
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi.
Linimasanews.id—Generasi sandwich atau generasi roti lapis adalah sebuah istilah yang merujuk pada suatu fenomena atau keadaan tentang kondisi orang dewasa yang harus menanggung hidup atau membiayai kehidupan dirinya sendiri, anaknya, dan orang tuanya. Istilah generasi sandwich ini muncul dan diperkenalkan pertama kali pada tahun 1981 oleh Profesor sekaligus direktur praktikum University Kentucky, Lexington, Amerika Serikat bernama Dorothy A. Miller.
Istilah ini menggambarkan keadaan dirinya yang dianalogikan sebagai roti lapis atau sandwich di mana selembar daging diimpit oleh dua potong roti. Persis seperti keadaan dirinya yang harus diimpit oleh tekanan ekonomi untuk menghidupi orang tua sekaligus anaknya dalam waktu bersamaan (sikapiuangmu.ojk.go.id).
Di Indonesia sendiri, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, sebanyak 71 juta penduduk Indonesia masuk dalam kategori generasi sandwich. 8,4 juta sandwich gen di antaranya tinggal bersama anggota keluarga di luar keluarga inti yang mereka biayai atau disebut juga extended family. Berdasarkan sebarannya, gen Y atau generasi yang berusia 24-39 tahun pada 2020 lalu paling banyak menjadi generasi sandwich.
Bahkan BPS sendiri memprediksikan pada tahun 2025 mendatang akan ada 67,90 juta orang yang masuk dalam kelompok generasi sandwich berikutnya dan akan berpotensi meningkat setiap tahunnya. Tak hanya itu, generasi Z atau biasa disebut Gen Z pun terancam menjadi generasi sandwich berikutnya. Bahkan tidak sedikit di antaranya mencari jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara mengambil pinjaman online sebagai solusinya. Hingga berdasarkan data OJK, hingga Maret 2024 ada 9,18 juta rekening pinjol dari kelompok usia 19 – 34 tahun dengan nilai pinjaman mencapai Rp28,80 triliun (cnbcindonesia.com, 6/6/2024).
Apa yang salah? Mengapa hal ini terus terjadi? Seringnya para pakar ekonomi dan semisalnya menyebutkan bahwa, adanya fenomena generasi sandwich ini disebabkan oleh beberapa hal, yakni:
1. Kurangnya persiapan dalam mengelola keuangan dan merencanakan masa depan (detik.com, 10/12/2023).
2. Minimnya literasi keuangan, sehingga Banyak individu sebagai generasi pertama yang tidak mempersiapkan dana pensiun (gramedia.com).
3. Gaya hidup konsumtif.
4. Budaya, seperti tinggal hidup dan merawat orangtua yang sudah memasuki usia lanjut.
5. Pergeseran nilai sosial, maksudnya adalah adanya fenomena pasangan baru yang menikah di usia akhir usia 20 tahun atau awal 30an (Honest.co.id).
Para pakar juga tidak sedikit memberikan solusi lebih kepada individu untuk memutuskan generasi sandwich dengan cara seperti: mengubah mindset, belajar literasi keuangan, mempersiapkan hari tua dengan asuransi, gemar menabung maupun mempersiapkan hari tua dengan pensiun. Namun, apakah adakah yang terpikir bahwa maraknya fenomena generasi sandwich ini adalah hal yang tersistematis yang penyebabnya bukanlah seutuhnya kesalahan seorang individu hingga menyebabkan dirinya jatuh miskin dan menjadi beban bagi anaknya?
Sebenarnya jika kita telaah lebih lanjut, generasi sandwich lahir bukan lantaran mutlak kesalahan daripada individu itu sendiri, tetapi karena penerapan sistem pemerintahan yang salah dalam pengaturan perekonomian negara. Banyak negara, khususnya Indonesia dalam hal ekonomi lebih banyak mengadopsi sistem kapitalisme. Di sinilah letak akar masalahnya. Sistem sekuler-kapitalisme yang diadopsi negara dalam pengaturan kenegaraan dan perekonomian membuat rakyat hancur dan jatuh miskin secara sistematis.
Bagaimana tidak? Dalam sistem sekuler-kapitalisme, negara berperan sebagai regulator bagi para cukong atau pengusaha untuk terus mengeruk kekayaan alam suatu negeri. Negara tidak peduli dan cenderung lepas tangan akan kesejahteraan rakyat, sehingga undang-undang banyak diciptakan hanya untuk menguntungkan segelintir orang-orang yang memberi manfaat kepada para pejabat ketimbang rakyat.
Harga-harga dibuat tidak stabil dan cenderung terus melambung. Sementara gaji buruh seringnya hanya diberikan di batas minimal atau bahkan ada yang lebih kecil lagi seperti gaji para guru honorer maupun tenaga kesehatan yang bekerja keras di rumah sakit namun bukan menjadi bagian dari Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jika faktanya demikian, maka, bagaimana solusi dari para pakar bisa dijalankan? Bagaimana mereka bisa mempersiapkan dana pensiun untuk hari tua atau membayar asuransi, jika hari ini saja untuk kehidupan sehari-hari gajinya tidak mencukupi?
