
Oleh: Rohayah Ummu Fernand
Linimasanews.id—Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik sebagai Presiden kedelapan dan Wakil Presiden Republik Indonesia ke-14 di Gedung Nusantara, Komplek Parlemen (MPR/DPR/DPD RI), Senayan, Jakarta, pada Minggu (20/10/2024). Pelantikan ini dihadiri oleh pejabat tinggi negara, mantan presiden/wakil presiden, tokoh-tokoh dalam negeri, serta sejumlah kepala negara/pemerintahan dan utusan asing, termasuk duta besar negara sahabat (liputan6.com, 20/10/2024).
Presiden terpilih ini diharapkan membawa angin perubahan, membawa visi yang segar, serta menjawab tantangan berat yang dihadapi bangsa, mulai dari ekonomi, politik, hingga isu lingkungan. Pergantian pemimpin ini dianggap oleh sebagian orang menjadi harapan baru adanya perubahan ke arah yang lebih baik.
Anggapan ini merupakan suatu hal yang wajar karena masyarakat hanya melihat adanya keberhasilan berada di dalam individu pemimpin. Namun, bangsa ini tidak boleh lupa, sejak negeri ini merdeka sampai hari ini, telah banyak dipimpin oleh individu dari latar belakang yang berbeda, mulai dari seorang politikus, militer, ilmuwan, wanita, hingga pribadi yang diklaim pro rakyat. Akan tetapi, pemimpin silih berganti, tetap saja bangsa ini dicengkeram penjajahan ekonomi oleh para kapital. Pajak semakin tinggi, biaya sekolah dan rumah sakit makin mahal, pekerjaan makin sulit, PHK terjadi di mana-mana, politik dinasti menjadi-jadi, politik balas budi makin lazim, hingga kenakalan remaja di luar nalar merupakan salah satu bukti eksistensi penjajahan ekonomi.
Kapitalisme Cacat Sejak Lahir
Umat harus menyadari bahwa keberhasilan sebuah kepemimpinan tidak hanya terletak pada person atau individu semata, melainkan juga sistem yang diterapkan. Sistem kepempimpinan yang diterapkan saat ini adalah sistem politik demokrasi kapitalisme yang batil. Sebab, bukan sistem yang berasal dari Allah, Al-Khaliq wa Al-Mudabbir. Sistem demokrasi ini berasal dari Yunani, yang menjadikan kedaulatan hukum berada di tangan manusia sehingga manusia dianggap berhak membuat hukum untuk mengatur kehidupannya sendiri.
Sistem ini kemudian diadopsi oleh ideologi kapitalisme dan dijadikan sebagai sistem politiknya. Sebab, ideologi kapitalisme membutuhkan sistem politik yang bisa menjamin penjajahan ekonomi oleh para kapital melalui undang-undang. Karena itu, tidak heran, sekalipun rakyat menolak RUU Ciptaker, namun tetap saja disahkan. Rakyat juga harus menelan pil pahit munculnya RUU Pilkada. Undang-undang tersebut hanya sebagian kecil dari undang-undang yang memuluskan penjajahan para kapital.
Jadi, selama sistem demokrasi kapitalisme masih diterapkan sebagai sistem kepemimpinan, niscaya tidak akan mengantarkan ke arah perubahan yang lebih baik. Rakyat akan tetap hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Inilah dampak penerapan sistem yang batil, sistem yang cacat sejak lahir, sistem yang rusak dan merusak.
Kembali pada Aturan Islam
Islam telah mengatur masalah kepemimpinan agar mendatangkan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Islam memiliki kualifikasi pribadi seorang pemimpin yang banyak dibahas dalam fikih siyasah. Secara umum kriterianya sama, yang berbeda hanya pada aspek tertentu dan rinciannya. Ada tujuh syarat in’iqad (pengangkatan) seorang pemimpin, yaitu: muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka (bukan budak/berada dalam kendali pihak lain), adil (bukan orang fasik/ahli maksiat), dan mampu (punya kapasitas untuk memimpin).
Hal yang perlu untuk dipahami terkait tugas utama pemimpin adalah menerapkan syariat Islam secara kafah, bukan menerapkan hukum atau sistem yang lain. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Nidzam al-Hukmi di al-Islam, “Khalifah (kepala negara) adalah orang yang mewakili umat Islam dalam urusan kekuasaan atau pemerintahan dan penerapan hukum-hukum syariat.”
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Swt. dalam surah Al-Maidah ayat 49, yang artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.”
Kewajiban ini juga dipertegas dengan adanya teguran dari Allah Swt. dengan menyebut mereka sebagai orang yang fasik, zalim, bahkan bisa kafir berdasarkan surah Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47. Selain itu, Islam menetapkan kehadiran pemimpin sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Hal ini dapat dipahami dari hadis yang menjelaskan tentang kepemimpinan. Rasulullah saw, bersabda, “Imam Khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat), dan dia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Dalam mekanisme penetapan sistem Islam inilah harapan kehidupan yang lebih baik, juga keberkahan akan dapat diwujudkan. Karena, baik kriteria pemimpin maupun sistem yang diterapkan berasal dari Allah Swt., Zat Yang Maha Agung dan Maha Adil. Sistem Islam inilah yang dalam pembahasan fikih disebut dengan sistem khilafah.
Oleh karena itu, umat harus segera sadar dari tipuan sistem demokrasi kapitalisme dan kembali pada aturan Islam yang sempurna, dalam penerapan syariah Islam kafah dalam naungan Khilafah. Tentu saja kesadaran ini menuntut umat untuk berjuang mengembalikan kehidupan Islam bersama jamaah dakwah ideologis.