
Oleh: Rohayah Ummu Fernand
Linimasanews.id—Korupsi masih marak terjadi di negeri ini, baik dari kalangan DPR, pemerintah (eksekutif), hingga yudikatif. Pada kasus impor gula, misalnya, sebenarnya pernah terjadi di luar masa jabatan menteri selain Tom Lembong, bahkan dalam jumlah lebih besar. Namun nyatanya, hingga hari ini belum ada penyelidikan yang mendalam. Hal ini menimbulkan dugaan adanya politisasi kasus Tom Lembong.
Diketahui, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan mantan Menteri Perdagangan Tahun 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong, sebagai tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi kegiatan importasi gula periode 2015-2016 di Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Kejagung juga mengatakan impor gula kristal putih seharusnya dilakukan oleh BUMN, namun Tom Lembong memberikan izin persetujuan impor gula. Dia juga menyebut impor gula mentah tersebut tidak melalui rapat koordinasi instansi terkait dan tanpa rekomendasi Kementerian Perindustrian. Pada kasus tersebut mengakibatkan negara mengalami kerugian sekitar Rp400 milliar (tvonenews.com, 31-10-2024).
Hal ini menimbulkan pertanyaan perihal pemberian fasilitas kepada keluarga inti pejabat. Pasalnya, KPK menetapkan bahwa kasus jet pribadi anak Joko Widodo tidak termasuk dalam gratifikasi. Hal ini makin menguatkan dugaan adanya ketidakadilan di mata masyarakat.
Sungguh miris melihat perbedaan penanganan yang dilakukan negara terhadap berbagai dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi. Sikap penegak hukum tampak memperlihatkan adanya tebang pilih penegakan hukum. Inilah gambaran penegakan hukum dalam sistem sekuler kapitalisme. Dalam sistem ini, pihak yang kuat akan menjatuhkan pihak yang lemah. Pihak yang kuat dipastikan akan bisa menang melawan hukum.
Kemenangan ini terjadi disinyalir karena adanya hubungan kekerabatan, nasab, persahabatan, hubungan bisnis, kelompok, atau aspek lain yang serupa. Bisa juga karena kedudukannya sebagai bangsawan, pejabat, tokoh, atau karena kedekatannya dengan kekuasaan dan penguasa. Posisi atau kedudukan akan membuat mereka mudah lolos dari jerat hukum. Inilah cerminan kekuasaan yang dapat memainkan hukum.
Sistem demokrasi kapitalisme juga telah menjadi penyebab utama munculnya bibit-bibit korupsi, hingga membudaya di sebuah negeri. Sebab, kapitalisme menjauhkan peran agama dari kehidupan, sehingga aturan yang berlaku sarat dengan asas manfaat dan kepentingan golongan tertentu. Oleh karena itu, pemberlakuan ideologi kapitalisme dengan akidah sekularismenya tidak boleh dibiarkan berlangsung lama.
Islam Menjamin Terwujudnya Keadilan
Sejatinya ada sistem lain yang mampu memberikan solusi tuntas dan sahih atas berbagai macam persoalan umat, termasuk korupsi, yakni sistem Islam. Dalam Islam, korupsi dipandang sebagai perbuatan haram dan merupakan pelanggaran terhadap hukum syarak. Oleh karena itu, negara wajib memberantas tuntas aktivitas korupsi hingga ke akar-akarnya.
Penerapan syariah Islam secara menyeluruh oleh khilafah akan sangat efektif dalam membasmi korupsi, baik terkait pencegahan (preventif), maupun penindakan (kuratif). Secara praktis pencegahan dan pemberantasan korupsi dilakukan melalui empat hal. Pertama, penanaman iman dan takwa, khususnya kepada para pejabat dan pegawai. Aspek ketakwaan menjadi standar utama dalam pemilihan pejabat, bukan kedekatan dan balas jasa politik. Ketakwaan itu akan mencegah pejabat dan pegawai untuk melakukan kejahatan korupsi.
Kedua, sistem penggajian dan kompensasi yang layak sehingga tidak ada alasan bagi siapa pun untuk melakukan tindakan korupsi. Ketiga, ketentuan serta batasan yang sederhana dan jelas tentang harta ghulul (haram), serta penerapan pembuktian terbalik disertai dengan pencatatan harta pejabat dan aparatur serta audit secara berkala. Jika ada yang mencurigakan, maka pihak yang bersangkutan harus membuktikan hartanya diperoleh secara benar dan legal. Jika tidak mampu untuk membuktikan, maka jumlah harta yang tidak wajar tersebut akan disita oleh negara, baik sebagian maupun seluruhnya.
Keempat, hukuman yang bisa membuat efek jera dalam bentuk sanksi ta’zir. Hukuman tersebut bisa berupa denda, penjara, atau bahkan bisa sampai hukuman mati, sesuai dengan kadar dan dampak korupsinya. Penegakan hukum Islam ini akan dijalankan oleh orang-orang yang amanah, yang memiliki ketakwaan yang tinggi. Sebab, Islam mensyaratkan penegakan hukum harus secara adil.
Penegakan hukum tidak boleh dipengaruhi oleh rasa suka atau tidak suka, kawan atau lawan, kerabat dekat atau jauh. Sebagaimana firman Allah Swt. di dalam surah Al-Maidah ayat 8, yang artinya, “Jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena sesungguhnya adil itu lebih dekat pada ketakwaan.” Walhasil, hanya dalam penerapan sistem hukum Islam di bawah naungan institusi khilafah yang akan mampu menjamin terwujudnya keadilan hukum di tengah-tengah masyarakat.