
Oleh: Nur Afni, Ibu Peduli Negri
Linimasanews.id—Demokrasi menjadi salah satu sistem pemerintahan yang diterapkan di beberapa negara, salah satunya adalah Indonesia. Semboyan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” seolah menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sayangnya, hanyalah omong kosong belaka. Karena faktanya, pemegang kekuasaan tertinggi adalah para penguasa modal (kapital), partai politik, dan oligarki.
Bagaimana dengan rakyat? Rakyat paling banyak dilibatkan dalam pesta demokrasi, tetapi sekadar meramaikan pesta, bukan penentu suara sebenarnya. Pihak yang benar-benar menikmati pesta tersebut adalah parpol dan paslon. Memang, selama pesta rakyat dipuja dan disanjung, suaranya sangat diharap-harapkan, bahkan dihargakan dengan uang. Namun, usai pencoblosan, rakyat segera dilupakan. Parpol dan kepala daerah terpilih kembali menjauhi rakyat, bahkan seolah tidak pernah kenal dengan rakyat yang memilih mereka.
Berharap sistem demokrasi mampu melahirkan pemimpin yang jujur, adil, dan amanah adalah sebuah mimpi belaka. Karena faktanya, sistem ini justru melahirkan pemimpin yang fasik dan zalim.
Praktik Kotor
Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan digelar bulan November ini, masyarakat disuguhkan dengan praktik kotor di berbagai daerah. Pilkada Jawa Tengah 2024 ternodai dengan munculnya dugaan mobilisasi kepala desa (kades) untuk memenangkan salah satu kandidat. Mirisnya, praktik kotor semacam ini terjadi secara masif dalam beberapa pekan terakhir.
Melansir dari Tirto.id (26/10/2024), dugaan mobilisasi kades juga terjadi di tempat lain. Puluhan kades dari Kabupaten Pemalang dan Tegal melakukan pertemuan di Hotel Grand Dian, Kabupaten Pekalongan. Bahkan, puluhan kades yang tergabung dalam Paguyuban Kepala Desa (PKD) dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Tengah mengikuti pertemuan secara tertutup di Gumaya Tower Hotel, hotel bintang lima di Kota Semarang. Acara tersebut berslogan “Satu Komando Bersama Sampai Akhir”.
Begitu juga di Banda Aceh, marak isu adanya pembagian suap sebagai mahar kepada salah satu partai dari salah satu bakal calon bupati Aceh Selatan. Dari isu yang berkembang di media sosial, disebutkan dugaan suap mencapai Rp1 miliar.
Rakyat jadi Korban
Sejatinya, rakyat hanya menjadi korban dalam politik sistem demokrasi. Kebobrokan demokrasi ini tidak terlepas dari asasnya yang batil, yakni meletakkan kedaulatan hukum di tangan manusia. Konsekuensinya, politik dan jabatan dijadikan sebagai jalan untuk meraih kekuasaan dan jabatan. Karena, hanya kekuasaan yang menjadi tujuan. Alhasil, menghalalkan berbagai macam cara demi meraih kekuasaan.
Inilah sejatinya kebobrokan politik dalam sistem demokrasi. Wajar kerusakan dan kesengsaraan terus dirasakan oleh rakyat karena rakyat dipimpin oleh pemimpin curang yang selalu menipu rakyat. Karenanya, apakah masih bisa masyarakat berharap demokrasi akan membawa perubahan yang lebih baik bagi negara ini?
Pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi terbukti hanya menguntungkan kepentingan tertentu, yakni oligarki. Sebab, politik dalam demokrasi membutuhkan biaya yang mahal. Para pemilik modal dan partai politik pun menjadi pendukung utama bagi calon kepala daerah. Walhasil, ketika mereka terpilih, kebijakan bukan berpihak kepada rakyat, tetapi lebih kepada para pengusaha pendukungnya. Inilah yang disebut politik “balas budi” yang mutlak terjadi dalam sistem politik demokrasi.
Di sisi lain, rakyat juga dirugikan dengan besarnya biaya proses pemilihan kepala daerah. Padahal biaya itu berasal dari uang rakyat. Diketahui, anggaran Pilkada Serentak 2024 diperkirakan lebih dari 41 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 juli 2024.
Karena itu, miris bila rakyat justru mendapatkan banyak persoalan dari proses pilkada, seperti munculnya konflik horizontal di masyarakat, baik individu maupun kelompok. Sementara, kesejahteraan hanya janji manis semata.
Seharusnya masyarakat menyadari bahwa sistem demokrasi tidak layak diterapkan karena kebatilan dan bahayanya yang nyata. Sudah seharusnya umat bangkit menuju sistem politik shahih yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., suri teladan terbaik bagi umat manusia. Sistem politik yang dimaksud adalah khilafah.
Sistem Politik Islam
Dalam Islam, politik (siyasiyah) memiliki makna “ria’ayah su’ unil ummah”, yaitu pengurus urusan umat. Politik Islam berfungsi sebagai pengatur urusan rakyat, baik dalam negeri maupun luar negeri sesuai dengan syariat Sang Pencipta, yaitu Allah Swt. Sistem politik Islam juga digunakan untuk menerapkan Islam secara kafah. Ini tampak dari perjuangan Rasulullah saw. dalam mendakwahkan Islam hingga berhasil menerapkan Islam secara kafah (menyeluruh) dan menjadi seorang kepala negara di Madinah.
Jadi, politik dan kekuasaan di dalam Islam memiliki makna khas, yaitu mengurus urusan umat sesuai dengan syariat dan amanah untuk menerapkan hukum syariat secara kafah. Hukum yang diterapkan pun adalah hukum yang berasal dari Sang Khaliq, bukan hukum buatan manusia. Karena, sejatinya manusia itu bersifat lemah dan terbatas dan tidak layak dijadikan sebagai pembuat hukum.
Dalam pemilihan kepala daerah sebagai pengurus urusan rakyat, politik Islam memiliki mekanisme yang praktis dan tidak membutuhkan biaya yang fantastis seperti politik demokrasi. Karena, pemilihan kepala daerah hanya ditetapkan melalui penunjukan oleh kepala negara (khalifah) sesuai dengan kebutuhan khalifah. Hal ini dikarenakan posisi kepala daerah hanyalah sebagai pembantu khalifah. Khalifah pun hanya akan memilih individu yang amanah, berintegritas (bermutu), dan memiliki kapabilitas. Sebab, pemimpin di dalam sistem Islam adalah pemimpin yang bertakwa yang memahami bahwa kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.
Dengan menegakkan kembali sistem Islam dan menerapkan seluruh syariat Islam di segala aspek kehidupan, maka rakyat akan diurus dengan baik dan hidup sejahtera karena memiliki pemimpin yang bertakwa. Sudah saatnya umat bangkit dan bersatu untuk menegakkan kembali sistem Islam di muka bumi ini. Karena, hanya sistem Islam yang mampu melahirkan pemimpin yang amanah dan bertakwa. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa pun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka neraka tempatnya.” (HR. Ahmad)