
Oleh: Dini Azra
Linimasanews.id—Publik dikejutkan dengan berita terkait kasus korupsi impor gula yang dilakukan oleh mantan Menteri Perdagangan Tahun 2015-2016 Thomas Trikasih Lembong atau sering disebut Tom Lembong. Tiada angin tiada hujan, Tom ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung atas perkara dugaan tindak pidana korupsi kegiatan importasi gula periode 2015-2023 di Kementerian Perdagangan (Kemendag). Dia pun langsung dikawal menuju tahanan lengkap dengan borgol di tangan dan rompi orange khas tahanan. Yang menarik perhatian, tidak tampak tertekan, justru dia memasang senyum manis di depan para wartawan.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar menjelaskan bahwa keterlibatan Tom Lembong itu terkait kebijakannya selaku Mendag pada saat itu yang memberikan izin persetujuan impor gula. Izin impor gula mentah sebanyak 105.000 ton diberikan kepada PT. AP yang kemudian mengolahnya menjadi gula krista putih. Sedangkan di tahun yang sama (12/5/2015) rapat koordinasi antar-kementerian menyimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak perlu mengimpor gula. (TVOnenews.com, 27/10/2024).
Banyak pihak meragukan bahwa kasus ini merupakan murni penegakan hukum. Penetapan Tom Lembong sebagai tersangka disertai penahanan dirinya terkesan tergesa-gesa. Meskipun penyidikan kasus ini dimulai sejak Oktober 2023 lalu, kejaksaan dinilai belum menemukan cukup bukti untuk tindak pelanggaran hukum memperkaya diri dan merugikan negara sesuai Pasal 2 dan 3 Undang-undang Tipikor. Kejaksaan menilai kerugian negara atas kasus ini sebesar Rp400 Miliar, tapi belum ditemukan adanya aliran dana yang masuk ke rekening pribadi Tom Lembong. Pihak kejaksaan berdalih menurut pasal di atas seseorang yang dianggap melakukan korupsi tidak harus mendapatkan keuntungan pribadi.
Pakar hukum pidana Dr. Chairul Huda mengatakan bahwa penetapan tersangka mantan Mendag Tom Lembong terbilang prematur. Sedangkan bukti adanya kerugian negara belum jelas dan terverifikasi, seharusnya Kejaksaan mampu menunjukkan alat bukti yang valid. Unsur kerugian negara harus terbukti secara konkret. Menurutnya, kasus ini kesan politisnya tampak jelas, kemungkinan ini merupakan upaya Kejaksaan untuk menunjukan kinerja cepat dalam mendukung agenda pemerintahan baru. Saat ini semua kementerian sedang berlomba untuk mencapai target program 100 hari pemerintahan. Hanya saja, ia khawatir adanya kemungkinan diskriminasi dalam penanganan kasus serupa. Sebab, beberapa menteri sebelumnya juga pernah diperiksa terkait kasus impor gula namun belum ada kelanjutannya. (Suarasurabaya.net, 9/11/2024).
Semenjak Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Gibran pada 20 Oktober 2024 lalu dilantik, pemerintahan baru ini begitu gencar melakukan penanganan kasus korupsi di berbagai instansi kementrian. Seolah ingin membuktikan keseriusan pemerintah dalam memerangi korupsi. Masyarakat pun antusias mengikuti setiap berita korupsi yang terungkap akhir-akhir ini.
Namun, ada kejanggalan yang dirasakan dalam hal penanganan kasus yang terkesan tebang pilih. Ada pula yang mengaitkan kasus dugaan korupsi Tom Lembong saat ini dengan aliansi politiknya kemarin yang berseberangan dengan pemerintah, dia pun cukup vokal dalam mengkritisi pemerintahan sebelumnya. Menteri perdagangan setelah Tom Lembong juga melakukan impor gula dengan angka yang lebih tinggi, mengapa hanya Tom Lembong yang disangka korupsi?
Dengan sistem demokrasi yang berlandaskan kapitalisme-sekuler mustahil terwujud negara bebas korupsi. Sebab, setiap orang yang memutuskan terjun ke dunia politik tujuannya adalah untuk meraih kekuasaan dan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, baik untuk pribadi maupun partai. Tidak ada yang murni ingin mengabdikan diri untuk melayani rakyat dan berkorban demi kepentingan rakyat. Karena, untuk masuk ke dunia politik mereka harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Sudah pasti ketika menjabat mereka ingin bisa balik modal, bahkan untung berkali lipat. Bisa dilihat dari berbagai sumber kekayaan para pejabat negara, betapa besar pertambahan jumlah kekayaan mereka dari sebelum menjabat hingga selesai menjabat. Bukan berarti bisa sertamerta menuduh mereka korupsi, tapi dalam sistem ini korupsi memang sangat mungkin terjadi.
Dalam upaya pemberantasan korupsi pemerintah membentuk badan khusus yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akan tetapi, kekuatan KPK yang tadinya dianggap handal mengungkapkan kasus-kasus korupsi besar sekarang dinilai lemah dan tak bertaji. Sampai-sampai mantan ketuanya Firly Bahuri ditetapkan sebagai tersangka karena menerima gratifikasi dan melakukan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo. Namun, hingga saat ini dia masih bebas karena menurut kejaksaan pemberkasannya belum selesai. Begitupula kasus jet pribadi Kaesang Pangarep langsung diputuskan KPK tidak termasuk gratifikasi, padahal sebagai keluarga presiden saat itu dia menerima fasilitas premium dari pengusaha.
Bisa dikatakan, penanganan korupsi dalam sistem demokrasi dilakukan dengan setengah hati. Atau bisa dipermainkan sesuai kepentingan politik pihak yang sedang berkuasa. Siapa yang berada di lingkaran kekuasaan, dia akan aman, sedangkan pihak yang berseberangan bisa dicari-cari celah untuk dikasuskan. Siapa yang kuat dialah yang akan menang, bukan siapa yang memegang idealisme dan kejujuran. Seorang yang baik secara pribadi akan kalah bila masuk ke dalam sistem yang rusak ini. Artinya, suka tidak suka dia akan hanyut dalam pertarungan politik kotor jika ingin bertahan di dalam kekuasaan.
Jika benar umat ini mendambakan negara yang bebas korupsi, solusinya hanyalah menerapkan sistem Islam. Islam jelas mengharamkan tindakan korupsi, karena bersifat zalim, merugikan, menindas dan tidak sesuai dengan hukum syara’. Selain itu juga perbuatan menyelewengkan amanah yang diberikan oleh negara. Korbannya bukan hanya satu dua orang, melainkan seluruh rakyat yang ada di negara tersebut. Cara bertaubat dari korupsi haruslah dengan mengakui kesalahan, meminta maaf dan harus mengembalikan uang yang telah dikorupsi.
Sedangkan untuk pencegahan, dalam sistem Islam setiap individu telah dididik akidahnya sejak dini. Masyarakatnya pun akan terbentuk sebagai masyarakat yang bukan hanya Islami, tapi hidup dengan hukum Islam. Apalagi dalam urusan memilih pemimpin yaitu Khalifah beserta para pembantunya, tentunya akan dipilih berdasarkan ketaqwaan, kefakihan dalam agama sehingga benar-benar teruji kompetensinya dalam mengurus umat. Sementara itu, tidak ada kontestasi politik yang memakan biaya tinggi. Seandainya ada pejabat yang korupsi, hukum yang dijatuhkan adalah potong tangan hingga hukuman mati sesuai tingkat kejahatannya. Begitulah cara Islam menutup celah korupsi dalam negara.