
Oleh : Diana Nofalia, S.P. (Pemerhati Kebijakan Publik)
Linimasanews.id—Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi Undang Undang Cipta Kerja yang diajukan oleh Partai Buruh dan sejumlah gabungan serikat pekerja lainnya. Putusan MK ini berdampak besar terhadap upah minimum yang akan ditentukan dalam waktu dekat, termasuk perekonomian nasional menurut sejumlah kalangan. Kalangan pengusaha yang diwakili Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mengatakan putusan ini justru “menciptakan ketidakpastian” iklim investasi yang akan membuat investor beralih ke padat modal, dan berhenti berekspansi. Di sisi lain, buruh dan NGO mengapresiasi putusan MK yang disebut “bisa mendongkrak daya beli masyarakat (tirto.id, 4/11/2024).
Pembahasan kenaikan upah minimum memang sedang panas-panasnya belakangan ini. “Ada perwakilan pengusaha, serikat dan pemerintah, dan itu sejak awal memang kita ingin karena waktu juga tinggal dikit dalam memutuskan upah minimum, makanya ingin PP51/2024 maksimum 0,3 jadi kenaikan kurang lebih 3,5%, kenaikan di luar tadi kita dorong struktur skala upah untuk mereka yang bukan 0-1 tahun, karena ini yang mayoritas,” kata Subchan di Jakarta, Kamis (7/11/2024). Sebagaimana dilansir cnbcindonesia.com.
Kenaikan Upah buruh tahun 2025 ternyata kecil, dan tidak sepadan dengan kenaikan pajak tahun 2025. Upah Buruh masih terhitung rendah untuk mencukupi kebutuhan hidup saat ini yang serba mahal. Apalagi dengan adanya ketentuan upah minimum. Buruh dianggap sebagai faktor produksi dalam sistem kapitalis sehingga dibuat upahnya seminimal mungkin demi mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Konsep upah dalam kapitalisme membuat buruh hidup dalam keadaan pas-pasan karena gaji mereka disesuaikan dengan standar hidup minimum tempat mereka bekerja.
Kondisi ini sesuai dengan regulasi yang ada dalam kapitalisme, yang meniscayakan berpihak pada pengusaha dan merugikan buruh. Buruh bahkan tidak memiliki posisi tawar tinggi. Alih-alih hidup sejahtera dan layak, dalam sistem kapitalisme saat ini buruh bagaikan “sapi perah” yang tidak memiliki pilihan selain pasrah diupah dengan gaji yang tak seberapa. Sejahtera bak fatamorgana belaka dalam sistem kapitalisme.
Persoalan buruh seperti hari ini tidak akan muncul dalam sistem Islam. Islam sebagai ajaran paripurna dari Allah Pencipta alam diperuntukkan bagi kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia. Sistem Islam dalam masalah ketenagakerjaan ini dapat dilihat dari dua pendekatan, yaitu: sistem Islam yang membuka keluasan kesempatan kerja dan kebijakan ekonomi negara Islam.
Sistem Islam mampu meminimalkan jumlah pengangguran di tengah-tengah umat. Allah Swt. telah mensyariatkan bentuk-bentuk kerja yang dijadikan sebagai sebab-sebab kepemilikan harta, yaitu: menghidupkan tanah mati, menggali kandungan bumi, berburu, makelar (samsarah); perseroan harta dengan tenaga (Mudharabah), mengairi lahan pertanian (musaqat), dan kontrak tenaga kerja (ijarah).
Masalah buruh hanya akan bersifat personal/kasuistik. Dalam Islam, buruh dibayar sesuai dengan kerja yang ia berikan berdasarkan kesepakatan. Jika terjadi perselisihan, ada pemimpin negara yang menentukan besarnya upah. Di sinilah, pentingnya peran negara dalam mengatasi dan menyelesaikan konflik yang ada di tengah-tengah umat, apalagi itu terkait dengan kesejahteraan seluruh umat.
Islam juga menyamakan posisi buruh dan pengusaha, karena buruh juga manusia yang berhak hidup layak. Tidak seperti sistem kapitalisme yang hanya mementingkan keuntungan kalangan pengusaha dan mengenyampingkan hak-hak buruh. Seorang buruh ataupun pengusaha wajib menaati dan menjalankan apa yang telah diakadkan dengan sungguh-sungguh sesuai dengan syariat Islam yang mulia, dengan kata lain akadnya tidak hanya menguntungkan sebelah pihak.
Seorang buruh wajib bekerja sesuai akad yang disepakati, sedangkan pengusaha wajib memberinya upah, juga sesuai akad, tepat waktu tanpa ditunda-tunda. Dalam hal ini, negara Islam akan memberikan sanksi kepada mereka yang melalaikan akad atau berlaku zalim. Wallahu a’lam.