (tempo.co, 29/9/2024).
Menurut Wijayanto, IKN proyek presiden karena Jokowi sendiri memutuskan pemindahan ibu kota tanpa adanya analisis menyeluruh untuk menilai kelayakan (feasibility study). Setelah keputusan pemindahan ibu kota dibuat, barulah feasibility study ini menyusul di kemudian hari. Itu pun bukan feasibility study tentang perlu tidaknya pindah atau tentang ke mana akan pindah, tetapi hanya tentang cara kepindahannya saja.
Pemindahan IKN memang sangat kontroversial. Di awal wacana, pembangunan IKN ini tidak akan memakai anggaran dari APBN. Namun, seiring berjalannya waktu akibat minimnya investor (asing maupun swasta lokal) yang ikut andil dalam pembangunan tersebut. Akhirnya pemerintah mengambil kebijakan untuk memakai dana dari APBN.
Skema pembiayaan IKN yang menyedot APBN memunculkan polemik. Oleh karena itu, pola pola reverse planning yang diambil oleh Jokowi. Keputusan tersebut baru menyusun rencana study-nya, membuat IKN menjadi proyek yang memiliki risiko dan sulit untuk direalisasikan.
Pada 2019 Jokowi pernah menyampaikan bahwa proyek pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke IKN tidak akan memberatkan APBN. Kala itu ia menyebutkan skema pembiayaan IKN diambil dari APBN sebesar 19 %.Namun, melalui Kementerian Keuangan pemerintah mengumumkan skema pembiayaan IKN hingga 2024 lebih banyak membebankan APBN.
Dengan model kekuasaan seperti ini, yakni ketika seluruh pertimbangan berlandaskan ekonomi alias bisnis semata, fungsi utama kekuasaan (Negara) hanyalah sebagai regulator, bukan pengurus yang memberikan pelayanan. Miris memang, rakyat dalam sistem ini selalu sebagai korban. Para pejabatnya cenderung koruptif, sedangkan rakyatnya hidup dalam cekikan pajak yang semakin membelit.
Pemasukan APBN selama ini didapat dari pajak, pendapatan negara bukan pajak dan hibah. Dari seluruh pemasukan tersebut, pajak mlah yang memiliki persentase yang paling tinggi. Pajak tersebut berasal dari pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak ekspor, dan sebagainya.Semua pajak tersebut diperoleh dari pembayaran oleh rakyat, melainkan dinikmati oleh segelintir orang saja, yaitu orang yang berduit.
Jika pembengkakan dana IKN terus terjadi, tidak menutup kemungkinan akan menyedot anggaran dengan jumlah fantastis. Ini tentu akan membahayakan APBN yang seharusnya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan BBM, bahkan sebagian subsidi untuk rakyat sudah dikurangi dan tak tertutup kemungkinan akan dicabut.
Ini semua akibat penerapan sistem kapitalis demokrasi. Sistem ini telah memasung potensi kekayaan alam negeri menjadi sasaran eksploitasi oligarki kapitalis. Alhasil, negeri kaya tapi banyak utangnya. Karena itu terbukti sistem ekonomi kapitalis membenarkan terjadinya penguasa harta kekayaan milik umum yang sejatinya untuk dimanfaatkan seluruh rakyat, menjadi milik individu baik swasta atau asing.
Karena itu, penderitaan yang dirasakan rakyat saat ini semestinya tidak terjadi jika diurus oleh sistem kepemimpinan Islam (khilafah), yang di rancang oleh Allah SWT dan di wariskan oleh baginda Nabi saw.
Syariat Islam menetapkan tidak boleh ada celah bagi siapa pun, terutama para pemimpin untuk menimbulkan kerusakan,am apalagi membuka pintu kezaliman dan memberi jalan penjajahan.
Allah berfirman dalam Qur’an surah al A’raf: 56 yang artinya, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (di ciptakan) dengan baik.Berdoalah kepadanya dengan rasa takut dan penuh harap.Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang ya ng berbuat ke baikan.”
Oleh karena itu, pembangunan dengan skema utang atau investasi swasta, baik nasional maupun asing dan sejenisnya betul-betul ditutup rapat dalam sistem Islam. Karenanya, hanya dengan kepemimpinan Islam yang benar-benar mampu mengurus dan menjaga umat sehingga kesejahteraan bisa dirasakan hingga level orang per orang.