
Suara Pembaca
Setahun sudah Topan Al-Aqsa terjadi dan hingga awal Oktober yang lalu, korban genosida Palestina sudah mencapai 41.500 orang. Zionis Yahudi masih belum puas untuk terus memerangi Palestina. Bahkan wilayah sekitar pun, seperti Lebanon, juga ikut diserang (7/10). Mereka tidak menghentikan genosida walau dikecam seluruh dunia.
Akan tetapi, kejahatan Zionis Yahudi tak mampu membuat perjuangan warga Gaza ciut. Mereka terus melawan walau hanya dengan persenjataan yang
sederhana. Mereka rela mati untuk membela Al-Aqsa, karena Al-Aqsa merupakan sah tanah milik mereka, baik secara historis maupun yuridis.
Baitul Maqdis merupakan tanah ribath (tanah yang diperebutkan) oleh tiga agama karena Yahudi, Nasrani, dan Islam menyebutnya sebagai tanah suci mereka. Namun, sejarah terakhir menunjukan tanah ini milik kaum muslim. Di mana seorang Pendeta Sophronius memberikan kunci Al Quds kepada Khalifah Umar bin Khattab dan telah terikat dengan perjanjian Umariyah.
Selain itu, bagi umat Islam, kedudukan Al-Aqsa juga sebagai masjid utama kaum muslim. Nabi saw. menyampaikan, “Janganlah kalian menempuh perjalanan jauh kecuali menuju ketiga masjid: masjidku ini (Masjid Nabawi), masjid Al Haram, dan masjid Al Aqsha.” (HR. Bukhari no. 1115 dan Muslim no. 1397)
Namun, hingga hari ini masjid tersebut dikuasai oleh Zionis sehingga umat Islam tidak bisa leluasa beribadah di sana.
Pelarangan ibadah bagi umat Islam di masjid Al-Aqsa merupakan tindak kezaliman yang harus dilawan. Bahkan, tentara Zionis tidak segan-segan masuk masjid dengan sepatu dan senjata untuk menyerang kaum muslim. Jelas ini merupakan penistaan dan tindak intoleran terhadap umat Islam. Kondisi inilah yang menjadi latar belakang perlawanan umat Islam Palestina kepada Zionis Israel dan juga peristiwa 7 Oktober 2023 lalu.
Namun, setelah sekian lama perlawan, kaum muslim belum juga mendapatkan haknya atas Baitul Maqdis. Mengapa demikian? Karena Zionis Yahudi didukung oleh Amerika dan Inggris dengan kekuatan militer. Adapun Palestina, hanya diberikan bantuan berupa kain kafan dan logistik dari negara yang penguasa muslim. Kondisi ini disebabkan penguasa negeri-negeri muslim tersebut berada di bawah kekuasaan AS dan Inggris sebagai negara adidaya.
Betul, ini adalah kondisi yang tidak adil. Padahal umat Islam memiliki potensi untuk melawan Zionis Israel. Jika saja tentara umat Islam bersatu, maka akan memiliki kekuatan yang lebih dari cukup untuk melawan Yahudi Israel. Akan tetapi, saat ini, tidak ada institusi yang dapat menyatukan tentara umat Islam dalam satu komando. Tidak ada institusi yang membebaskan umat Islam dari bayang-bayang kekuatan Negara adidaya AS.
Mengapa umat Islam belum memiliki institusi tersebut? Karena, umat Islam belum satu paham akan akar persoalan dan solusi atas persoalan Palestina. Menurut Prof. Dr. Abd Al Fattah El Awaisi (Profesor dari Palestina) bahwa kita harus belajar untuk memahami konflik di Palestina terlebih dahulu. Belajar untuk bebaskan pikiran dari pemikiran yang menjajah barulah membebaskan Al-Aqsa.
Dari belajar, muncullah upaya pembebasan. Seperti halnya dulu kaum muslim menyiapkan generasi seperti pasukan Salahuddin Al-Ayyubi yang membebaskan Baitul Maqdis. Hal ini dibutuhkan konsistensi dan kesabaran. Tanpa keduanya, keberhasilan tidak akan tercapai. Oleh sebab itu, teruslah belajar agar tidak lupa bahwa Al-Aqsa harus dibebaskan.
Raihun Anhar, S.Pd.
(Mahasiswi Pasca Sarjana UIKA, Bogor)