
Oleh: Lisa Herlina (Kontributor LinimasaNews)
Linimasanews.id—Produk pangan dengan nama “tuyul”, “tuak”, “beer” dan “wine” mendapat sertifikat halal dari BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) melalui jalur self declare tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak dibenarkan sesuai standar fatwa MUI. Karena itu MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk-produk tersebut (jpnndotcom.1-10-2024).
Direktur LPPOM MUI menjelaskan bahwa yang menjadi masalah bukan pada kehalalan produk melainkan lebih kepada persoalan penamaan. Soal penamaan ini telah ada aturannya dalam SNI 99004:2021 tentang Persyaratan Umum Pangan Halal. Perlu diketahui meskipun terdapat perbedaan pendapat di antara ulama terkait penamaan produk dalam proses sertifikasi halal, namun menjadi perhatian bagi BPJPH Kemenag merujuk kepada Fatwa MUI No. 44 Tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk dan kemasan produk yang tidak dapat sertifikasi halal.
Fatwa tersebut menyatakan produk yang menggunakan nama benda/hewan hukumnya haram, kecuali yang telah mentradisi (‘urf) yang dipastikan tidak mengandung bahan yang diharamkan. Sebagai contoh, nama-nama produk berikut tidak dapat diproses sertifikasi halalnya: rootbeer, es krim rasa rhum raisin, bir 0% alkohol, rasa babi panggang, beef bacon, hamburger, hotdog, rawon setan, es pocong, mi ayam kuntilanak, coklat Valentine, biskuit Natal, mie Gong Xi Fa Cai dan sebagainya, meskipun makanan tersebut menggunakan komposisi yang halal.
Namun, ketentuan tersebut mengecualikan untuk produk yang telah mentradisi (‘urf), dikenal secara luas, dan dipastikan tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan seperti nama bir pletok (minuman yang berasal dari rempah-rempah), bakso (campuran tepung dan daging ayam, ikan, sapi), bakmi (umumnya dari tepung-tepungan) bakwan ( bahan tepung dan sayuran) bakpia dan bakpao (halalmui.org, 15-10-2019).
Pro Kontra Lembaga Pemeriksa
Dalam menerbitkan dan mencabut sertifikat dan label halal pada produk, pemerintah harusnya bekerja sama yaitu tetap mengacu pada Fatwa MUI dalam membuat standarisasi kehalalan. Ini Sebagaimana tertuang dalam pasal 7 UU 33/2014 tentang JPH bahwa “dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (termasuk huruf c yakni menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label pada Produk), BPJPH bekerja sama dengan kementrian dan/atau lembaga terkait, LPH, dan MUI.
Dengan demikian, meski persoalan munculnya kata beer, tuak, wine, dan tuyul di daftar produk halal BPJPH hanya persoalan teknis terkait penamaan yang belum diterapkan secara sempurna, terutama produk yang mendapatkan sertifikat halal melalui mekanisme self declare, tetapi persoalan ini tidak bisa dianggap lumrah. Sebab, akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem jaminan produk halal, juga akan menimbulkan keraguan umat terhadap keharaman. Dengan kata lain, halal dan haram harus jelas.
Diketahui, sebelumnya juga pernah terjadi kasus wine halal yang dikeluarkan oleh BPJPH yang berujung pada pencabutan sertifikasi halal, pemecatan pendamping halal, dan pelaporan kepada aparat penegak hukum.
Mekanisme self declare yang baru disahkan, yaitu pengajuan sertifikasi halal yang didasarkan pernyataan pemilik usaha atas kehalalan produknya ini rentan tersusupi kesalahan, baik dari pihak pemilik usaha yang tidak paham terhadap syarat kehalalan produk, maupun pendamping yang belum memiliki pengalaman atau belum memahami aturan. Tak hanya itu, pengusaha sering kali mengupayakan sertifikasi bagi produknya hanya untuk mendongkrak pembelian oleh masyarakat yang notabene mayoritas muslim.
