
Oleh: Asma Sulistiawati (Pegiat Literasi)
Linimasanews.id—Sebanyak 146 pengungsi. Rohingya terdampar di Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, Kamis (24/10/2024). Sebelum tiba di Deli Serdang, mereka berlayar selama 17 hari dari kamp pengungsian di Bangladesh. Salah satu pengungsi, M. Sufaid (24), menjelaskan mereka awalnya mengungsi di Bangladesh karena adanya konflik di Myanmar, tempat asal mereka. Berharap mendapatkan perlindungan di Indonesia, mereka nekat berlayar menggunakan kapal kayu. “Ternyata ada penolakan terhadap kami oleh masyarakat,” ungkap Sufaid saat diwawancarai di Aula Camat Pantai Labu.
Miris, muslim Rohingya terusir dari tanah kelahiran hingga harus merasakan terkatung-katung di lautan selama 17 hari mencari negara yang mau menolong mereka. Sampailah kapal mereka di Indonesia, negeri mayoritas muslim yang diharapkan mau mengulurkan tangannya. Namun nyatanya, tidak ada tangan yang diulurkan, yang ada justru adalah penolakan. Permasalahan Rohingnya seyogyanya adalah domain negara, bukan sekadar individu dan masyarakat.
Sikap kejam rezim Buddha Myanmar disebabkan oleh sentimen asabiah mereka terhadap etnis Rohingya yang muslim. Juga permainan politik antara Amerika Serikat dan Cina dalam menancapkan pengaruh di kawasan tersebut. Berharap penyelesaian masalah Rohingya pada negara adidaya atau lembaga internasional seperti PBB adalah hal yang mustahil. Sebab, mereka tidak pernah bertindak keras dan tegas terhadap kejahatan Myanmar atas Rohingya.
Benar, PBB selalu menyuarakan HAM, tetapi mereka gagal memperjuangkan hak yang seyogianya menjadi milik Rohingya. Inilah hipokrisi yang nyata ditunjukkan. Panggung politik mereka sepi jika terkait dengan kepentingan kaum muslim.
Hal ini diperkuat dengan paham nasionalisme yang menjadi penghalang terbesar bagi umat Islam dalam mengekspresikan ukhuwah sebagai salah satu kewajiban agama mereka. Bahkan kehadiran paham ini menjadi salah satu sebab langgengnya penderitaan umat yang hidup di bawah sistem kepemimpinan berparadigma sekuler kapitalisme neoliberal.
Muslim Rohingya membutuhkan pelindung dan perisai hakiki, yaitu junnah yang mampu menjaga umat dari perlakuan diskriminasi, penindasan, dan penganiayaan. Rohingya dan negeri muslim lainnya memerlukan pemimpin dan rumah yang mampu menjamin keselamatan hidup umat dan kehormatan Islam.
Rohingya dan muslim global membutuhkan ikatan keimanan dan persaudaraan Islam yang menyatukan mereka tanpa mempertimbangkan hambatan kebangsaan, etnis, atau ras. Semua itu hanya akan terwujud dalam negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh. Negara inilah yang akan mempersatukan umat Islam dari berbagai bangsa, suku, ras, dan golongan, melindungi masyarakat dari ketidakadilan, membela orang-orang yang terlantar dan tertindas di tanah mereka, dan menyatukan seluruh wilayah Islam di bawah satu kepemimpinan.
Negara yang menyandarkan entitas politik mereka pada prinsip Islam akan membebaskan negeri-negeri Islam dari penjajahan dan kezaliman. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.”
Wallahualam.