
Oleh: Ria Nurvika Ginting, S.H.,M.H.
(Dosen FH-UMA)
Linimasanews.id—Akhir September 2024 lalu, PBB mengeluarkan resolusi di mana mengultimatum Israel untuk keluar dari wilayah Palestina dalam waktu 12 bulan (setahun). Ultimatum ini mendapatkan suara mayoritas dalam penyeruan penghentian pendudukan Israel terhadap Palestina. Sebanyak 124 negara menyetujui resolusi (ultimatum) tersebut dan 14 negara menolak serta 43 negara abstain. Ultimatum ini menuntut Israel untuk mengakhiri keberadaannya yang melanggar hukum di wilayah Palestina dan meminta Israel memberikan ganti rugi atas kerusakan yang diakibatkan oleh pendudukan tersebut (tempo.co, 22/9/2024).
Mahkamah Internasional PBB (ICJ) menyatakan kehadiran Israel di wilayah Palestina melanggar hukum Internasional dan harus diakhiri. Namun, jika kita telusuri fakta sejarah menunjukkan bahwa awal keberadaan Israel di Palestina juga dengan adanya resolusi yang dikeluarkan PBB Nomor 181 tahun 1947 yang mana PBB membagi wilayah Palestina menjadi dua negara, satu untuk orang Arab Palestina dan satu untuk bangsa Yahudi. Pembagian ini mendapatkan penolakan dari Arab Palestina yang akhirnya memicu perang antara keduanya untuk pertama kali pada tahun 1948 yang dimenangkan Zionis Yahudi hingga mengakibatkan pembentukan negara Israel dan pengungsian rakyat Palestina.
Hal ini pun berlangsung hingga saat ini di mana kebrutalan Israel makin menjadi-jadi. Tangisan, jeritan, serta air mata seakan tiada henti kita saksikan bagaikan kisah pilu drama yang memiliki episode panjang yang tidak tahu kapan akan berakhir. Setahun lebih sudah episode tersebut berlangsung di tanah yang sekan-akan berubah warna dari hitam menjadi merah dengan banyaknya tumpahan darah dari korban kebrutalan pasukan Israel. Hujan rudal dan bom yang dimuntahkan oleh senjata-senjata Israel ke tempat-tempat pengungsian bahkan fasilitas sekolah dan rumah sakit pun terus berlanjut.
Dini hari, di mana setiap orang seharusnya beristirahat akhirnya berhamburan untuk menyelamatkan diri ketika Israel menjatuhkan bom di tenda pengungsian di halaman RS Syuhada Al-Aqsa, Dier el Balah. Serangan itu membakar puluhan tenda serta sejumlah penghuninya. Juru bicara militer Israel membenarkan serangan udara tersebut dan mengklaim tanpa bukti bahwa hal itu dilakukan karena kompleks rumah sakit tersebut digunakan sebagai “pusat komando dan kontrol” oleh kelompok Palestina Hamas untuk melakukan serangan kepada Israel (detik.com, 14 /10/2024).
Selain itu, Badan Pertahanan Sipil Gaza mengatakan Israel kembali menembak gedung sekolah tempat pengungsian warga Gaza pada Minggu malam waktu setempat. Gedung sekolah Al-Mufti dibombardir hingga mengakibatkan 15 orang tewas dan 50 orang terluka. Warga Sipil adalah pihak yang paling terkena dampak serangan Israel yang menurut Kementerian Kesehatan Gaza telah menewaskan sedikitnya 42.227 orang selama setahun terakhir, sebagian besar dari mereka adalah warga sipil. PBB pun mengakui angka tersebut (detik.com, 14/10/2024).
Ultimatum PBB tidak memiliki “taring” di hadapan Israel yang malah semakin hari semakin menunjukkan keangkuhan dan kesombongannya dengan membombardir tanah Palestina (Gaza). Bahkan tanpa bukti, Israel dengan angkuhnya melancarkan serangan yang brutal ke tempat-tempat pengungsian yang berada di gedung-gedung sekolah bahkan rumah sakit yang berdasarkan hukum internasional hal ini jelas pelanggaran tapi kembali lagi hukum Internasional dan resolusi PBB tidak memiliki “gigi“ di hadapan Zionis Israel.
Resolusi PBB Sekadar “Alat”
Resolusi-resolusi yang telah dikeluarkan oleh PBB terhadap penyelesaian konflik Palestina-Israel sudah berulang kali dan terhitung banyak jumlahnya. Apakah konflik Palestina-Israel terselesaikan? Dari konflik Palestina-Israel terlihat jelas bahwa PBB hanyalah alat politik Amerika Serikat. Sejarah membuktikan bahwa keberadaan Israel di Palestina juga atas resolusi yang dikeluarkan oleh PBB hingga muncul konflik dengan adanya resolusi tersebut.
Kemudian mengapa ketika PBB mengeluarkan resolusi-resolusi untuk menyelesaikan konflik antara Palestina-Israel selalu menggunakan hak vetonya untuk menolak resolusi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa setiap resolusi yang dikeluarkan PBB jika menguntungkan Amerika dan Israel maka tidak akan ada penolakan namun jika menurut Amerika merugikan maka akan ditolak dengan adanya hak veto mereka.
