
Oleh: Uswatun Khasanah (Muslimah Brebes)
Linimasanews.id—Warga Negara Asing (WNA) asal Cina berinisial YH terlibat penambangan emas ilegal di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. YH disidang pada 28 Agustus 2024 di Pengadilan Negeri Ketapang. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan kerugian akibat penambangan emas tanpa izin di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat, mencapai Rp1,02 triliun. Kerugian tersebut berasal dari hilangnya cadangan emas sebanyak 774,27 kilogram dan cadangan perak sebanyak 937,7 kilogram.
Hal itu terungkap saat sidang kasus penambangan tanpa izin yang dilakukan warga negara asing (YH) Tiongkok di Pengadilan Negeri Ketapang, Kalimantan Barat (29/8). Temuan Inspektur Kepegawaian Negara (PPNS) Direktorat Jenderal Pertambangan dan batu bara mengungkapkan, jumlah bijih emas yang digali sebanyak 2.687,4 meter kubik. Pengujian sampel emas dari lokasi penambangan menunjukkan kandungan emas bermutu tinggi di lokasi tersebut. Sampel batuan memiliki kandungan emas 136 gram/ton, sedangkan sampel batu asah memiliki kandungan emas 337 gram/ton (finance.detik.com, 26/9/2024).
Penjahat menggunakan ranjau atau terowongan di dalam wilayah penambangan berizin yang seharusnya dipelihara untuk melakukan kejahatan mereka, namun menambang secara ilegal. Setelah dimurnikan, emas yang dihasilkan dikeluarkan dari terowongan dan dijual sebagai bijih (ore) atau bullion emas. Meskipun dalam pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara. Namun, pelaku hanya terancam hukuman lima tahun penjara dan denda hingga Rp100 miliar. Hal ini tentu saja tak sebanding dengan kejahatan yang sudah merugikan negara ratusan miliar rupiah.
Kejadian ini tentu saja menjadi pelajaran berharga untuk pemerintah selaku penjaga dan penanggungjawab negara beserta semua kekayaan umum yang dimilikinya. Namun sayang, karena dasar penjagaan dan perlindungan hanya sekadar formalitas belaka. Akhirnya tambang, dan kekayaan alam negeri ini sudah biasa dicolong oleh asing dan aseng, baik secara individu maupun korporasi. Sedangkan secara kekuatan hukum sanksi yang diterapkan. Indonesia begitu lemah dalam menindak para pelaku.
Hal ini wajar karena hukum yang ada dibuat oleh sesama manusia. Sejatinya, manusia tidak paham solusi apa yang layak dan mampu mengatasi masalah tersebut. Beginilah jika negeri kita masih betah dengan penerapan hukum sekuler, memisahkan agama dari kehidupan dan bernegara, termasuk dalam penjagaan kekayaan sumber daya alamnya.
Padahal, jika menengok pada Islam, Allah Swt. telah menetapkan hukuman (uqubat) bagi semua manusia baik muslim maupun non muslim. Pelaku kejahatan wajib dikenai sanksi yang sama jika melakukan pelanggaran. Dalam Islam, uqubat tersebut sebagai pencegahan (zawajir) dan kuratif (jawabir), dengan diterapkannya sanksi, pelaku kejahatan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Islam juga memberikan aturan dan rumusan standar yang jelas dan gamblang dalam pengelolaan sumber daya alam. Pertama, pengelolaan sumber daya alam berdasarkan prinsip kemaslahatan rakyat. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan, AMDAL harus diperhatikan agar tidak merusak lingkungan sekitar wilayah pertambangan.
Kedua, sumber daya alam seperti bahan galian, minyak bumi, lautan, hutan, air, sungai, dan jalan umum banyak jumlahnya dan dibutuhkan oleh masyarakat serta merupakan milik umum.
Ketiga, pengelolaan barang milik umum dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) pemanfaatan langsung oleh masyarakat, seperti air, jalan umum, lautan, sungai, dan benda-benda lain yang dapat langsung dimanfaatkan oleh perorangan. Dalam hal ini, negara melakukan pengawasan agar barang milik umum tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat; (2) Pengelolaan langsung oleh negara. Hal ini dilakukan terhadap sumber daya alam yang memerlukan keahlian, teknologi dan biaya yang besar, seperti hasil pertambangan, dan lain-lain. Negara dapat menggali dan mengelolanya agar hasil pertambangannya dapat didistribusikan kepada masyarakat. Negara tidak boleh menjual hasil pertambangan untuk konsumsi rumah tangga kepada masyarakat demi keuntungan. Harga yang dijual kepada masyarakat dibatasi oleh harga produksi.
Keempat, negara tidak boleh menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam yang merupakan milik umum kepada perseorangan, perseorangan, atau asing.
Kelima, pertambangan merupakan salah satu pekerjaan perhotelan di Baitul mal. Posisi harta publik ini dialokasikan khusus pada penerimaan negara seperti fai, kharaj, jizyah dan zakat. Pembagian hasil pertambangan hanya untuk kepentingan rakyat saja, termasuk pembiayaan sarana dan prasarana umum.
Inilah pengelolaan sumber daya alam dalam sistem Islam. Hasil pengelolaan pertambangan menurut hukum Islam akan dapat dinikmati masyarakat dengan mudah dan murah. Pada saat yang sama, hasil-hasil pengelolaan tambang yang dikelola kapitalis justru lebih dinikmati oleh kapitalis atau perusahaan. Wallahu a’lam.