
Oleh: Khodijah Ummu Hannan
Linimasanews.id—Baru-baru ini, Kemenag menyebutkan, indeks kerukunan umat beragama dan kesalehan sosial secara nasional mengalami peningkatan pada tahun 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, dalam konferensi pers pada 10 Oktober 2024, menurutnya indeks kerukunan umat beragama (IKUB) naik dari 76,02 pada 2023 menjadi 76,47 di tahun 2024. Indikatornya adalah toleransi, kerja sama, dan kesetaraan.
Selain itu, indeks kesalehan sosial yang pada 2021 tercatat sebesar 82,53, meningkat menjadi 83,92 di tahun yang sama. Kemudian naik lagi menjadi 84,55 pada 2022. Meski mengalami sedikit penurunan menjadi 82,59 pada 2023, indeks ini kembali meningkat menjadi 83,83 pada 2024.
Data indeks kesalehan sosial diperoleh melalui survei yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kemenag di beberapa kota dengan populasi beragam, berdasarkan lima dimensi. Yaitu, kepedulian sosial, relasi antar manusia, menjaga etika, pelestarian lingkungan, dan hubungan dengan negara serta pemerintah (nasionalkompas.com, 10/10/2024).
Kepentingan Barat di Balik Makna Kesalehan Sosial
Menelisik indikator yang digunakan dalam indeks kerukunan umat beragama, maupun indeks kesalehan sosial sejalan dengan prinsip moderasi beragama, sejatinya “saleh” adalah sifat yang dimiliki seorang muslim, yang menjalankan segala perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauhinya larangan-Nya. Tentunya, dengan niat yang ikhlas dan tata caranya sesuai dengan yang dicontohkan syariat.
Namun, dalam pengukuran indeks kesalehan sosial, kata “saleh” diberi pemaknaan baru dengan melekatkan kata tambahan “sosial”. Indikatornya, mengarah pada moderasi sebab yang diukur adalah parameter-parameter moderasi. Yaitu, membentuk muslim moderat, seperti yang ditampakkan oleh indeks kerukunan umat beragama (IKUB dan indeks kesalehan sosial (IKS).
Padahal, moderasi mengakibatkan umat Islam makin jauh dari agamanya. Maka, jelaslah moderasi merupakan ide yang berbahaya dan umat harus menolaknya. Sayangnya, moderasi beragama sampai saat ini masih menjadi perhatian pemerintah. Berbagai langkah dilakukan demi mencapai target yang dicanangkan.
Moderasi beragama sangat kental dengan kepentingan penjajah Barat untuk menancapkan hegemoninya di negeri ini. Hal ini terlihat dari makin giatnya program moderasi oleh pemerintah. Termasuk melalui program sosial.
Moderasi agama merupakan salah satu upaya mereka untuk mencegah kebangkitan Islam ideologis. Moderasi beragama dirancang oleh RAND Corporation sebagai bagian dari agenda rekayasa global. Program ini merupakan kelanjutan dari proyek war on terrorism (WoT), yang pada dasarnya adalah perang melawan ideologi Islam dan para pendukungnya. Melalui inisiatif ini, pola pikir umat Islam diarahkan agar tidak lagi memandang Barat dan nilai-nilainya secara negatif.
Akademisi Azyumardi Arza menyatakan, moderasi bertujuan membentuk manusia yang mampu hidup rukun dalam kemajemukan dengan mengedepankan dialog, menghindari kekerasan, serta mampu menjaga keseimbangan antara keyakinan pribadi dan kepentingan bersama (Jurnal Ilmu Agama, Vol. 22, No. 1, 2021).
Toleransi dalam Pandangan Islam
Islam sebagai agama yang diturunkan Allah Swt, kepada Nabi Muhammad, untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Islam juga sudah memiliki aturan yang terperinci tentang toleransi, sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah. Begitu juga dengan makna saleh.
Islam agama yang menjunjung toleransi, namun tidak bermakna mencampur aduk ajaran agama. Alllah Swt. berfirman, “Untukmu agamamu dan untukku Agamaku.” (Q.S. Al-Kafirun: 6).
Sikap toleransi kaum muslimin, sudah dipraktikkan dengan baik dan menciptakan kehidupan yang rukun. Penduduk dalam negara Islam (Daulah Khilafah) tidak semua beragama Islam. Ada juga yang beragama Yahudi atau Nasrani yang disebut dengan kafir dzimmi.
Islam memiliki mekanisme terperinci tentang toleransi. Pertama, keadilan bagi non-Muslim. Islam menegaskan bahwa non-Muslim yang hidup di wilayah kekuasaan Islam akan dilindungi dan diperlakukan secara adil. Mereka dijamin keamanan jiwa, harta, dan kehormatan mereka, serta berhak melaksanakan ibadah sesuai dengan agama mereka.
Kedua, hak beragama. Nonmuslim yang menjadi warga negara Khilafah diberikan kebebasan dalam hal keyakinan dan praktik ibadah mereka. Islam tidak memaksa orang untuk masuk ke dalam agama Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam prinsip “la ikraha fid-din” (tidak ada paksaan dalam beragama). Namun, meskipun mereka bebas menjalankan agama, mereka tetap harus tunduk pada hukum-hukum umum yang berlaku dalam negara Islam.
Ketiga, toleransi dalam batas hukum Islam. Meskipun ada ruang toleransi terhadap nonmuslim, toleransi ini tidak berarti kompromi terhadap hukum-hukum syariat. Nonmuslim harus mengikuti aturan negara Islam yang bersumber dari syariat, kecuali dalam hal-hal yang secara khusus terkait dengan agama mereka, seperti peribadatan. Toleransi tidak mencakup hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam, seperti perizinan atau tindakan yang haram dalam Islam.
Menjadi saleh pada masa sekarang bukanlah sesuatu yang mudah. Sebab, tidak ada sistem yang mendukung seseorang menjadi manusia saleh. Hanya dalam sistem Islam seseorang bisa saleh dengan sempurna. Hanya dalam sistem Islam hukum Islam bisa diterapkan secara menyeluruh, seperti firman Allah dalam surah al-Baqarah: 208.