
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi.
Linimasanews.id—Depresi menjadi kasus paling marak di Indonesia. Depresi merupakan salah satu gangguan kejiwaan yang masuk dalam kategori gangguan mood. Berdasarkan laporan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), prevalensi depresi Indonesia sebesar 1,4% pada 2023. Sedangkan berdasarkan kelompok usianya, prevalensi depresi paling banyak dirasakan oleh usia 15-24 tahun atau generasi Z, yakni sebesar 2% (cnbcindonesia.com, 3/8/2024).
Kemudian, berdasarkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebanyak 57 persen ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues atau depresi pasca melahirkan dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kasus baby blues tertinggi di Asia (Antara, 13/6/2024). Lalu data mengenai kasus penyakit mental lain selain daripada depresi yang makin banyak diidap oleh masyarakat juga kian mengkhawatirkan. Bahkan di Indonesia sendiri, menurut data yang dirilis oleh The Conversation bersama University of Queesland dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Amerika Serikat (AS) akhir tahun lalu merilis, 1 dari 20 remaja di Indonesia terdiagnosis memiliki gangguan mental.
Juga data lain menyebutkan bahwa sebanyak 2,45 juta remaja mengalami gangguan mental. Kasus yang paling banyak yaitu berupa kecemasan (anxiety disorder), disusul depresi, gangguan perilaku, stres pascatrauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) (unesa.ac.id, 7/4/2024).
Di sisi lain, kita hidup di dunia yang serba canggih. Teknologi kian berkembang. Komunikasi dan segalanya mudah diakses. Orang per orang dengan mudah mencapai koneksi tanpa batas. Apalagi ditambah dengan teknologi terkini, yakni adanya kecerdasan buatan atau AI yang mana semua itu demi mempermudah hajat hidup manusia.
Melihat kedua fakta di atas, adanya ketimpangan yang begitu terjal antara makin banyaknya masyarakat yang mengidap depresi dan gangguan kejiwaan seiring dengan makin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, maka akan timbul sebuah pertanyaan. Mengapa ketika teknologi makin canggih, namun angka depresi dan gangguan kejiwaan kian meninggi? Ada apa sesungguhnya? Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Bukankah kecanggihan teknologi hari ini untuk mempermudah segala urusan masyarakat?
Jika kita uraikan terlebih dahulu, apa itu gangguan kejiwaan, maka kita akan paham apa yang sebenarnya terjadi dengan umat manusia di masa kini. Menurut definisi para ahli, gangguan kejiwaan merupakan suatu sindrom atau sekelompok gejala yang mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang sehingga menyebabkan disfungsi dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari (Halodoc.com).
Gangguan kejiwaan sendiri terdiri dari beberapa macam (ekahospital.com), yaitu:
1. Gangguan kecemasan, seperti memiliki kekhawatiran atau rasa takut berlebihan hingga menyebabkan serangan panik berupa tremor, gagap, keringat dingin, dan lain sebagainya.
2. Gangguan mood yang meliputi perasaan atau suasana hati seseorang dalam rentang waktu yang sangat panjang. Adapun yang umum dialami oleh masyarakat adalah gangguan mood berupa depresi, bipolar, dan lain sebagainya.
3. Gangguan psikotik yang melibatkan kesadaran seseorang. Adapun gangguannya meliputi delusi dan halusinasi yang sering muncul berupa suara-suara atau melihat sesuatu yang orang lain tidak melihat atau mendengar objek tersebut.
4. Skizofrenia, yakni hampir mirip dengan gangguan psikotik, namun dalam tingkatan lebih tinggi, penderita tidak mampu lagi membedakan mana keadaan nyata dan mana keadaan mimpi atau halusinasi.
5. Gangguan makan, yakni gangguan yang membuat penderita mengalami kekacauan dalam pola makan serta sangat berkaitan dengan keadaan jiwa yang mengganggu pola makan, bentuk tubuh dan berat badan.
6. Gangguan kecanduan yang meliputi rasa candu akan rokok, obat-obatan terlarang, game, maupun judi hingga menyebabkan seseorang kehilangan akal sehatnya lalu berbuat kerusakan demi untuk memuaskan rasa candu tersebut.
7. Gangguan kepribadian yang mengarah kepada ketidaknormalan pribadi seseorang. Seperti menjadi antisosial.
8. Obsessive-compulsive disorder (OCD) yang mana membuat penderitanya memiliki rasa cemas yang sangat berlebihan hingga memaksa mereka melakukan hal-hal yang berulang akibat rasa cemas tersebut.
