
Oleh: Dini Azra
Linimasanews.id—Jika dahulu Fir’aun membunuh bayi laki-laki Bani Israil, Zionis Israel hari ini telah membunuh bayi laki-laki dan perempuan, anak-anak, orang dewasa tanpa pandang usia. Jika dahulu Namrud membakar Nabi Ibrahim Alaihisalam, hari ini Zionis Israel membakar hidup-hidup warga Gaza yang sedang tidur di tenda pengungsian. Nyatalah bahwa kebengisan negara penjajah ini melebihi manusia terkeji dalam sejarah, Fir’aun dan Namrud.
Sampai hari ini Israel tak juga menghentikan serangan ke wilayah Gaza, Palestina. Warga sipil yang tak bersenjata terus dibombardir dengan serangan udara. Mereka tak diberi kesempatan untuk beristirahat dan merasa tenang walau sesaat. Tak ada tempat berlindung ketika tempat tinggal mereka telah hancur lebur. Bahkan, di tempat pengungsian sekalipun mereka tetap dikepung.
Selama dua pekan terakhir Zionis Israel telah melakukan operasi besar di kamp pengungsian perkotaan Jabalia dan utara Gaza. Mereka beralasan operasi itu ditujukan untuk mencegah Hamas berkumpul kembali di sana. Siapa yang percaya? Karena, penjajah Israel terus melakukan serangan membabi-buta dan pembantaian terhadap warga sipil tak bersenjata.
Terhitung sebanyak 87 orang tewas atau hilang di bawah reruntuhan akibat serangan Israel sejak awal Oktober lalu di Beit Lahiya, Gaza Utara. Utusan perdamaian PBB untuk Timur Tengah mengecam serangan tersebut. Menurut Koordinator PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah, Tor Wennesland, operasi intensif Israel selama berminggu-minggu itu telah menelan banyak korban warga sipil dan nyaris tidak ada bantuan kemanusiaan yang menjangkau masyarakat di wilayah tersebut (Tempo.co., 21/10/2024).
Sayangnya, hanya kecaman dan kutukan tanpa sanksi nyata yang dijatuhkan PBB terhadap Zionis Israel. Bagaimana mungkin tragedi kemanusiaan yang telah berlangsung lama ini bisa diakhiri hanya dengan kecaman? Padahal, sebagai badan international yang mewadahi negara-negara dunia, PBB seharusnya bisa mengambil langkah tegas untuk menghentikan kebiadaban Israel. Namun, sepertinya itu hanya pembelaan semu.
Sebab, negara-negara pemilik hak veto di PBB bisa menggunakan haknya untuk mendukung tindakan Israel, meski negara anggota lainnya menentang. Amerika Serikat juga masih bebas mengirim bantuan dana maupun senjata kepada Israel. Seakan PBB hanya menyediakan tempat bagi utusan negara-negara anggotanya untuk menyatakan pendapat, tanpa menghasilkan solusi yang nyata.
Begitu juga dengan negara-negara Islam yang bertetangga dengan Palestina yang malah bungkam tanpa pembelaan terhadap saudara muslimnya. Jangankan mengirim pasukan untuk membantu melawan penjajah, di tengah jeritan rakyat Gaza yang meregang nyawa, mereka tak segan berpesta pora menikmati konser musik di negaranya.
Sementara itu, negara-negara muslim lainnya yang selalu berdiri membela Palestina, hanya bisa mengecam Israel di forum-forum dunia dan memberikan bantuan kemanusiaan saja. Mereka tak bisa berbuat lebih. Sebab, setiap negara punya batas teritorial yang harus dijaga. Tak mungkin menyerukan jihad dan mengirimkan tentara perangnya.
