
Oleh: Najwa Ummu Irsyad
Ipteng—Pendidikan adalah landasan masa depan setiap masyarakat. Namun, di balik keberhasilan sistem pendidikan, terdapat tokoh kunci yang sering kali kurang terdengar suaranya, yaitu para guru. Dalam penentuan berbagai kebijakan pendidikan dan perubahan kurikulum, suara guru sering kali tidak diperhatikan. Padahal, mereka berada di garis depan interaksi dengan siswa setiap hari.
Guru memiliki pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan siswa. Mereka menyaksikan secara langsung bagaimana kebijakan pendidikan diterapkan di ruang kelas dan memahami tantangan serta keberhasilan yang terjadi di lapangan. Ketika kebijakan dibuat tanpa masukan dari guru, sering kali terjadi ketidakselarasan antara teori dan praktik. Sebagai hasilnya, banyak inovasi pendidikan gagal mencapai dampak maksimal karena tidak memperhitungkan kenyataan yang dihadapi para guru.
Dalam konteks ini, mengangkat suara guru menjadi sangat krusial untuk memetakan solusi yang efektif. Guru memiliki wawasan yang tajam tentang metode pembelajaran yang paling efektif, bagaimana membangun suasana kelas yang kondusif, serta cara memotivasi siswa dari berbagai latar belakang.
Menghargai pandangan guru juga berarti memberikan mereka dukungan yang mereka butuhkan untuk berhasil. Ini mencakup pelatihan berkelanjutan, kompensasi yang layak, serta lingkungan kerja yang mendukung kesejahteraan mereka. Guru yang merasa dihargai dan didengar akan lebih termotivasi dan berdedikasi, yang pada gilirannya akan berdampak positif pada hasil pembelajaran siswa.
Dalam menghadapi tantangan global, seperti ketimpangan pendidikan, digitalisasi, dan perubahan sosial, guru adalah agen perubahan yang paling efektif. Kebijakan baru yang menghargai suara mereka tidak hanya akan memperkuat sistem pendidikan, tetapi juga menciptakan generasi yang lebih siap menghadapi masa depan. Hanya dengan mendengarkan dan memberdayakan guru, kita dapat membangun masa depan pendidikan yang lebih baik.
Sedemikian penting peran guru, namun fakta di Indonesia justru menunjukkan hal sebaliknya. Guru dihadapkan pada berbagai persoalan, baik gaji yang belum menyejahterakan, kurikulum yang membingungkan dan menjauhkan anak dari perilaku utama, juga tekanan hidup yang tinggi. Guru juga tak dihargai sepatutnya, hanya dianggap sebagai faktor produksi, pendidik siswa.
Fenomena kekerasan fisik maupun seksual yang dilakukan oleh guru terhadap siswa tentu sangat mengkhawatirkan, terutama ketika tindakan tersebut menyebabkan siswa terluka, trauma, atau bahkan kehilangan nyawa. Kejadian-kejadian semacam ini memicu pertanyaan mendalam tentang bagaimana jati diri seorang guru dapat sedemikian tergelincir dari peran idealnya sebagai pendidik dan pelindung moral anak didik.
Salah satu perspektif yang perlu dipertimbangkan adalah pengaruh tata kehidupan sekularisme terhadap nilai-nilai moral dan etika guru. Sekularisme, secara sederhana adalah pemisahan agama dari kehidupan, khususnya dalam institusi negara dan pendidikan. Dalam masyarakat yang cenderung sekuler, nilai-nilai moral yang bersumber dari agama kerap dipisahkan dari tata kelola pendidikan, sehingga ruang kelas dan kehidupan profesional para guru bisa kehilangan landasan etika yang kuat.
Meski sekularisme tidak selalu secara langsung berkontribusi terhadap tindakan kekerasan, perubahan nilai dan etika dalam masyarakat yang sekuler sering kali membuat manusia terjebak dalam relativisme moral, prinsip-prinsip moral menjadi kabur dan fleksibel, tergantung konteks sosial dan individu.
Jati diri guru dalam sistem pendidikan yang sekuler bisa terpengaruh oleh degradasi nilai-nilai yang pada dasarnya seharusnya mengatur hubungan antara guru dan siswa. Jika seorang guru kehilangan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai luhur, seperti empati, kasih sayang, dan tanggung jawab moral yang harusnya menjadi landasan interaksi mereka dengan siswa, maka ruang untuk perilaku kekerasan pun terbuka. Sekularisme yang tidak diimbangi dengan fondasi etika yang kuat dapat mendorong individu, termasuk guru, untuk lebih mengedepankan profesionalisme teknis tanpa memperhatikan aspek moralitas dalam tindakan mereka.