9. Gangguan stres pasca trauma (PTSD), yakni suatu gangguan yang menyebabkan seseorang menjadi sangat tertekan, memiliki ketakutan berlebih semacam trauma yang diakibatkan suatu peristiwa tertentu yang terjadi di masa lampau.
10. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), yaitu kondisi seseorang yang kesulitan dalam hal fokus, cenderung sulit diam atau hiperaktif, dan impulsif.
11. Depresi yang dalam hal ini berbeda dengan gangguan mood, dimana penderitanya mengalami kesedihan yang luar biasa dan dalam rentang waktu yang sangat lama dan cenderung berupaya ingin mengakhiri hidupnya.
12. Factitious yang mana penderitanya tidak memiliki gangguan kejiwaan namun bertindak seolah-olah mengalami gangguan jiwa hingga menyakiti dirinya sendiri agar dianggap memiliki gangguan kejiwaan.
Banyak hal yang menjadi faktor penyebab daripada gangguan-gangguan jiwa tersebut di atas, seperti: faktor genetik, pengaruh lingkungan yang buruk (termasuk dalam hal ini pola asuh yang buruk), faktor ekonomi, faktor fisik yang meliputi pengalaman mendapatkan kekerasan fisik, faktor sosial berupa diskriminasi atau stigma, faktor psikologis yang berupa stres akibat ditinggal mati orang yang dicintai, dan faktor lain seperti cedera di kepala atau gangguan obat-obatan (Siloamhospital.com, 24/8/2024).
Sebenarnya jika kita telaah ulang definisi dan ragam daripada gangguan kejiwaan tersebut, serta faktor-faktor yang menjadi penyebab adanya gangguan tersebut, tampak bahwa faktor yang disampaikan oleh para ahli di atas hanyalah faktor permukaan saja, bukan merupakan faktor dasar yang memuat akar persoalannya. Seperti adanya anak yang depresi akibat pola asuh yang salah dari kedua orangtuanya. Perlu untuk ditelaah, ada apa dengan orang tuanya hingga akhirnya menerapkan pola asuh yang salah? Oh, ternyata orang tua terlalu keras dan suka melakukan kekerasan kepada anaknya. Orang tua yang demikian tentu juga harus ditelusuri lagi mengapa sampai melakukan tindakan kekerasan? Oh, ternyata orang tua tersebut juga hasil dari didikan keras dari orang tua sebelumnya.
Artinya apa? Berarti tidak ada peran negara di sini dalam menyiapkan calon-calon orang tua untuk menjadi orang tua yang baik di dalam rumah. Misalnya juga ada anak mengalami gangguan kecanduan. Perlu ditelaah lagi yang kemungkinan besar berasal dari orangtua yang sering mengabaikan anak-anaknya hingga mengalami kecanduan akan suatu hal yang menjadi pusat kebahagiaannya menggantikan peran orangtua yang kerap mengabaikan.
Kemudian perlu ditelaah lagi, mengapa ada orang tua yang mengabaikan? Oh, ternyata mereka sibuk mencari uang untuk menghidupi keluarga, yang artinya lagi di sini bahwa lagi-lagi ada peran negara dalam hal ini untuk bagaimana caranya membantu mencukupi kebutuhan pokok rakyatnya. Karena seperti yang kita pahami, ketika rakyat kesulitan dalam mencukupi kebutuhan pokoknya, tentu akan berdampak ke kebutuhan-kebutuhan yang lain. Termasuk dalam hal ini tidak terpenuhinya kebutuhan kasih sayang seorang anak akibat orangtuanya sibuk bekerja.
Begitu juga dengan gangguan-gangguan kejiwaan yang lain, yang mana ada peran negara di dalamnya dalam mengatur urusan umat. Jika terabaikan salah satu, tentu akan menjadi faktor penyebab bagi rakyat. Faktor utama adanya gangguan-gangguan kejiwaan itu adalah tidak adanya penanaman keimanan dan akidah yang lurus dalam setiap jiwa individu hingga mereka rentan mengalami gangguan kejiwaan.
Faktor utama mengenai penanaman akidah ini seringkali dianggap sebagai urusan pribadi yang mana negara tidak perlu ikut campur dalam urusan ini. Hal ini lantaran negara kita menganut sistem sekularisme yang mana pandangan ini memisahkan antara agama dan kehidupan sehari-hari, serta antara agama dan urusan negara. Padahal, menjaga akidah umat dari kerusakan dan kesesatan berpikir maupun kesesatan beragama adalah tugas utama negara.
