
Oleh: Nurfahmi Hidayah Lukman
Linimasanews.id—Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut hingga September 2024. Badan Pusat Statistik mencatat angkanya mencapai 0,12% secara bulanan, lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang mencapai 0,03% (KataData.co.id, 1/10/2024). Meskipun sekilas terlihat sebagai tanda harga barang menurun. Deflasi yang berkepanjangan justru menjadi sinyal peringatan serius tentang kondisi ekonomi negara dan kesejahteraan rakyat.
Pasalnya, deflasi yang terjadi tidak disebabkan oleh peningkatan produktivitas atau efisiensi, melainkan oleh penurunan daya beli masyarakat. Ekonom menyebut bahwa permintaan konsumen yang lesu, menurunnya pertumbuhan pendapatan masyarakat, kredit macet kendaraan yang meningkat, serta gelombang PHK yang terus terjadi menjadi faktor utama. Ketidakmampuan masyarakat untuk membeli barang dan jasa, terutama makanan dan minuman yang menjadi penyumbang deflasi terbesar, semakin memperburuk situasi ini. BBC Indonesia (4/10/2024) juga mengungkapkan bahwa masyarakat makin kesulitan memenuhi kebutuhan pokok meski harga turun.
Penurunan harga yang terjadi justru menunjukkan rendahnya permintaan pasar akibat lemahnya daya beli. Meskipun inflasi yang terkendali biasanya dipandang sebagai hal positif, deflasi mengisyaratkan ketidakmampuan masyarakat untuk berbelanja dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini memperlihatkan bagaimana harga yang rendah pun tidak mampu mendorong konsumsi. Pada saat yang sama, kebijakan pemerintah terbatas dalam melakukan intervensi akibat fiskal yang melemah, memperbesar ancaman terhadap kesejahteraan rakyat (RRI.co.id, 9/10/2024).
Deflasi yang berlangsung selama lima bulan berturut-turut merupakan indikasi bahwa pemerintah tidak mampu mengatasi penurunan daya beli masyarakat. Hal ini berdampak pada penurunan harga barang dan jasa yang jika dibiarkan terus menerus, akan mempengaruhi sektor produksi. Dalam jangka panjang, penurunan produksi ini pada akhirnya berpotensi mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
Selama ini, kinerja perekonomian Indonesia sebagian besar ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Deflasi menandakan adanya penurunan signifikan dalam daya beli rumah tangga, yang disebabkan oleh pendapatan yang tidak mencukupi kebutuhan belanja barang dan jasa. Akibatnya, banyak rumah tangga menahan daya belinya.
Jika daya beli sektor rumah tangga terus menurun, kesejahteraan keluarga, terutama ibu dan anak, akan terpengaruh secara langsung. Sebagian besar anggaran rumah tangga saat ini dialokasikan untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Deflasi pada harga bahan pangan strategis seperti cabai, telur, daging ayam, dan tomat menunjukkan bahwa bahkan untuk kebutuhan pokok, konsumsi rumah tangga sudah menurun. Jika kebutuhan dasar seperti sembako saja sulit terpenuhi, maka alokasi untuk biaya pendidikan dan kesehatan yang lebih mahal kemungkinan besar akan dikorbankan.
Akibatnya, bukan tidak mungkin generasi mendatang akan mengalami penurunan kualitas kesehatan dan pendidikan mengingat lemahnya kemampuan daya beli rumah tangga dan tingginya biaya layanan pendidikan serta kesehatan. Hal ini akan menciptakan masalah sosial dalam jangka panjang, dimana masyarakat tidak hanya akan mengalami kemunduran ekonomi. Lebih dari itu kita juga kehilangan sumber daya manusia yang berkualitas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Berbeda dengan Islam yang datang untuk memberi jaminan pemenuhan kebutuhan pokok keluarga. Semua akan selalu mampu mengakses baik secara tidak langsung maupun langsung. Layanan pendidikan dan kesehatan dijamin negara untuk setiap individu. Dalam sistem Islam, pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap individu mendapatkan hak-hak dasarnya, termasuk akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang layak. Negara memiliki kewajiban untuk mengelola sumber daya secara adil dan memastikan distribusi kekayaan yang merata, sehingga tidak ada individu atau kelompok yang terpinggirkan.
Dengan penetapan sistem Islam secara kaffah maka memungkinkan terwujudnya kesejahteraan rakyat individu per individu. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, kesejahteraan akan dicapai dengan cara yang berkeadilan. Setiap individu akan dijamin mendapatkan kebutuhan dasar tanpa terkecuali. Dalam sistem ini, sumber daya akan dikelola secara optimal untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan segelintir pihak.
Sistem ekonomi Islam menetapkan sumber-sumber pemasukan negara sehingga negara akan mampu memenuhi kebutuhan pokok rakyat tanpa menggantungkan pada utang dan pajak sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Negara Islam memperoleh pendapatan dari sumber-sumber yang sah seperti zakat, kharaj, dan pengelolaan kekayaan alam yang menjadi milik umum.
Negara tidak bergantung pada pajak yang membebani rakyat atau utang luar negeri yang hanya menambah beban ekonomi. Dengan demikian, negara akan mampu menyediakan layanan publik yang dibutuhkan rakyat, seperti pendidikan dan kesehatan, serta menjamin stabilitas ekonomi yang berkeadilan tanpa mengorbankan kemandirian ekonomi negara. Wallahu a’lam bishowab.