Ikatan nasionalisme dan kebangsaanlah yang menghambat langkah negeri-negeri muslim untuk bersatu membebaskan Palestina. Dalam sistem kapitalis-sekuler, setiap keputusan yang diambil harus memperhitungkan untung rugi bagi negara. Sekularisme juga memudarkan makna ukhuwah Islamiyah menjadi rasa kemanusiaan saja. Sehingga, sering muncul pertanyaan di tengah masyarakat, mengapa harus mengurusi negara lain yang jauh, kalau di negeri sendiri masih banyak yang kesusahan? Membantu Palestina dianggap cukup dengan mengecam Israel dan menyatakan dukungan di kancah internasional, serta mengirim bantuan. Negeri-negeri muslim itupun menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara pro zionis, yang membuat mereka terikat kepentingan dan takut ancaman.
Masyarakat dunia saat ini baik muslim maupun non-muslim sebenarnya mayoritas mendukung Palestina merdeka. Bisa dibuktikan dari banyaknya peserta aksi bela Palestina di berbagai negara di belahan dunia. Namun, pemerintah mereka masih banyak yang pro zionis atau hanya bersikap pragmatis. Ini menjadi bukti bahwa sistem bernegara yang ada saat ini tidak mampu memberikan solusi terhadap penjajahan yang dilakukan Zionis Israel atas Palestina. Karena itu, harus ada sebuah sistem kuat dan tidak terikat dengan barat yang akan membebaskan Palestina dan melindungi umat manusia, yakni sistem Islam.
Hanya saja, sistem yang akan menerapkan Islam secara kafah dan menghimpun umat Islam dalam satu naungan bernama Khilafah itu saat ini belum ada. Sejak runtuhnya kekhilafan terakhir Turki Utsmani tahun 1924, hingga kini umat masih mati suri. Padahal, keberadaan Daulah Islam sangat urgen sekarang ini. Baru berjalan seabad tanpa Khilafah, umat Islam sudah terpecah-pecah menjadi banyak negara. Akibatnya, hilanglah ukhuwah yang berlandaskan akidah, digantikan oleh ikatan kebangsaan yang lebih dominan.
Untuk itu, harus ada gerakan dakwah yang terjun ke tengah tubuh umat yang sedang sakit ini agar kembali bangkit dari keterpurukan. Harus ada upaya menyadarkan umat agar kembali memahami agamanya sendiri bahwa Islam bukan sekadar agama ritual yang mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya. Namun, Islam adalah agama yang lengkap dan paripurna yang memiliki semua aturan kehidupan.
Selain ibadah, Islam mengatur terkait mua’malah termasuk sosial dan politik. Umat Islam seharusnya tidak risih ketika berbicara tentang politik agar mampu membedakan, menganalisis, apakah politik yang ada hari ini sesuai atau tidak dengan ajaran Islam? Jika umat telah sadar akan urgensi penegakan sistem Islam, maka umat bersama-sama akan memperjuangkannya agar berlanjut kehidupan Islam seperti sedia kala.
Dahulu, Khalifah Umar bin Khatab menaklukkan Baitul Maqdis atau Al-Aqsa yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) pada tahun 16 Hijriah atau 637 Masehi. Proses penaklukan tersebut sudah dimulai pada jaman Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam masih hidup, dengan perjuangan para sahabat seperti Khalid bin Walid, Amr bin Ash dan Abu Ubaidah yang lebih dahulu menaklukkan Damaskus.
Akhirnya, petinggi umat Kristiani di sana menyerah tanpa perlawanan dan menyerahkan kekuasaan kepada Khalifah Umar. Khalifah Umar memberikan perlindungan kepada penduduk Kristen dan Yahudi. Mereka tidak dipaksa memeluk Islam dan tempat ibadah mereka juga tidak diambil alih. Umat Islam, Kristen dan Yahudi bisa hidup berdampingan dalam naungan kekhilafahan Islam.
Itulah contoh nyata sistem yang dicontohkan Nabi dan Khulafaur Rasyidin yang akan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Umat Islam akan disegani dan tidak akan dianiaya tatkala ada yang melindungi. Selama Khilafah Islam berdiri, wilayah Baitul Maqdis tidak pernah dibiarkan terjajah. Meskipun sempat kalah dalam Perang Salib, tetapi Palestina berhasil ditaklukkan kembali oleh Shalahuddin Al-Ayubi. Hingga di ujung Kesultanan Utsmani, wilayah suci ini masih terlindungi.