
Suara Pembaca
Sebanyak 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 152 anggota Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dilantik dan diambil sumpah jabatannya untuk masa bakti 2024-2029. Tunjangan rumah bagi anggota dewan baru mencapai 50 juta perorang setiap bulannya.
Peneliti Forum masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) Lucius Karus menilai, mereka seharusnya bertahan dengan rumah dinas yang disediakan demi menghemat anggaran negara. Sebab, itu bukan kepentingan rakyat, tetapi untuk kenyamanan pribadi semata (bbcnewsindonesia.com, 4/10/2024).
Sungguh miris realitas ini. Rakyat diperas untuk membayar pajak. Apakah demi memfasilitasi kenyamanan para anggota dewan? Sejatinya rakyatlah yang butuh fasilitas-fasilitas yang layak dari negara demi kenyamanan dan kesejahteraan.
Nyatanya, wakil rakyat dalam menyampaikan aspirasi rakyat dan membuat aturan atau undang-undang rawan konflik kepentingan, termasuk saat kini semua menjadi koalisi, tidak ada oposisi. Hal itu karena secara mekanisme, politik di sistem kapitalisme transaksional. Tampak pemilik modal berkuasa. Alhasil, wakil rakyat dipilih bukan karena kemampuan, tetapi kekayaan, ketenaran, maupun keluarga (politik dinasti).
Hal ini sangatlah berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, anggota Majelis Umat tugasnya menyampaikan aspirasi rakyat, tanpa memiliki wewenang membuat aturan atau undang-undang. Wakil rakyat dipilih oleh rakyat berdasarkan kemampuan dan representasi umat.
Makna politik dalam Islam adalah riayatusy syu’unil ummah (mengurusi urusan umat), bukan hanya pemilik modal atau kerabat, tetapi seluruh umat manusia, baik muslim ataupun nonmuslim. Maka, ketika mereka menjalankan amanat sebagai pemimpin, hakikatnya sebagai pelayan umat. Target utamanya, kesejahteraan dan kenyamanan umat, bukan kenyamanan mereka semata sebagai pejabat.
Ummu Zaki