Kondisi ini memungkinkan pengusaha melakukan semacam manipulasi ataupun kecurangan terhadap kehalalan produk, seperti melakukan sertifikasi hanya untuk satu periode dan selanjutnya tidak memperpanjang, yang penting masyarakat sudah menganggapnya halal. Ada juga yang mengganti bahan baku setelah sertifikasi selesai dan sebagainya.
Padahal, persoalan sertifikasi produk halal ini merupakan hal yang urgen bagi umat karena terkait dengan jaminan aman dalam mengonsumsi produk, baik secara agama (halal dan thoyyib) maupun secara kesehatan. Dalam Islam, hal ini merupakan tanggung jawab negara sebagai bagian dari perlindungan negara terhadap agama. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.“ (HR Muslim dan Ahmad).
Islam Aturan Yang Paripurna
Islam adalah seperangkat aturan yang paripurna. Dalam Islam, tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan menimbulkan bahaya bagi orang lain. Jadi secara prinsip, apa pun yang dikonsumsi ataupun yang beredar tidak boleh membahayakan masyarakat.
Dalam Islam ada pengaturan dalam fungsi pengawasan. Jadi, ada yang disebut dengan kadi muhtasib, salah satu jenis hakim yang bertugas mengawasi ketertiban di tengah masyarakat, termasuk mengawasi keamanan pangan, seperti di restoran, pasar, dan industri. Ketika instrumen ini menemukan kejanggalan, harus ditindaklanjuti.
Sebagai dalil, saat Rasulullah saw. berjalan-jalan ke pasar, beliau mengamati seorang pedagang yang menjual kacang-kacangan. Rasulullah saw. memasukkan tangannya ke dalam tempat kacang tersebut, ternyata bagian atasnya kering, tapi di bagian bawahnya basah. Rasulullah mempermasalahkan pencampuran tersebut karena artinya ada proses kecurangan yang dilakukan oleh pedagang sehingga bisa menipu konsumen.
Demikian pula dalam hal ketika produsen memasukkan barang yang membahayakan. Hal ini juga haram, karena termasuk bentuk kecurangan. Islam sudah memperhatikan sedemikian rupa agar suatu industri memenuhi kriteria keamanan yang baik. Negara akan mengadopsi teknologi modern, melakukan surveilans (kunjungan pengawasan), juga menetapkan standar terbaru untuk kehalalan produk dan keamanan pangan berupa penerapan aplikasi industri ataupun distribusi pangan di tengah masyarakat yang menggunakan standar paling baik dan terkini yang memang sudah terbukti bisa digunakan untuk memastikan kehalalan dan menjaga kesehatan masyarakat dan kesehatan individu.
Islam memandang urusan kehalalan dan keamanan pangan ini bukan sekadar urusan produsen dengan konsumen, tetapi karena perintah Allah Swt. Karena itu, sempurnalah sistem Islam. Produsennya bertakwa, pedagangnya bertakwa, konsumennya bertakwa, pemerintah pun harus bertakwa kepada Allah Swt.
Namun, hari ini ketakwaan itulah yang hilang sehingga membuat masyarakat selalu waswas. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap produsen selalu waswas walaupun ada label halal. Label halal yang masih diperdebatkan di sana sini menjadi bukti bahwa sistem hari ini tidak menjadikan halal haram (hukum syarak) sebagai tolok ukur. Sebaliknya, lebih memperhatikan penilaian manusia yang berujung kepada pemuasan materi.
Kehalalan produk seharusnya menjadi standar dan menjadi perhatian khusus bagi pemerintah agar masyarakat terhindar dari zat-zat yang haram apalagi yang dharar (bahaya). Sebab, makanan dan minuman halal menjadi sumber energi bagi insan yang berharap hidup bahagia dunia akhirat. Setiap yang masuk ke dalam tubuh menjadi darah dan daging. Jika zat yang haram, bisa menyebabkan amal tidak diterima Allah Swt.