Paham sekuler ini melahirkan sistem demokrasi yang kemudian dengannya menjamin kebebasan (liberalisme) setiap individu untuk memeluk agama apapun termasuk jika ia tidak ingin beragama. Ketiadaan negara dalam mengatur urusan akidah umat inilah, akhirnya umat seperti domba tersesat dalam mencari-cari kebenarannya sendiri atau bahkan tidak sedikit masyarakat menganggap agama adalah sesuatu yang tidak penting.
Akibat cara pandang inilah akhirnya rasa takut pada Sang Pencipta tidak terpatri dalam jiwa umat, sehingga muncul berbagai macam jenis gangguan kejiwaan di tengah masyarakat. Kesedihan berlebih hingga depresi, akibat tidak ada rasa iman atau percaya kepada Allah sebagai maha tempat bergantung. Mereka terlalu percaya sama selain Allah hingga akhirnya menimbulkan kekecewaan yang dalam sampai timbul depresi atau kecemasan-kecemasan berlebihan akibat dari ketiadaan tempat bergantung yang kokoh.
Lalu bagaimana cara mengatasi berbagai persoalan terkait gangguan kejiwaan yang kasusnya kian meningkat ini?
Tentu saja dengan membangkitkan kesadaran pasien. Meluruskan akalnya, mengubah pola pikirnya menjadi lebih islami dengan penguatan akidah yang lurus yang mampu menjawab tiga pertanyaan besar dalam hidup, seperti dari mana ia dan kehidupan atau alam semesta ini ada? Untuk apa ia dihidupkan? Dan akan kemana setelah kematian?
Ketiga pertanyaan itu akan dapat membangkitkan umat pada kesadaran untuk merubah dirinya menjadi insan yang sesungguhnya. Bukan seperti hewan yang hanya memikirkan soal makan, tidur, dan melestarikan keturunan saja. Kemudian negara harus memberikan umat pemahaman tentang qodho dan qodar bahwa ada ranah Allah dan ranah manusia di setiap perjalanan hidupnya, di mana ranah Allah menyerahkan semuanya kepada Allah dan berusaha memaksimalkan potensi diri dengan hal-hal yang sesuai dengan syariat dalam ranah yang dikuasai oleh manusia.
Akan tetapi, memberikan pemahaman dan kesadaran itu saja tidaklah cukup. Perlunya peran negara dalam menjaga umat. Negara akan mencukupi kebutuhan pokok umat, agar umat tidak stres atau melakukan tindakan-tindakan negatif tertentu sebagai bagian dari usahanya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Negara juga menjaga rakyat dari hal-hal negatif berupa narkoba, film porno, pinjol, atau judi online dengan cara menutup akses daripada hal-hal tersebut. Sehingga tidak hanya solusi berupa obat dan terapi saja bagi para penderita gangguan kejiwaan yang mana solusi tersebut hanya seperti sistem tambal sulam, tetapi memberikan solusi tuntas untuk menebas kasus gangguan kejiwaan ini sampai pada akar-akarnya.
Namun hal ini tidak akan terwujud jika negara masih menerapkan sistem sekuler-kapitalisme. Pemisahan agama dari urusan negara dan kehidupan sehari-hari, serta sistem ekonomi yang mana negara cenderung hanya sebagai regulator yang menguntungkan para pemilik modal, membuat rakyat makin tercekik meski hidup di jaman modern serba canggih ini.
Rakyat hanya dianggap sebagai objek konsumerisme oleh kapitalisme. Rakyat juga dianggap sebagai pasar untuk mengeruk keuntungan materi sebanyak-banyaknya bagi para pengusaha. Sistem ini memburamkan pandangan rakyat mengenai mana kebutuhan dan mana keinginan, hingga menyebabkan tidak sedikit rakyat membeli sesuatu hanya karena ingin dan mengabaikan sesuatu yang itu merupakan suatu kebutuhannya. Contoh: lebih baik kelaparan atau makan dengan makanan porsi minim daripada tidak beli skincare.
Jika demikian, bagaimana angka gangguan jiwa tidak meningkat, sementara kesejahteraan jauh panggang dari api?
Oleh karenanya, hanya sistem Islam kaffah yang bisa memahami hakikat dari penjagaan umat ini dari segala aspek. Negara sebagai ra’in atau pengurus umat yang lebih mengutamakan kesejahteraan mereka. Untuk itu, sudah semestinya umat sadar bahwa satu-satunya solusi untuk mengatasi segala problematika kehidupan ini, termasuk di dalamnya adalah tingginya angka gangguan kejiwaan adalah dengan mengembangkan sistem Islam kaffah dalam kehidupan bernegara di bawah naungan Khilafah.