
Oleh: Ratna Kurniawati, SAB
Linimasanews.id—Sungguh miris, Indonesia yang notabene sebagai negara mayoritas muslim, sering memberikan label intoleransi kepada umat Islam. Baru-baru ini ada yang mengkritisi keputusan DPRD Kota Parepare, Sulawesi Selatan yang menolak pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel karena dinilai menciderai semangat toleransi yang ada dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika (Arahkita.com, 26/9/2024).
Mereka menganggap penolakan tersebut merupakan perbuatan intoleran terhadap agama lain yang berbeda keyakinan. Padahal, sejatinya masyarakat Parepare ingin melindungi diri dari ancaman terhadap akidah dan keyakinan mereka.
Jika ditelaah,istilah intoleran kerap digaungkan dan disematkan kepada umat Islam. Sementara itu, ketika ada pelarangan pemakaian kerudung kepada muslimah, misalnya pada kasus di Bali, atau penolakan pembangunan sekolah Islam di Papua, tidak disebut sebagai intoleran. Realitas ini menggambarkan, negeri mayoritas beragama Islam, tetapi kaum muslimin diperlakukan bagai minoritas dan anti terhadap syariat Islam.
Di sisi lain, di saat yang sama ketika kedatangan Paus Fransiskus, umat Islam diminta toleransi dengan mengganti suara azan dengan running text. Contoh kasus lainnya, polemik paskibraka yang diminta melepas hijab seolah lepas tanggung jawab karena dianggap sebagai acara seremonial semata. Belum lagi larangan dokter berhijab di rumah sakit tempat bekerja. Pemerintah dalam sistem kapitalis ini menganggap agama urusan individu, bukan tanggung jawab negara.
Tampak bahwa istilah intoleransi ini sengaja disasarkan kepada umat Islam agar mereka tidak memegang teguh ajaran Islam secara kuat. Di samping itu, merupakan upaya mendiskreditkan Islam. Padahal, Islam sendiri memiliki konsep toleransi, yakni menghormati agama lain. Dalam Islam tidak ada paksaan dalam beragama. Non-muslim dibiarkan beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing, tanpa mencampuradukkan dan menganggap semua agama sama.
Sejarah telah membuktikan bahwa Rasullullah saw telah mencontohkan penerapan toleransi yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah dalam naungan daulah Islam di Madinah yang menghasilkan peradaban Islam yang sangat indah. Dalam naungan Islam, nonmuslim hidup berdampingan dan sejahtera. Secara alami, berbondong-bondong non-muslim masuk Islam dan minta perlindungan kepada kekuasaan Islam. Islam mempersatukan berbagai suku dan bangsa dengan karakteristik, kebiasaan, adat istiadat hingga menjadi masyarakat yang islami yang dibangun berdasarkan akidah Islam.
Sedangkan, negara dalam sistem sekuler sebagaimana saat ini, bukan menjadi pelindung. Alih-alih melindungi akidah umat Islam, malah membuka keran liberalisasi dan abai terhadap terjadinya pemurtadan yang masif. Sungguh miris. Syiar-syiar terhadap Islam diberangus, persekusi acara pengajian terjadi dengan dalih materi mengajarkan intoleransi dan dianggap radikal. Padahal, umat Islam hanya inginkan melaksanakan syariat Islam secara kafah.
Oleh karena itu, tuduhan intoleran yang masih disematkan kepada kaum muslim, membuktikan bahwa mereka adalah kelompok intoleran yang takut akan kebangkitan Islam dengan penerapan syariat Islam secara kafah.