PBB pun menjadi alat pencitraan untuk menunjukkan bahwa Amerika Serikat adalah negara superior yang berkuasa dikancah Internasional. Dengan angkuhnya, Amerika Serikat ingin menunjukkan bahwa posisi nya yang menentukan penyelesaian setiap konflik yang terjadi di kancah Internasional. Selain itu, PBB juga sebagai alat pengokoh berdirinya Ideologi kapitalisme yang mulai rubuh. Mengapa demikian? Ideologi Kapitalisme yang diusung oleh Amerika Serikat menunjukkan kebobrokannya dengan memberikan legitimasi pembunuhan dan genosida dengan terus menolak resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh PBB.
Di satu sisi, kapitalisme menunjukkan bahwa harus adanya perlindungan HAM namun disisi lain terjadi pembantaian yang disetujui oleh kapitalis sendiri. Ini menunjukkan dengan jelas adanya standar ganda dari kapitalisme tersebut. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa Israel dengan terang-terangan telah melanggar hukum Internasional yang merupakan produk kapitalis. Namun, Amerika Serikat dengan angkuhnya berdiri membela Zionis.
Dengan adanya perlindungan dari Amerika Serikat, Israel tidak mengindahkan resolusi-resolusi genjatan senjata yang dikeluarkan oleh PBB. Salah satunya resolusi yang dikeluarkan PBB yang menyerukan gencatan senjata kemanusiaan yang permanen dan berkelanjutan di Gaza di bulan oktober 2023 lalu. Baru saja resolusi tersebut disetujui pada hari yang sama, penjajah Israel justru menyambutnya dengan mengintensifkan gempuran ke wilayah Gaza Utara. Desakan 120 negara yang setuju atas resolusi itu tidak ada artinya sama sekali bagi Israel.
Terakhir ultimatum yang dikeluarkan oleh PBB yang meminta Israel dalam waktu setahun untuk meninggalkan Palestina. Apakah Israel akan mengangkat kaki dari Palestina? Ternyata dikeluarkannya ultimatum tersebut makin membuat Israel berani dan dengan brutalnya membombardir tempat-tempat pengungsian yang didalamnya banyak warga sipil. Apakah masih bisa kita berharap pada resolusi-resolusi PBB yang merupakan alat bagi negara kapitalis yang ingin tetap mempertahankan posisinya di kancah Internasional?
Khalifah dan Seruan Jihad
Penderitaan saudara-saudara kita di Palestina semakin hari semakin membuat hati bagai tersayat-sayat. Mereka kehilangan tempat tinggal, keluarga dan harta bendanya. Mereka mengungsi kesana kemari seperti anak ayam yang digiring untuk disembelih. Ironis sekali di saat penguasa-penguasa muslim saat ini malah menikmati kehidupan yang mewah dan gemerlap. Mereka butuh bantuan logistik sudah tentu tapi disaat yang sama mereka dibantai maka solusi untuk Palestina bukan resolusi-resolusi dari PBB, bukan genjatan senjata, bukan tanda-tangan perdamaian atau two state solution.
Sungguh suatu kezaliman, kita membiarkan saudara-saudara kita di Palestina terus merasakan penderitaan, ditindas bahkan dibunuh. Selain itu, saat ini mereka dilanda kelaparan dengan tidak adanya pasokan makanan yang memadai. Rasulullah saja tidak membiarkan seekor hewan mati karena kalaparan apalagi ini kondisinya manusia. Sebagaimana hadis, “Imam (khalifah) itu laksana perisai, orang-oramg berperang dibelakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung mereka.” (HR Muslim)
Syekh Said bin Ali Wahf Al-Qahthani dalam kitabnya Al-Jihad fii Sabilillah mangatakan, “Jika musuh telah memasuki salah satu negeri kaum muslim, maka fardu ‘ain atas penduduk negeri tersebut untuk memerangi musuh dan mengusir mereka. Juga wajib atas kaum muslim untuk menolong negeri itu jika penduduknya tidak mampu mengusir musuh. Hal itu dimulai dari yang terdekat kemudian yang tersekat.” Sehingga yang dibutuhkan oleh Palestina adalah pembebasan yang dilakukan dengan militer karena yang akan dilawan adalah sebuah negara dengan militernya. Namun, saat ini negeri-negeri muslim yang disekat dengan paham national-state terpecah-pecah hingga kekuatan yang luar biasa mereka miliki jika bersatu tidak terlihat sehingga musuh tidak merasa gentar.
Satu-satunya negara yang akan siap mengirimkan tentara untuk membebaskan Palestina adalah Khilafah. Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah dengan tegas akan membebasan tanah milik kaum muslimin. Status Tanah Palestina adalah tanah kharaj sampai kapan pun di bawah naungan Daulah Khilafah sehingga orang-orang Yahudi tidak dapat menduduki apalagi mengusir dan membunuh kaum muslim yang tinggal ditanah tersebut. Khalifahlah yang akan menyerukan sekaligus memimpin pasukan kaum muslim diseluruh dunia untuk membebaskan Palestina dan menyelamatkan kaum musllim di sana.