
Oleh: Siti Zulaikha, S.Pd. (Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi)
Linimasanews.id—Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, sebanyak 15 investor asing menunjukkan minat untuk berinvestasi di industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia dengan merelokasi pabrik mereka ke Tanah Air. Menurutnya, situasi global saat ini dan kebijakan dari buyer di Amerika mengharuskan Cina Plus One membuka peluang besar bagi Indonesia. Cina Plus One adalah strategi perusahaan di Cina mencari negara alternatif untuk memperluas pasar dan mengurangi ketergantungan pada pasar domestik. Ini dilakukan demi menjaga produktivitas dalam menghadapi perubahan ekonomi global (beritasatu.com, 1/11/2024).
Kebijakan membuka lebar keran investasi asing ini sejatinya perlu dipertanyakan, benarkah rakyat yang akan diuntungkan? Pasalnya, perusahaan Cina belum hadir saja, industri tekstil sudah banyak yang tutup akibat berbenturan dengan produk Cina.
Kebijakan ini sejatinya merupakan konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini memegang satu prinsip, yaitu perdagangan bebas yang menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang, baik tarif ataupun non-tarif, antara satu negara dengan negara lainnya.
Kerja sama antarkawasan sebagai implementasi dari perdagangan bebas pun makin didorong. Sebagaimana ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang merupakan kesepakatan antara negara-negara ASEAN dengan Cina. Melalui kesepakatan ini, produk Cina begitu mudah masuk ke Indonesia dan dijual dengan harga yang lebih murah dari harga produk lokal. Masyarakat Indonesia dengan tingkat kemiskinan tinggi, tentu akan memilih produk yang lebih murah. Dampaknya, industri dalam negeri bangkrut dan PHK massal tak terhindarkan. Hal ini yang memicu tingkat kemiskinan di negeri ini makin parah.
Sistem ekonomi kapitalisme telah menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator keberhasilan ekonomi yang berjalan dalam sebuah negeri. Pertumbuhan ekonomi yang dimaksud adalah peningkatan jumlah barang dan jasa atau dengan kata lain, fokus pada aktivitas produksi. Untuk menunjang hal ini, negara menyuburkannya melalui tumbuhnya investasi di berbagai sektor. Jadi, tak heran jika hari ini investor asing terlibat di berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, infrastruktur, energi, pariwisata, dan lain-lain.
Kini investasi asing itu merambah pada kebolehan relokasi industri asing ke dalam negeri. Negara sendiri menganggap bahwa ini adalah bagian dari menciptakan iklim usaha yang kondusif di negeri ini. Padahal faktanya, kebijakan investasi alam kapitalisme hanya merugikan rakyat dan menguntungkan para pemilik modal. Pemilik modal dimudahkan dalam mengakses sumber daya alam sebagai bahan baku produksi dan dimudahkan dalam memasarkan produknya.
Hal ini sangat berkaitan dengan kondisi Indonesia yang memiliki jumlah penduduk besar dan sikap konsumtif yang tinggi. Kondisi ini menjadi peluang sumber cuan tersendiri bagi pemilik modal yang nantinya akan merelokasi pabriknya di negeri ini. Padahal, investasi dalam ekonomi kapitalisme, jelas memiliki kesalahan yang sangat mendasar. Sebab, investasi ini berangkat dari pandangan yang mementingkan aktivitas produksi tanpa dibarengi dengan mekanisme distribusi barang dan jasa yang sangat berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat individu per individu.
Pertumbuhan ekonomi yang didukung investasi ini, juga hanya dihitung secara komunal, sehingga meskipun angka pertumbuhan ekonomi tinggi akibat melejitnya investasi, tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat. Sebaliknya, munculnya kesenjangan yang lebar di tengah masyarakat. Dampak lebih jauhnya adalah potensi penjajahan ekonomi akibat investasi asing yang mengancam kedaulatan negara. Oleh karena itu, akar persoalannya sebenarnya adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme di negara ini.
Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi yang diatur sistem politik Islam, Khilafah Islam. Dalam Khilafah, investasi bukan sesuatu yang dilarang, tetapi pelaksanaannya dibatasi dengan syarat yang telah ditetapkan syariat Islam. Investasi asing tidak boleh terjadi pada pengelolaan sumber daya alam yang merupakan kebutuhan umum, kebutuhan pokok rakyat ataupun kebutuhan hidup orang banyak. Investasi ribawi dan melanggar syariat juga tidak akan diperbolehkan. Investasi asing juga tidak boleh menjadi jalan penjajahan ekonomi yang mengancam kedaulatan negara.
Dalam menjalankan hubungan luar negeri, termasuk perdagangan maupun investasi, negara Khilafah akan berpedoman pada politik luar negeri yang disandarkan pada syariat Islam, yakni berkaitan dengan dakwah dan Jihad serta kemaslahatan rakyat.
Kesejahteraan rakyat sejatinya merupakan tanggung jawab negara sebagai pengurus rakyat (raa’in). Politik ekonomi Islam akan mampu mewujudkan hal tersebut. Sebab, politik ekonomi Islam memastikan pihak swasta tidak terlibat secara langsung dalam pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat.
Negara Khilafah dengan sistem keuangannya yang berada di bawah Baitul Mal memastikan negara memiliki sumber pemasukan yang sangat besar yang digunakan untuk kemaslahatan umat. Alhasil, negara bisa mandiri dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa bergantung pada investor asing yang sarat dengan penjajahan ekonomi.
Selain itu, pelaksanaan hubungan luar negeri akan ditentukan oleh status negara tersebut di hadapan Khilafah. Khilafah tidak akan melakukan hubungan luar negeri dengan negara yang terkategori negara kafir harbi fi’lan, yaitu negara yang sedang terlibat dalam peperangan secara nyata. Adapun terhadap negara kafir harbi hukman, yaitu negara yang tidak memerangi umat Islam dan negara mu’ahid, yaitu negara yang terikat perjanjian damai dengan Khilafah, maka Khilafah boleh melakukan perdagangan luar negeri sesuai dengan ketentuan syariat. Demikianlah penerapan aturan Islam kafah di bawah naungan Khilafah. Kebijakan khalifah berorientasi pada kemaslahatan rakyat dan sesuai dengan syariat Islam.