
Oleh: Ika Kusuma
Linimasanews.id—Program makan siang gratis yang menjadi program unggulan dari presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming diharapkan mampu mendorong kualitas gizi anak sekolah, memperbaiki kualitas SDM, serta menggerakkan ekonomi nasional. Berdasarkan perhitungan tim Prabowo, program makan siang gratis (MBG) ini mampu menciptakan 1,8 juta lapangan pekerjaan, mengingat akan ada 377 ribu dapur yang masing masing-masing dapur terdiri dari 5 orang pekerja (CNN Indonesia.com, 14/10/2024).
Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono menyebut jika program MBG direncanakan akan mulai berjalan pada 2025 mendatang yang ditargetkan akan mampu menjangkau 83 juta siswa. Untuk memenuhi kebutuhan akan susu dan daging, Indonesia akan membuka peluang bagi sektor swasta untuk mengimpor sapi hidup. Sejak program ini dicanangkan, setidaknya sudah ada 46 perusahaan, baik dari dalam maupun luar negeri yang berkomitmen akan mengimpor 1,3 juta ekor sapi hidup guna mendukung program tersebut. Jepang disebut sebagai salah satu negara yang bakal terlibat dalam program ini (merdeka.com, 17/10/2024).
Sayangnya, program MBG tak luput dari sejumlah kritikan, salah satunya ekonom senior Institute For Development Of Economics And Finance (Indef), Didik J. Rachbini yang menyebut jika anggaran jumbo dan banyaknya peluang dari pengadaan pasokan bahan baku makanan hingga distribusi MBG banyak diincar oleh para bandit atau pihak yang hendak mengambil keuntungan. Didik menyebut meskipun presiden terpilih Prabowo telah sering menyebut akan melibatkan pengusaha lokal maupun UMKM dalam program ini, namun presiden perlu menetapkan aturan khusus agar tidak ada intervensi dari pihak tertentu yang ingin menguasai.
Didik juga menyebut meskipun dana program MBG berasal dari APBN, perlu melibatkan pemerintah daerah guna mengurangi potensi di intervensinya pelaksanaan MBG oleh mereka para oknum bandit. Terlebih jika pengadaan pangan diserahkan pada pihak pengusaha asing, mengingat Indonesia selama ini belum mampu memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri (tirto.id, 18/10/2024).
MBG memang terkesan program untuk rakyat guna meningkatkan gizi anak dan pembentukan generasi yang sehat. Namun kenyataan tak bisa dipungkiri jika yang diuntungkan dari program ini adalah perusahaan besar yang bakal memasok bahan baku. Meski diklaim mampu membuka lapangan kerja baru, namun faktanya upah tenaga kerja tentu mengikuti sistem pengupahan kapitalisme di mana pekerja lapangan justru yang paling sedikit mendapat upah. Proyek besar ini juga berpotensi membuka celah baru untuk korupsi.
Diakui ataupun tidak, program MBG ini belumlah mampu menyentuh akar permasalahan sebenarnya menyangkut kesehatan dan kecukupan gizi generasi. Program ini justru dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru terkait anggaran MBG ini ternyata dimasukkan ke dalam anggaran pendidikan, yang kita tahu selama ini masih jauh dari kata mencukupi. Masih banyak PR negara terkait sarana dan prasarana pendidik yang belum merata terutama di daerah jauh atau terpencil, belum lagi masalah kesejahteraan guru yang jelas belum terpenuhi.
Program ini justru rawan menjadi ajang rebutan para bandit dan tentu saja yang diuntungkan adalah koorporasi. Kedaulatan pangan juga jelas terancam dengan diserahkannya pengelolaan pada pihak swasta dan asing yang tentu akan berdampak pada ketergantungan impor. Begitulah kapitalisme memandang segala aspek sebagai objek materiil, bahkan keberlangsungan generasi pun tetap menghadirkan celah bagi mereka untuk meraup keuntungan.
Sebenarnya akar permasalahan generasi saat ini adalah sistem kapitalisme yang meniscayakan terjadinya kemiskinan struktural. Rakyat dibuat tak mampu atau kesulitan untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokok mereka. Sistem sekularisme yang selalu berjalan seiring dengan sistem kapitalisme juga semakin memperburuk problematika umat, terkhusus generasi, mengingat sistem ini jelas telah memisahkan nilai agama dari kehidupan. Akibatnya, terbentuklah masyarakat materialistik dan individualis. Mereka merasa bebas menjalani kehidupan tanpa rule agama yang mengikat.
Ini berbeda dengan Islam. Ketika peradaban Islam terbentuk, program khusus MBG tidaklah diperlukan lagi mengingat pemenuhan gizi generasi sudah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Bahkan tidak hanya generasi, kebutuhan semua umat adalah tanggung jawab negara sebagai raa’in (pelayan urusan masyarakat) yang jelas menjadi prioritas negara.
Sistem ekonomi Islam yang tangguh juga menjamin perekonomian masyarakat berjalan dengan baik. Lapangan kerja tersedia luas karena SDA yang ada dikelola langsung oleh negara tanpa intervensi swasta dan asing. Hal ini tentu berdampak pada kedaulatan negara. Selain itu, pos pendapatan negara yang banyak sangat memungkinkan negara Islam memenuhi semua kebutuhan masyarakatnya, mulai dari pendidikan, kesehatan, sandang, dan papan.
Masyarakat juga tak perlu dibebani pajak yang mencekik karena Islam hanya mengambil pajak ketika keadaan genting di mana kas negara kosong. Itu pun pajak hanya dikenakan pada mereka yang mempunyai kekayaan berlebih dan bersifat sementara. Bahkan pada masa kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz, negara sampai tak bisa menemukan satu pun dari warganya yang berhak menerima zakat karena tercukupinya semua kebutuhan mereka. Adapun pada masa Umur bin Khattab, negara memberi tunjangan atau subsidi pada ibu dan anak dari baru lahir hingga mampu mandiri.
Begitulah gambaran kesejahteraan kehidupan pada masa peradaban Islam ketika syariat Islam ditegakkan secara kaffah. Maka sistem kehidupan, pendidikan, lingkungan, dan keluarga akan mendukung terbentuknya generasi yang cemerlang, generasi sehat yang berkepribadian Islam yang tentu mampu menjadi agen perubahan yang sebenarnya. Wallahualam.