Penting untuk diingat bahwa peran guru tidak hanya sekadar menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga sebagai penjaga moral dan etika dalam proses pembentukan karakter siswa. Dalam konteks sekuler, landasan moral berbasis agama disingkirkan, sehingga tidak ditemukan pijakan etika yang universal, yang seharusnya bisa mencegah terjadinya kekerasan terhadap siswa.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan multidimensi. Pertama, penting untuk memastikan bahwa pendidikan guru tidak hanya berfokus pada aspek profesionalisme teknis, tetapi juga pada pembinaan etika dan moral yang kuat.
Kedua, tata kelola sekolah dan kebijakan pendidikan harus memberikan perhatian khusus terhadap kesejahteraan mental dan emosional para guru, sehingga mereka tidak melampiaskan tekanan pribadi kepada siswa. Ketiga, pengawasan dan sistem perlindungan yang lebih ketat perlu diterapkan untuk mencegah dan menindak segala bentuk kekerasan di sekolah.
Sekularisme sebagai tata kehidupan modern memang mengubah banyak aspek dalam masyarakat, serta mencabut nilai-nilai moral dari pendidikan. Guru sebagai aktor kunci dalam dunia pendidikan, harus tetap memiliki kompas moral yang kuat, terutama dari nilai-nilai agama.
Dalam Islam, sistem pendidikan dirancang untuk menghasilkan guru-guru yang tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas, tetapi juga kepribadian dan karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, yang dikenal dengan syaksiyah Islamiyah. Syaksiyah Islamiyah ini mencakup integritas moral, ketakwaan, dan akhlak mulia. Inilah yang menjadi dasar bagi guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik.
Sistem pendidikan Islam menekankan pentingnya pembentukan kepribadian Islami pada setiap individu. Guru memegang peran utama dalam proses ini. Dalam hal ini, Islam sangat menghormati dan memuliakan guru, dengan menganggap mereka sebagai pilar utama dalam penyebaran ilmu dan pembentukan karakter generasi mendatang.
Penghargaan Islam terhadap guru terlihat dalam berbagai aspek, salah satunya adalah anjuran untuk memberikan gaji yang layak dan tinggi kepada mereka. Ini mencerminkan penghargaan Islam terhadap peran krusial guru dalam masyarakat. Islam tidak hanya melihat profesi guru sebagai pekerjaan biasa, tetapi sebagai misi besar yang berdampak pada pembentukan masyarakat yang beradab dan bermoral.
Selain itu, Islam menetapkan kriteria yang sangat tinggi bagi calon guru. Ini bukan tanpa alasan karena tugas seorang guru dalam Islam sangatlah berat. Guru bertanggung jawab untuk membentuk syaksiyah Islamiyah atau kepribadian islami pada diri siswa. Ini berarti bahwa guru bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk akhlak, moral, dan pandangan hidup yang sesuai dengan ajaran Islam. Karena itu, calon guru harus memiliki pengetahuan agama yang mendalam, akhlak yang baik, serta ketakwaan kepada Allah.
Dalam pandangan Islam, para guru adalah hamba yang takut pada Allah. Ini berarti bahwa mereka menyadari betul bahwa tugas mereka bukan hanya mendidik secara intelektual, tetapi juga bertanggung jawab di hadapan Allah untuk membimbing siswa mereka ke jalan yang benar. Ketakutan dan ketaatan kepada Allah menjadi pendorong utama bagi guru untuk menjalankan tugasnya dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab. Dengan kata lain, guru dalam Islam diharapkan menjadi teladan dalam ketaatan kepada Allah, yang kemudian diikuti oleh murid-murid mereka.
Secara keseluruhan, sistem pendidikan Islam dirancang untuk membentuk guru yang berkualitas tinggi baik dari segi akademik maupun moral, yang memiliki kemampuan untuk mendidik siswa secara komprehensif tidak hanya dalam aspek intelektual, tetapi juga spiritual dan moral. Dengan memberikan penghargaan tinggi kepada guru dan menetapkan kriteria yang ketat, Islam memastikan bahwa pendidikan berfungsi untuk membentuk generasi yang berakhlak mulia dan bertakwa.