
Oleh: Devy Rikasari
Linimasanews.id—Duduk-duduk di bawah pohon rindang (DPR) pasti seru, apalagi jika sambil bersantai. Namun, kondisi ini sangat miris jika terjadi dalam lingkup pembelajaran sekolah. Inilah yang terjadi pada siswa SMPN 60 Bandung. Mereka terpaksa melakukan kegiatan belajar mengajar (KBM) di bawah pohon rindang. Kadang pindah ke teras jika hujan tiba, tak jarang juga bubar jalan.
Hal ini terjadi karena sekolah tersebut belum memiliki gedung layaknya sekolah pada umumnya. Sejak berdiri tahun 2018, sekolah ini menumpang di bangunan SDN 192 Ciburuy, Regol, Kota Bandung. Makin bertambah tahun, makin banyak rombongan belajarnya (rombel). Saat ini ada 9 rombel di sekolah ini, sementara ruang kelas di SDN 192 hanya ada 7. Alhasil, 2 rombel harus melakukan KBM di luar kelas dengan bergantian setiap hari.
Akibat menumpang pada bangunan SD, siswa SMPN 60 harus masuk siang karena pagi hari ruang kelasnya dipakai oleh siswa SD. Humas SMPN 60 menyatakan sudah meminta bantuan kepada pemerintah setempat, namun masih belum ada kepastian kapan gedung sekolah mereka akan dibangun (detik.com, 27/9/2024).
Sungguh miris. Padahal, pendidikan merupakan sektor penting yang menentukan masa depan suatu bangsa. Selain itu, ia merupakan kebutuhan pokok bagi setiap individu rakyat, selain kesehatan dan keamanan. Karenanya, sudah sepatutnya mendapat perhatian serius dari para pemangku kebijakan. Sayangnya, dalam sistem kapitalisme, negara tidak sepenuhnya berpihak kepada rakyat. Hal ini tampak ketika sekolah berdiri atas keinginan rakyat, namun negara tidak serius memfasilitasi segala sarana yang mendukung untuk proses pembelajaran.
Betul, negara sudah mengalokasikan anggaran pendidikan. Namun, anggaran yang tidak banyak ini justru tidak terserap sempurna, baik karena salah kelola maupun menjadi ajang korupsi dari level atas hingga ke bawah. Alhasil, dana pendidikan disunat hingga bersisa sangat kecil.
Ini berbeda dengan Islam. Islam memandang pendidikan sebagai salah satu bidang strategis untuk membangun peradaban yang mulia. Meski tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk karakter peserta didik yang berkepribadian Islam, bukan berarti negara membiarkan fasilitas pendidikan seadanya.
Seorang sejarawan Barat, Philip K. Hitti, pernah menulis tentang Madrasah Nizamiyah di masa kegemilangan Islam. Sekolah ini didirikan oleh Nizam al-Mulk, perdana menteri pada kesultanan Seljuk pada masa Malik Syah, pada tahun 1066/1067 M. Awalnya lembaga pendidikan ini hanya ada di Kota Baghdad, ibu kota dan pusat pemerintahan Islam pada waktu itu, lalu berkembang ke wilayah lain.
Madrasah Nizamiyah adalah salah satu lembaga pendidikan tinggi yang menyediakan fasilitas pembelajaran yang memadai bagi para penuntut ilmu. Ia memiliki manajemen tersendiri dalam pengelolaan dana, punya fasilitas perpustakaan yang berisi lebih dari 6.000 judul buku, laboratorium, dan beasiswa bagi yang berprestasi.
Negara di dalam Islam berkewajiban mengatur segala aspek yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Bukan hanya kurikulum, akreditasi, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga terkait dengan sarananya. Berkenaan hal ini, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seorang Imam (khalifah/ kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di dalam kitab al-Ahkaam dijelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) wajib memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam maka kita akan melihat perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya sangat besar, tak terkecuali dalam urusan sarana pendidikan, seperti gedung sekolah, perpustakaan, auditorium, observatorium, dll.
Salah satu perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul yang didirikan oleh Ja’far bin Muhammad (wafat 940M). Para ulama sering mengunjungi perpustakaan, baik untuk membaca atau menyalin. Para pengunjung perpustakaan ini memperoleh segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Para mahasiswa yang rutin belajar di perpustakaan itu juga diberikan pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di Kota Mer Khurasa yang mengizinkan peminjaman buku sampai 200 buku perorang tanpa jaminan apa pun. Kondisi ini terjadi masa kekhalifahan abad 10 Masehi.
Ada juga Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan oleh khalifah al-Muntahsir di Kota Baghdad. Di sekolah ini, setiap siswa mendapatkan beasiswa berupa emas sebesar satu dinar. Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah dan penunjangnya juga disediakan, seperti perpustakaan beserta buku-bukunya, rumah sakit, dan pemandian.
Yang tidak kalah menakjubkan adalah Madrasah an-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad ke-enam hijriyah oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini ada fasilitas tambahan, seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.
Pertanyaannya, bagaimana para khalifah di atas mampu memenuhi kebutuhan anggaran pendidikan? Jawabannya, karena hukum syarak sudah menentukan sumber-sumber pendapatan negara sesuai dengan sistem ekonomi Islam. Para penguasa dalam sistem Islam tinggal menjalankan ketetapan syarak. Berkaitan dengan anggaran pendidikan, dapat diambil dari kas Baitulmal dari pos fa’i, kharaj, dan pengelolaan milkiyah ‘ammah (kepemilikan umum) seperti SDA, dll.
Dalam sistem kapitalisme saat ini, tidak ada pos pemasukan tersebut. Pemasukan terbesar negara hanya dari pajak dan utang. Wajar jika pemasukan tersebut tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan negara, termasuk pendidikan. Pajak yang tinggi makin mencekik leher rakyat, membuat rakyat tidak rida terhadap pemimpinnya. Di samping itu, utang negara yang notabene adalah riba juga makin menambah ketidakberkahan sumber pemasukan negara saat ini.
Oleh karena itu, sudah selayaknya kita kembali kepada sistem Islam. Dengan sistem Islam, hidup akan makin berkah, mulia, dan sejahtera, insyaAllah.