
Oleh: Ummu Fatimah, S.Pd.
Linimasanews.id—Pengungsi Rohingya kembali masuk ke daratan Aceh, tepatnya di Gampong Meunasah Asan, Kecamatan Madat, Aceh Timur, Kamis (31/10). Rombongan pengungsi Rohingya ini semuanya berjumlah 96 orang, terdiri dari 37 laki-laki, 46 perempuan, dan tujuh anak-anak. Namun enam orang meninggal dunia karena diduga tenggelam saat dipaksa turun di pantai Meunasah Asan oleh sindikat penyelundup manusia (merdeka.com, 31/10/2024).
Sungguh mengenaskan nasib muslim Rohingya, hingga saat ini belum ada kepastian. Mereka tidak punya kewarganegaraan. Setelah diusir dari tempat tinggal mereka, mereka harus terombang-ambing di lautan dengan bekal makan dan minum seadanya untuk mencari suaka. Namun, ketika berusaha mendarat di negeri muslim lainnya, termasuk di Indonesia, mereka justru mendapatkan penolakan. Narasi kebencian sering ditujukan kepada mereka. Mirisnya, dunia yang telah menyaksikan penderitaan muslim Rohingya justru diam seribu bahasa.
Sesungguhnya persoalan Rohingya adalah persoalan umat Islam. Namun, hal ini diabaikan oleh umat Islam terutama penguasa negeri-negeri muslim. Mereka menganggap persoalan muslim rohingya adalah persoalan negara lain. Akhirnya, setiap wilayah negeri-negeri muslim merasa tidak bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada muslim Rohingya. Sungguh, sikap seperti ini tidak pernah diajarkan Islam.
Islam mengajarkan bahwa hubungan antara satu muslim dengan muslim lainnya adalah hubungan saudara. Seorang saudara tentu tidak akan membiarkan saudaranya mengalami keterpurukan. Mereka tentu akan memberikan perlindungan terbaik hingga saudaranya terhindar dari bahaya dan terjamin keselamatannya.
Bukan hanya diibaratkan sebagai saudara, Islam juga menyatakan bahwa kaum muslim bagaikan satu tubuh. Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya merasakan sakit maka seluruh tubuh kainnya juga ikut merasakannya.
Persaudaraan seakidah lebih erat dibandingkan persaudaraan karena ikatan lainnya. Namun, ikatan akidah yang seharusnya mengikat kaum muslimin hari ini tampaknya sudah hilang. Jika ditelaah dan dikaji lenyapnya ikatan akidah ini disebabkan oleh hadirnya sekat nasionalisme yang memisahkan satu negeri muslim dengan negeri muslim lainnya.
Sejak institusi pemersatu kaum muslim, Khilafah Islamiyah runtuh di tahun 1924, tidak ada lagi perisai atau pelindung kaum muslim. Sejak saat itu, penjajah Barat membagi-bagi wilayah Islam dan menguasainya hingga mengaturnya dengan sistem aturan Barat kapitalisme demokrasi. Di mana hukum-hukum internasional yang lahir dari sistem kapitalisme sama sekali tidak memberi harapan akan kebaikan umat Islam.
Meski sudah ada konvensi Internasional tentang penanganan pengungsi, persoalan pengungsi Rohingya tidak juga terselesaikan. Padahal dahulu, saat kaum muslim masih hidup di bawah naungan Khilafah, tidak ada seorang muslim pun yang dibiarkan oleh khalifah terancam keselamatannya. Bahkan khalifah siap mengerahkan pasukannya hanya untuk melindungi satu jiwa warganya atau melindungi kehormatan seorang wanita. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan saudara muslim kita, Rohingya, dan muslim di negeri-negeri lainnya seperti Palestina atau Suriah kecuali umat Islam memiliki institusi yang menyatukan dan memberikan perlindungan.
Kembalinya persatuan kaum muslim dalam naungan Khilafah sungguh akan menyatukan umat Islam di bawah penerapan aturan Islam kaffah. Khalifah sebagai pemimpin umat Islam akan menjalankan perannya sebagai perisai. Khilafah akan membela dan melindungi hak-hak kaum muslim Rohingya dan muslim lainnya yang tertindas, memberikan sanksi tegas kepada siapa saja berlaku zalim. Jaminan keselamatan nyawa, harta, dan kehormatan akan didapatkan. Umat merasakan kedamaian dan kesejahteraan.