
Oleh: Neti Ernawati
(Ibu Rumah Tangga)
Linimasanews.id—Bertepatan dengan hari pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, sejumlah aktivis lingkungan melaksanakan aksi di Kalimantan Tengah (Kalteng), tepatnya di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas atau lokasi food estate singkong. Aksi itu dilakukan untuk mengingatkan pemerintah bahwa pelaksanaan proyek food estate yang dimulai pada tahun 2020 lalu itu gagal.
Bayu Herinata selaku direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, mengungkapkan bahwa dampak dari food estate itu menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Lebih dari 600 hektare lahan yang sudah dibuka di Kabupaten Gunung Mas sampai saat ini belum ada hasil produksi singkongnya (tribunkalteng.com, 20/10/24).
Hal serupa dialami oleh proyek food estate seluas 16.000 hektare di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau yang dimulai pada 2022. Setelah tiga tahun berjalan, ribuan hektare lahan proyek food estate tersebut ditemukan terbengkalai dan ditumbuhi semak belukar. Bahkan, ada yang sudah berubah menjadi perkebunan sawit swasta. Para petani mengaku menyerah menanam padi di lahan food estate setelah beberapa kali gagal panen karena varietas yang ditanam tidak cocok dengan lahan (bbc.com, 18/10/24).
Berulangnya Kegagalan Food Estate
Proyek food estate sejatinya merupakan proyek strategis nasional (PSN) dalam menjawab isu krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Model pertanian pangan ala food estate sebenarnya sudah berulang kali mengalami kegagalan. Namun, pemerintah seolah justru terus mengulangi kesalahan dengan membuka proyek baru dan lahan baru. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kegagalan food estate, diantaranya adalah kurangnya kajian ilmiah.
Kajian ilmiah ini meliputi informasi tentang kesesuaian lahan dengan tanaman yang akan ditanam, serta kondisi lingkungan. Pada beberapa daerah tertentu, proyek food estate mengalami kegagalan lantaran bencana musiman, seperti luapan air sungai yang menyebabkan banjir. Penyebab lain berasal dari minimnya pelibatan petani. Petani cenderung dijadikan objek, tanpa pendampingan dan penyuluhan. Beberapa ada yang menerima sosialisasi namun tanpa ada tindak lanjut. Pembukaan lahan pun dilakukan oleh kontraktor. Petani dipaksa menanam tanaman yang ternyata tidak sesuai dengan lahan.
Meski berulang gagal, pemerintah sepertinya tidak melakukan evaluasi, dan justru memperluas area proyek food estate. Proyek-proyek ini seolah digunakan untuk menghabiskan anggaran, yang penting ada perluasan dan pembukaan lahan, tapi tanpa kelanjutan hingga waktu panen.
Food Estate Merusak Lingkungan dan Mengancam Pangan Lokal
Tidak dimungkiri, proyek food estate yang diprakarsai pemerintah telah merusak ekosistem hutan dan gambut yang ada di Indonesia. Perluasan area food estate dengan pembukaan hutan telah menyebabkan hilangnya tutupan pohon. Kondisi lahan gambut yang terbengkalai dikhawatirkan akan menjadi sumber bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Terbukti, pada tahun 2023, hampir 250 hektare area ekstensifikasi food estate telah mengalami kebakaran hutan.
Selain berdampak pada kerusakan lingkungan, sistem pertanian dengan model food estate juga memberikan dampak buruk terhadap sistem pertanian pangan lokal. Petani dan masyarakat adat akan kehilangan tugas dan fungsinya sebagai produsen pangan lokal karena digantikan oleh korporasi.
Food Estate, Tambal Sulam dalam Kapitalisme
Dengan dalih membangun ketahanan pangan, pemerintah membuka ribuan hektar lahan untuk proyek food estate. Padahal kenyataannya proyek tersebut hanyalah satu dari sekian praktik tambal sulam ala kapitalis yang dilakukan pemerintah untuk menutupi kegagalannya dalam meningkatkan produksi pertanian. Masih banyak lahan bagus yang dapat dioptimalkan, namun pemerintah justru menggunakan lahan yang tidak cocok. Begitu juga dengan tanaman yang ditanam, justru menggunakan varietas yang tidak sesuai dengan lahan.
Sayangnya pembangunan dalam kapitalisme bukan diperuntukkan bagi kepentingan rakyat, namun untuk kepentingan oligarki. Proyek-proyek food estate dibuka hanya untuk memberi pekerjaan pada korporasi saja, dan bukan untuk mendapatkan produk guna mendukung ketahanan pangan.
Sistem Islam Mewujudkan Ketahanan Pangan
Dalam Islam, rakyat dan sumber daya alam merupakan amanah yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Pemerintah berlaku sebagai pelindung dan pengurus rakyat akan mengupayakan kesejahteraan rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Sistem ekonomi Islam memiliki solusi permasalahan dari tingkat hulu hingga hilir, dalam mengatasi kebutuhan bahan pangan. Dari mulai penyediaan lahan, permodalan bibit, pupuk, hingga pengelolaan hasil panen. Petani yang tidak memiliki lahan akan diberikan lahan. Petani yang kesulitan modal akan dibantu permodalannya. Sehingga petani akan mampu mengelola lahannya, dan sektor pertanian tidak dikuasai oleh segelintir orang yang bermodal.
Pemerintahan juga mengupayakan pengembangan teknologi yang mampu mendukung produktifitas pertanian. Baik itu teknologi pengolahan lahan, pembibitan, maupun pengolahan hasil pertanian. Negara Islam memiliki kemandirian dalam membiayai Pembangunan. Islam menetapkan sumber anggaran yg banyak dan memiliki aturan bagaimana pemanfaatannya. Melalui kekayaan Negara dan kekayaan umum, negara akan membiayai semua kebutuhan dalam mengupayakan ketahanan pangan. Jadi tidak ada istilah proyek mangkrak karena kekurangan dana. Kemampuan finansial ini juga membuat negara tidak bergantung pada swasta atau asing yang ingin menyetir negara demi kepentingan mereka.