
Suara Pembaca
Pembahasan kenaikan upah minimum sedang panas-panasnya belakangan ini. Ketua Komite Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia Subchan Gatot mengungkapkan bahwa mulai dari Sabtu-Minggu hingga Senin Dewan Pengupahan Nasional sudah melakukan sidang, bahkan di hari Minggu menteri ada rapat khusus dimana semua bahas soal pengupahan. Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan, meminta pemerintah daerah untuk berhati-hati dalam menetapkan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Menurutnya, penetapan upah itu rawan menjadi kebijakan populis pemerintah daerah (7/11).
Pengaturan upah dalam sistem kapitalisme selalu menjadi isu tahunan yang penuh kritik dari buruh dan pengusaha. Persoalan ini menjadi problem utama bagi para pekerja karena berbagai regulasi pemerintah cenderung tidak berpihak pada keadilan bagi buruh, sehingga konflik antara buruh dan pengusaha terus berlanjut. Eksploitasi buruh menjadi hal yang tak terpisahkan dalam kapitalisme, di mana buruh hanya dipandang sebagai faktor produksi yang biayanya harus ditekan serendah mungkin demi efisiensi dan keuntungan maksimal. Akibatnya, tidak pernah ada titik temu yang adil di antara keduanya.
Di sisi lain, kenaikan harga barang dan jasa yang banyak dipengaruhi oleh penguasaan rantai pasok oleh pemilik modal, bukan semata-mata karena faktor alami seperti kurangnya pasokan atau tingginya permintaan. Sementara itu, kenaikan upah buruh yang kecil tidak mampu mengimbangi pengeluaran yang terus meningkat, menyebabkan daya beli masyarakat melemah, beban ekonomi makin bertambah. Namun, pengusaha tetap keberatan menaikkan upah dengan alasan risiko terhadap biaya produksi dan keberlangsungan bisnis mereka. Demi menjaga keuntungan, mereka sering memilih untuk menaikkan upah sedikit, tidak menaikkan sama sekali, atau bahkan mengurangi jumlah pekerja.
Kondisi ini terus berlangsung karena pemerintah bertindak lebih sebagai pelayan pengusaha dari pada pelindung rakyat. Kebijakan yang dikeluarkan kerap mengorbankan hak mayoritas buruh demi kesejahteraan segelintir elite. Alih-alih melindungi buruh, negara justru memperkuat cengkeraman kapitalisme yang membuat jutaan buruh hidup dalam ketidakpastian dan rentan terhadap krisis ekonomi.
Sangat jauh berbeda jika dalam sistem islam, pengusaha dan pekerja terikat oleh satu kontrak (akad) yang adil dan bersifat saling ridho di antara keduanya. Rhido itu meliputi aspek upah, jam kerja, jenis pekerjaan, dan lain-lain. Ketika keduanya sepakat dan saling ridho, barulah pekerjaan dilakukan. Dengan demikian tidak ada pihak yang terpaksa dan terzalimi.
Sistem upah yang adil juga terwujud dalam sistem Islam, seorang pekerja mendapatkan upah sesuai dengan manfaat yang ia berikan, bukan disesuaikan dengan kebutuhan minimum upah tersebut adalah hak pekerja dan wajib ditunaikan oleh pengusaha pada tanggal yang disepakati. Upah pekerja akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya berupa sandang, pangan dan papan. Sedangkan kebutuhan dasar komunal seperti pendidikan kesehatan keamanan disediakan oleh negara secara gratis. Untuk transportasi umum Khilafah menyediakan secara gratis atau murah.
Adapun para pekerja yang sudah bekerja maksimal, tetapi upahnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup, negara akan turun tangan untuk membantu. Bantuan Khilafah bisa berupa pelatihan untuk meningkatkan keterampilannya, modal untuk wirausaha, atau santunan jika terkategori lemah. Semua solusi ini akan menjadikan hubungan buruh dan pengusaha selalu harmonis. Jika pun ada konflik personal, khilafah akan menyelesaikannya melalui pengadilan yang adil.
Rosna Fiqliah
(Ibu Peduli Negeri)