Maka, bisa disimpulkan bahwa adanya fenomena generasi sandwich ini adalah mutlak bukan kesalahan seorang individu dalam perencanaannya untuk masa depan, tetapi lebih kepada kesalahan yang bersifat struktural dari segala lini di sistem pemerintahan, khususnya dalam bidang ekonomi, hingga menyebabkan kemiskinan rakyat yang sistematis.
Persiapan dana pensiun, pembayaran asuransi, melek literasi finansial dan sejenisnya hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki uang saja. Sementara rakyat kecil, pedagang kecil, buruh dengan upah minimum, guru honorer atau nakes dengan gaji kecil tak akan sanggup menyiapkan hari tuanya meski mereka berkali-kali telah melek literasi finansial dan berupaya hidup hemat, jauh dari gaya hidup konsumtif.
Maka dari itu, kesimpulan yang sangat tepat daripada penyebab maraknya fenomena generasi sandwich adalah tidak lain tidak bukan adalah sistem sekuler-kapitalisme yang diterapkan di Indonesia. Lantas, bagaimana cara memutuskannya?
Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, maka sudah seharusnya umat ini sadar bahwa ada solusi untuk mengatasi segala persoalan hidup yang makin mencekik umat akhir-akhir ini, mulai dari persoalan tingginya kriminalitas, maraknya perjudian dan perzinaan, narkoba, moralitas yang makin merosot, juga kemiskinan yang struktural.
Islam tidak hanya agama yang mengatur persoalan ibadah spiritual tentang hubungan manusia dengan Tuhannya saja, melainkan juga mengatur hubungan antar manusia dengan manusia dan manusia dengan dirinya sendiri. Islam telah lengkap mengatur segalanya, dari manusia bangun tidur hingga tidur lagi. Mengatur tak hanya urusan individu tetapi juga masyarakat dan negara. Islam adalah sebuah sistem dan sebuah ideologi yang tak hanya mengatur tetapi juga memberikan solusi atas segala permasalahan hidup manusia.
Lalu, bagaimana solusi dalam Islam mengenai maraknya fenomena generasi sandwich ini? Di dalam Islam, negara bukan regulator melainkan sebagai ra’in atau pengurus umat, termasuk dalam urusan perekonomian negara. Dalam sistem ekonomi Islam, sumber daya alam (SDA) suatu negara tidak diberikan kepengurusannya kepada asing. Negara sepenuhnya memegang kendali pengelolaannya, sehingga dengan itu membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat dengan sangat luas dan dengan gaji yang layak.
Selain perluasan lapangan kerja dengan kepengurusan SDA oleh negara secara langsung, negara juga berkewajiban untuk membuat peraturan bahwa bagi setiap laki-laki yang telah baligh dan mampu bekerja untuk bekerja, sehingga ia tidak menjadi beban keluarga atau orangtuanya dan bisa dengan sejak dini mempersiapkan masa depannya dengan sebaik-baiknya, termasuk juga merancang masa depan dan finansial di hari tua. Kemudian, negara juga menjamin sarana kesehatan dan pendidikan dengan biaya murah atau gratis, sehingga hal ini pun meringankan beban rakyat untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Di dalam Islam, merawat dan menafkahi orangtua yang telah lanjut usia merupakan sebuah kewajiban. Oleh karenanya, negara dalam hal ini membantu perawatannya dengan penyediaan sarana kesehatan gratis maupun santunan atau bantuan tunai langsung kepada para lansia, sehingga mereka juga tidak terlalu menjadi beban bagi anak-anaknya.
Selanjutnya, dalam bidang pendidikan, di dalam sistem Islam, umat terdidik oleh akidah yang kuat. Menumbuhkan rasa takut dan taat kepada Sang Pencipta, sehingga untuk berbuat kemaksiatan, termasuk salah satunya adalah dengan menerapkan gaya hidup konsumtif, tidak akan terjadi. Umat akan ter-mindset untuk takut bermaksiat lantaran takut akan konsekuensi hisabnya di akhirat kelak.
Sehingga, apabila digabungkan dalam penerapan sistem syariat Islam yang saling terkoordinasi mulai dari individunya yang terdidik untuk tidak memiliki jiwa konsumtif, dan bagaimana pengelolaan negara terhadap SDA hingga akhirnya menciptakan banyak lapangan pekerjaan dengan upah yang sangat layak, juga bantuan-bantuan bagi para lansia, serta penjaminan negara pada fasilitas kesehatan dan pendidikan, maka akan terciptalah solusi hakiki dalam memberantas generasi sandwich ini.
Maka dari itu, maraknya fenomena generasi sandwich ini tidak akan putus apabila negara terus menerus mempertahankan sistem sekuler-kapitalisme sebagai sistem yang diadopsi untuk mengatur negara. Oleh karenanya, sebagai umat Islam yang sadar, kiranya wajib merenungi kembali dan berupaya memperjuangkan syariat Islam untuk diterapkan sebagai sistem dalam kepengurusan negara sebagai solusi atas segala permasalahan hidup rakyat hari ini, termasuk di antaranya masalah ekonomi.